Chapter 1: Silly

Buku harian yang terhormat…

Eh.

Oke.

Ini. Sungguh. Bodoh”.

Sejujurnya, aku tidak begitu tahu bagaimana memulai halaman pertama buku sialan yang dia berikan kepadaku pada Natal lalu. Tapi aku mencoba yang terbaik untuknya.

Setidaknya, aku akan mencoba yang terbaik.

Sekarang, serius. Bagaimana biasanya orang menulis buku harian? Apa yang akan dia lakukan? Dia yang memberikan hal semacam ini padaku, kan? Dia seharusnya jauh lebih hebat soal masalah beginian. Mengapa dia tidak membimbingku dulu?

Sudahlah. Mari kita mulai dengan memperkenalkan diri dan berpura-pura bahwa ini adalah dokumenter sepanjang 4 musim tentangku. Huh.

Namaku Daishou Suguru, seorang akuntan yang sangat membosankan yang hidupnya selalu seperti badai petir.

Aku sedang tidak hiperbola ataupun bercanda (serius). Aku sering merusak kebahagiaan semua orang dan untuk memastikan itu tidak terjadi di lain waktu, aku harus bahagia terlebih dulu.

Langit cerah, langit cerah, itulah yang selalu ingin dilihat orang begitu mereka bangun dan membuka jendela kamar, disapa oleh sinar mentari yang ramah dan siap menerangi bumi hingga nanti.

Begitulah. Langit cerah, langit cerah. Itu juga yang selalu aku gumamkan, berharap mereka bisa keluar dari rumah mereka, membeli secangkir kopi dari toko lokal favorit mereka, dan memulai hari dengan senyum lebar.

Jadi Koji, teman satu apartemenku, tidak perlu khawatir akan sepatunya yang terkena genangan air karena hujan lebat.

Singkatnya, emosiku benar-benar mengendalikan cuaca. Kau mungkin berpikir aku hiperbola lagi sekarang. Tapi tidak, aku tidak. Aku tidak pernah selebay itu.

Katakanlah hidupku memang menyerupai badai petir. Masih seperti itu sampai sekarang. Cuaca cerah nan hangat hanya dapat dialami selama beberapa menit, terutama ketika aku akhirnya menerima gaji, kemudian langit menjadi suram begitu aku tak sengaja menumpahkan kopi ke baju kantor yang baru kuseterika.

Mungkin hal menyebalkan terjadi karena aku tidak pernah merasa bahagia sepanjang waktu. Aku membenci diriku sendiri karena apa yang disebut hadiah itu. Isumi berkata bahwa aku harus bersyukur karena mungkin aku menjadi salah satu dari miliaran manusia di bumi yang dilahirkan dengan kemampuan khusus ini dan semua orang ingin punya kekuatan super.

Sungguh, aku harap mereka bercanda. Mereka lebih baik menjalani kehidupan normal mereka yang diberkati, karena tidak bisa mengendalikan cuaca adalah kutukan bagiku.

Tidak mudah mempertahankan suasana hatimu 24 jam per hari. Apalagi jika harus mendengarkan gerutuan kereta terlambat sepanjang perjalanan ke kantor, rekan kerja yang duduk di sebelah dan segala drama perselingkuhan dengan atasan (lebih lagi aku tak bisa melakukan apapun), pekerja kafetaria yang jorok (aku tak bisa melepas mataku untuk mengawasinya sejak melihatnya mengupil), bahkan kembali ke apartemen dan tak dapat menyalakan microwave karena lupa bayar listrik (terima kasih pada Hiroo yang sedang mencari pekerjaan baru tidak punya uang untuk bayar juga).

Bagaimana bisa kau tak mengeluh tentang guntur dan badai sepanjang hari?

Atau mungkin, badai berlalu-lalang karena aku sudah berbulan-bulan tidak mengunjungi kafe kucing itu.

Tempatnya masih buka setiap pagi hingga jam makan malam di tengah kota yang ramai dan langit yang mendung, namun tidak seterang pertama kali aku pergi ke sana.

Kazuma masih menjadi pelanggan setia di sana untuk bertemu dengan kucing bermotif sapi favoritnya. Dia juga yang membawaku ke sana, meskipun dia tahu betapa aku tidak menyukai binatang. Aku bahkan baru tahu dia ternyata secinta itu dengan binatang.

Dan juga, bukannya aku benci binatang, jangan salah paham. Mungkin… Takut?

Oke, kata itu membuatku terdengar seperti pengecut, tetapi orang-orang di sekitarku, secara mengejutkan, dapat memahami bahwa tanpa menilai bagaimana pria jangkung dan bermata licik sepertiku tidak akan mungkin menyentuh benda kecil lucu yang tidak berbahaya seperti anak kucing.

Tapi entah bagaimana dia membuatku berhasil.

