A Day With Chichi
Sejak menjadi orang tua, Hajime mempelajari satu ilmu selain parenting: ilmu mengabaikan.
Bukan, maksudnya bukan yang pura-pura tidak kenal atau tidak peduli.
Tapi belajar biasa saja dan tetap teguh pada pendiriannya meski tangisan anak memekakkan telinga, tidak jijik saat anak memuntahkan isi perutnya dan mengotori lantai ataupun pakaiannya, dan masih banyak lagi.
Saat terjadi di tempat umum, Hajime sudah tidak peduli dengan tatapan orang-orang yang seolah menghujatnya. Dulu saat membawa Tobio baru lahir dan Kaito-Nanao masih batita ke taman dekat rumah, ada nenek yang pernah memarahinya karena mereka bertiga menangis bersama.
Untung saja saat itu ada Tooru yang sama sekali tidak mempedulikan nenek itu dan mencarikan mainan untuk mengalihkan perhatian trio. Hajime kadang heran bagaimana bisa ia dan Tooru yang dulu sama-sama senggol bacok saat sekolah, sekarang jadi menganggap hujatan orang sebagai angin lalu.
Sayangnya hari ini Tooru tidak di rumah dan Hajime kehabisan bahan hiburan karena mau dibujuk pakai apapun supaya anak-anak istirahat, ia selalu gagal.
Hajime kira Kaito dan Nanao sudah cukup besar untuk mengatur emosi mereka. Tapi apa daya, namanya sakit pasti tidak nyaman dan membuat mereka jadi emosional dari biasanya. Hajime kasihan, tapi juga bingung harus melakukan upaya apa lagi dan cuma berharap efek obat bekerja lebih cepat supaya mereka (dan dia) bisa istirahat.
Untuk saat ini, demi menjaga kewarasannya, Hajime memberikan PSP untuk Kaito mainkan sementara Nanao membaca komik. Yah... Walau muka keduanya ditekuk karena tidak suka dengan plester demam yang menempel di dahi dan leher mereka. Setidaknya telinga Hajime yang berdengung jadi lapang selama 5 menit.
Capek sekali. Tapi anak-anak lebih capek dan rasanya sedih melihat mereka sakit begini.
“Chichi...”
Tiba-tiba Tobio sudah berada di hadapan Hajime yang hampir mengambil ponsel untuk mengabari Tooru.
“Bio... Kan, Chichi bilang jangan ke kamar Ka-chan sama Nao-chan dulu.”
“BIOOO!!!” Kaito hampir salto tapi jatuh lagi saat melihat adik kecilnya. “ Bio mau main PS gantian engga—”
“Heh! Engga dulu! Kaito tadi janjinya main bentar terus bobo, kan? Besok aja kalo udah sehat baru main sama adek!” tegur Hajime sambil memungut Kaito yang meluncur ke lantai seperti ular dan mengembalikannya ke tempat tidur.
“Bio gambar ini...”
Kan. Pandangan Hajime teralih dua detik dan Tobio sudah berada di tempat tidurnya Nanao.
“Biooo—”
“Wah! Bio pinter udah bisa gambar rumah ga bentuk trapesoang!” puji Nanao bangga melihat mahakarya Tobio.
“Trapesium, Nao,” koreksi Hajime, kemudian meraih tangan Tobio untuk turun. “Bio tunggu di kamar ya, habis ini Chichi temenin—”
“BOSEEEN!!! BELUM NGANTUUUK!!!” rengek Kaito untuk ketiga kalinya di jam yang sama sambil menghentakkan kakinya. “Papa mana sih, kok belum pulang???”
“Papa masih kerja—”
“Ih, iya! Biasanya Papa udah pulang terus kita makan bareng!” timpal Nanao.
“Kan, Chichi udah bilang Papa pergi ke pantai—”
“Kok, ga ngajak??? Bio juga mau! Bio mau main pasir—”
“Asik banget! Tadi Seiya cerita ke pantai sama Papa-Mamanya Minato—”
Hajime mengusap wajahnya kasar sementara ketiga anaknya sudah berbaur dan mengoceh bersama tentang main ke pantai. Ia menghirup nafas panjang, menghembuskannya, lalu dengan cepat menutup hidung Kaito yang akan bersin dengan tisu sementara tangan lainnya menjauhkan Tobio karena terlalu dekat dengan kakak-kakaknya yang sakit.
Sabar. Ini kesalahannya juga karena memberi info setengah-setengah.
Dia sempat tidak fokus dan hanya menjawab ngasal saat pulang dari apotek karena sibuk menyeret ketiga anaknya sekaligus menelepon taksi yang seharusnya menjemput mereka tapi malah nyasar.
Tooru training camp sampai lusa.
Tidak apa-apa. Ini berbeda dengan saat tiga tahun pertama punya anak. Dia pasti bisa waras sampai Tooru pulang!
Tooru akhirnya mendapat ijin melatih hanya untuk hari ini dan bukan sampai lusa. Ia langsung pulang ke rumah begitu anak-anak didiknya beristirahat meski sedikit kesusahan mencari taksi malam-malam karena tidak mungkin dia meminta supir sekolah untuk mengantarnya pulang memakai bus.
Semua pesannya tidak ada yang dibalas oleh Hajime dan syukurlah pihak sekolah memaklumi karena tidak mudah mengurus tiga anak yang sama-sama sakit.
Semua lampu di rumahnya mati. Tooru bergegas ke kamar Kaito dan Nanao saat mendengar suara batuk dari sana.
Kaito tidur dengan sangat pulas, tetapi Nanao rupanya terbangun dan kebingungan mencari gelasnya karena gelap.
Mata Tooru yang terbiasa melihat dalam gelap (salah satu keahlian yang didapatnya sejak jadi orang tua), mengambil gelas pink yang ada di meja belajar Nanao dan memberikannya pada si tengah.
“Hei~” bisik Tooru ceria meski ia sebetulnya sangat lelah. “Minum dulu sini.”
“Papa—”
“Shhh, pelan-pelan. Kachan bobo, tuh. Nanti dia kalo bangun, jadi rawwrrrr”
Nanao tertawa dan segera minum untuk melegakan tenggorokannya. Tooru merasa lega mendengar anaknya tertawa meski suara yang biasanya lucu jadi sumbang karena batuk.
Selagi Nanao minum, Tooru mengulurkan tangannya untuk memerika dahi serta leher Kaito. Masih agak hangat, mungkin nanti subuh dia harus mengganti plester demamnya. Suhu badan Nanao dirasanya juga sudah membaik.
“Papa isi dulu sini airnya.” Tooru meminta gelas Nanao, lalu bertanya, “Udah enakan badannya?”
“Tenggorokan sakit buat nelen, Pa... Terus masa tadi bubur dari Uncle Kei engga enak. Katanya beli, tapi tetep engga enak.”
Tooru agak ngeri. Tidak mungkin buburnya dikasih protein sama Kei, kan?
“Hush! Lidahmu yang pahit kena obat itu, Naooo” ujar Tooru. “Tadi Chichi marah-marah, dong, kalo bubur engga enak? Haha”
“Masa Chichi tadi nangis, Pa.”
Tooru berhenti tertawa.
“Hm? Kok bisa nangis? Chichi sakit juga?”
“Engga... Tadi kita nonton Tinkerbell, terus pas Nao noleh, Chichi udah nangis. Padahal Tinkerbell baikan sama Terence, kok! Kan, tadi Tinkerbell sama Terence sempet berantem terus pisah, habis itu mereka ketemu lagi terus baikan. Tapi Chichi bilang Chichi terharu, bukan sedih. Terharu itu gimana, Pa?”
Tooru mengulas senyum tipis mendengar cerita anaknya. Pasti bukan karena Tinkerbell nangisnya.
“Terharu itu seneng banget sampe ga bisa dijelasin sama kata-kata. Misal Nao belajarnya susaaaaah banget, terus akhirnya dapet nilai bagus. Perasaan kaya gitu,” ucap Tooru dan mendorong Nanao untuk berbaring lagi. “Bobo lagi ya, Nao. Papa di rumah terus, kok.”
Setelah 10 menit, barulah Nanao tertidur lagi dengan sendirinya karena tadi ia masih ingin bercerita ke Papa.
Tooru kemudian berpindah ke kamar Tobio yang juga terbuka seperti kamar kakak-kakaknya tapi hampir menjerit karena ada godzilla yang sedang... mengepel lantai.
“Kamu ngapain di sini???” Tooru bertanya heboh tapi tentu sambil berbisik.
Hajime terkejut dengan kehadiran Tooru, lalu balas berbisik dengan tak kalah sengitnya, “Ya kamu yang ngapain di sini??? Belum waktunya kamu pulang, kan?!”
“Udah! Aku ijin buat ngelatih hari ini aja!” Tooru mundur saat Hajime keluar dari kamar Tobio dan menutup pintu. “Bio gapapa?”
“Gapapa. Aku ngepel soalnya anak-anak tadi ngemil sama nonton di kamarnya Bio,” balas Hajime dengan volume suara normal setelah mereka berdua ke ruang tengah. “Bio sehat. Kaito sama Nanao tadi meriang tapi sekarang udah gapapa. Cuma sisa batuk pileknya sekarang— Ngapain, sih???”
Hajime berujar sewot karena Tooru malah mendekatkan mukanya seperti sedang meneliti pori-porinya.
“Ih, matanya merah.”
“Iya tadi kena debu.”
“Hajime, aku udah kenal kamu seumur hidupku. Ga ada alasan buat ngeles.”
Hajime memalingkan muka dan membereskan baskom dan kain lap yang berceceran di dapur.
“Tadi nonton Tinkerbell sampe anak-anak tidur terus kaya sedih aja gitu. Tinkerbellnya bingung di tempat asing, sendirian pula. Mana ada serangga yang rese tapi akhirnya si Tinkerbelll sayang dan serangganya nemenin dia sampe akhir. Tapi rasanya kaya ga lengkap soalnya ga ada temennya. Terus akhirnya di akhir mereka reuni dan pulang bertiga.”
“Cerita yang omoshiroi tapi jahat banget anak-anak dibilang kaya serangga.”
“Heh! Aku lagi cerita soal filmnya!”
“Tapi kedengeran kaya pas pertama kali ada Kaito.”
“Iyain, deh.”
Tooru terkekeh. Dia merasa kalau mood Hajime berangsur baik, jadi direntangkannya kedua tangannya.
“Peluk, ngga?”
Tanpa menjawab, Hajime langsung masuk ke dekapan Tooru dan membenamkan wajahnya ke bahu sang suami.
“You did very well, okay?” ucap Tooru sambil menepuk-nepuk punggung Hajime. “Udah sehat semua, kok. It's okay, Hajime.”
“Kamu harusnya seneng-seneng sambil ngelatih... Ini pertama kalinya kamu propose buat training camp di luar sekolah dan akhirnya berhasil...”
“Kaya gini engga perlu dipikirin berlarut-larut, Hajime. Masih ada kesempatan di lain waktu. Toh, kita berdua juga tahu apa yang harus diprioritasin, kan?”