Awalnya, itu adalah agenda yang sangat membosankan yang harus saya hadiri karena Kazuma memaksaku untuk ikut dengannya ketimbang minum-minum di bar setelah lembur yang membasahi kota Tokyo. Setelah aku menyelesaikan tumpukan pekerjaan, dia menyeretku duduk di atas bantal yang empuk dan meletakkan sesuatu yang kecil di antara pangkuanku.

Seekor anak kucing hitam, aku bahkan tidak ingat nama rasnya, dan aku sangat terkejut sehingga hampir berteriak seperti uang sewa apartemenku sudah jatuh tempo. Guntur yang sangat keras tercipta dan mengejutkan sebagian besar hewan peliharaan di sana.

Sekelompok siswa sekolah menengah yang berkunjung ke sana dan duduk di dekat jendela memberiku tatapan aneh seperti 'Mengapa om-om menyeramkan ini datang ke kafe kucing hanya untuk memesan secangkir kopi hitam dan mengusir kucing-kucing itu???'

Sebagian lainnya bergumam tentang kemungkinan hujan badai dan kebetulan mereka tidak membawa payung padahal warga selalu tahu bahwa setiap hari akan mendung karena aku tidak seberuntung mereka yang hanya bisa mengeluh. Yah. Bukan salahku langit menumpahkan hujan ke kota karena seekor anak kucing duduk dengan tanpa dosa di pangkuanku.

Kemudian, setelah kekacauan singkat, dia muncul dari balik dapur dan menawarkan bantuan.

Pekerja paruh waktu yang kupikir adalah pemilik kafe kucing karena penampilannya yang dewasa dan mapan, meskipun aku tidak dapat menilai usia orang ketika aku sendiri sepertinya lebih tua darinya.

Wanita berambut coklat yang tergerai bebas itu menanyakan kekhawatiranku, kemudian dia mengambil salah satu tanganku, membimbingku untuk menyentuh anak kucing itu, dan mengucapkan beberapa kata ajaib dengan suaranya yang semanis ubi ungu. Dia menjinakkanku seolah-olah aku ular berbisa yang lari dari kebun binatang dan mengancam keselamatan makhluk hidup lainnya.

Senyumnya juga terlihat seperti kucing. Poni coklatnya yang halus mengingatkanku pada bulu kucing di pangkuanku meski beda warnanya. Dan aku sungguh memiliki keinginan untuk mengelusnya alih-alih makhluk mungil yang mulai tertidur dengan tidak sopannya di antara lututku.

Anak kucing hitam itu tidur nyenyak setelah belaian hangat dariku. Lalu aku menanyakan namanya. Dia menjawab, Taro, nama kucing itu, yang mana sangat lucu bagiku sampai Kazuma harus mengoreksinya karena namanya lah yang kutunggu.

Lalu kau tertawa, malu pada diri sendiri hingga pipimu sewarna bunga sakura. Wajahmu yang menunduk perlahan terangkat ke atas, dengan mata terkubur oleh pipi dan aku bertanya-tanya bagaimana penampilanmh saat itu tanpa sebelah tangan menutupi senyum salah tingkah.

Yamaka Mika, katamu dengan suara yang lebih indah dari notifikasi bonus tahunanku.

Tiba-tiba, malam itu menjadi malam bersalju yang cerah. Salju pertama tahun ini! Apa yang selalu ditunggu setiap pasangan untuk momen romantis, bukan?

Tapi tidak. Saat itu, orang-orang menyalahkanku —tentu saja tanpa sadar karena hanya teman dekatku yang mengetahui kebenaran di balik perubahan cuaca yang terus-menerus— bahwa salju datang terlalu dini. Lebih dari 2 minggu lebih awal dari White Night karena masih awal musim semi.

Mereka harus bersyukur bahwa itu bukan badai salju seperti Natal yang lalu. Hiroo hampir membakar apartemenku karena kue eksperimennya yang gosong dan dia merasa bersalah meskipun aku tidak akan pernah marah padanya.

Kembali lagi. Aku bahkan tidak menyesal. Mereka masih bisa menikmati kelopak bunga sakura dengan kepingan salju musim gugur tentunya, dan memiliki momen manis yang sangat langka bersama kekasih mereka.

Sekarang, lihat. Langit cerah mulai mengatasi sore yang mengerikan ini. Aku tidak percaya aku hampir mengisi halaman pertama buku harian ini hanya berbicara tentang dia di bagian akhir.

Atau mungkin kau, Mika. Rasanya seperti berbicara padamu dan mengenang pertemuan pertama kita.

Sial.

Aku tersenyum seperti orang bodoh lagi. Hanya membayangkan kau berada di hadapanku saat ini, bertopang dagu dan mendengarkanku, membuatku sangat bahagia.