“Cooking” With Mama

Tsutomu sebel banget! Dia lagi nunggu giliran buat main nintendo-nya Kenma, tapi malah diajak pulang sama mamanya. Padahal kan, tadi janjinya papa yang jemput!

“Papa lagi main sama temennya,” jelas Kenjiro yang lagi menggandeng tangannya dan berjalan menuju rumah mereka bersama.

“Papa udah besar kok, masih main sama temennya?”

“Yang boleh main bukan cuma anak kecil, ya.”

“Main ke mana? Dedek mau ikut!”

“Jangan. Itu Papa lagi nyari hiu. Dedek kan, takut hiu.”

Oh, jangan kalo gitu! Hiu lebih serem dari alien kalo kata Kenma. Tinggalnya jauh di dalam laut, mendingan ketemu T-Rex atau Godzilla. Jadi Tsutomu cuma perlu lari, ga usah renang soalnya nanti pasti susah nafas.

Kalo Papa nyari hiu, berarti pulangnya lama, dong??? Tsutomu sama Mama aja nih, di rumah??? Ih, Tsutomu takut! Mama marah terus soalnya!

Begitu sampai rumah dan melepas sepatu, Tsutomu segera menuju ruang keluarga dan meminta Kenjiro untuk menyalakan PS. Biasanya kalau Eita yang menjemputnya, mereka pasti langsung main PS bareng.

Tapi Kenjiro malah membawa sebuah kotak besar yang diambilnya dari dalam kamar. Oh, mainan baru???

“Bantuin Mama buka paket dulu sini!”

Tsutomu menurut meski ragu. Pada akhirnya dia cuma melihat apa yang dikerjakan oleh mamanya. Kenjiro memasang alas silikon ke atas meja bundar terlebih dahulu, lalu menumpahkan isi dari kotak seukuran PS itu.

Ada banyak bungkusan kecil-kecil yang wangi seperti permen dan beraneka warna, serta mainan peralatan masak.

Eh??? Mama bukannya selalu melarangnya makan manis-manis??? Kenapa sekarang malah ngasih Tsutomu permen???

Tsutomu mau kabur! Mama pasti mau mengujinya!

“Dedek dulu pernah main ini, lho,” ujar Kenjiro sambil membuka sebuah bungkusan dan memberikannya ke Tsutomu. “Di sekolah juga pasti pernah dikasih ini, kan?”

Bentuknya panjang, teksturnya padat, warna dan wanginya seperti kukis yang diberi Uncle Tooru kemarin.

“HEH!!! Bukan buat dimakan!”

Kenjiro langsung menarik tangan Tsutomu yang hampir memasukkan benda itu ke mulutnya.

“Ini mainan, namanya clay,” terang mamanya lalu membuka bungkusan clay warna merah, lalu menggulungnya ke atas alas silikon yang dipasangnya tadi. “Nih, Dedek bisa buat apapun pakai clay. Bisa buat kue, buat permen, buat mobil, apa aja yang Dedek suka.”

“Oh!” Tsutomu ingat kalau beberapa hari lalu mereka juga belajar membuat prakarya dari clay di sekolah. “Dedek juga dapet dari Hitoka Sensei! Tapi bentuknya bulat sama warnanya ungu!”

Kenjiro mengulas senyum dan membalas, “Coba Dedek buat dari bentuk silinder itu jadi bulat.”

“Silinder?”

“Iya, semua clay yang di dalam bungkusan ini bentuknya silinder. Kaya lilin, gelas, baterai, bentuknya juga mirip kaya gini.”

“Oh iya, Ma! Kaya ini juga!” Tsutomu mengambil rolling pin mainan yang satu paket dengan peralatan lain.

“Nah, pinter! Dedek juga bisa pake itu kalo mau bikin bentuk lain.”

Kenjiro memperlihatkan kartu-kartu kreasi clay yang bisa ditirukan dengan bahan-bahan tersebut. Ada berbagai macam bentuk dan perpaduan warna seperti kendaraan, hewan, benda-benda di rumah, hingga makanan.

“Ini apa namanya, Dek?”

“Takoyaki!!! Dedek mau takoyaki!”

“Kalo yang ini tako (gurita) aja, Dek!” tawa Kenjiro. “Bentar Mama cariin gambarnya di kartu lain. Dedek bisa kan, buka bungkusan yang lain?”

“Bisa! Mama juga mau main?”

“Iya, dong. Kan, Mama yang ngajak main. Mau kan?”

“Mauuu!!!” sahut Tsutomu semangat. “Mama bikin kukis, ya! Dedek bikin takoyaki! Nanti kasih ke Papa!”

“Siap, siap~”

Mereka asik bergelut dengan karya masing-masing. Tsutomu terbiasa menggunakan jemarinya untuk main PS dan ipad, tapi ternyata tekstur seperti clay sangat enak buat ditekan-tekan juga!

“Kok, takoyakinya warnanya pucat? Saosnya mana?” tanya Kenjiro saat melihat Tsutomu sudah membuat 10 bola-bola warna krem.

“Takoyakinya masih belum mateng!”

Tsutomu membuat suara memasak dengan mulutnya dan membolak-balikkan takoyakinya menggunakan sumpit, menyisihkan semuanya, lalu memgambil bungkusan warna cokelat.

“Nah, kalo udah mateng nanti dikasih saos! Mama, kukisnya jangan sampe gosong, ya!”

“Ryokai desu~”

Tidak terasa satu jam sudah berlalu. Kenjiro menertawakan kukisnya yang gagal meski sudah memakai cetakan, lalu sama-sama berpura-pura mencicipi “masakan” mereka. Selanjutnya pun mereka masih asik membuat clay dengan mencontoh kartu.

Tsutomu senang sekali karena dia membuat takoyaki yang cantik dan monster truck kesukaannya. Kenjiro banyak memujinya dan bilang kalau Tsutomu ternyata pro dalam bermain clay.

Dan lagi, ternyata mama cantik ya, kalo banyak tertawa seperti ini!

Tsutomu mau main terus sama mama!


Hari ini adalah ulang tahun Kenjiro, tetapi Eita tidak beli kue karena dia dan maupun suaminya tidak begitu suka manis-manis dan mereka juga membatasi konsumsi gula Tsutomu.

Kenjiro itu orang yang to the point, karena keluarga Shirabu lumayan keras dan tidak seru menurut Eita. Perjalanan menjadi dokter gigi juga sangat panjang dan melelahkan, dipenuhi oleh praktek dan ujian, bahkan saat mereka sudah menikah dan punya anak. Kenjiro jadi sering melupakan detail-detail kecil tentangnya maupun Tsutomu, contohnya saja ia lupa kalau Eita sudah memberitahunya akan pergi memancing dengan teman-temannya.

Malahan, sepertinya Kenjiro lupa kalau hari ini dia ulang tahun. Eita tidak masalah, yang penting Kenjiro tidak teledor saat bekerja. Ada masanya Eita bertanya-tanya apa Kenjiro sebenarnya bahagia berkeluarga dengannya. Tapi saat menanyakannya ke teman-teman dan tetangga yang sudah menikah, ternyata pikun seperti itu wajar-wajar saja di keluarga mereka.

Juga Kenjiro itu tidak suka hal-hal semacam kode dan kejutan. Tapi Eita selalu suka melihat Kenjiro yang tertawa, karena itu ia memberikan sesuatu yang unik agar bisa melihat senyuman murni itu. Barang-barang uniknya itu selalu Kenjiro letakkan di tempat kerjanya.

Tahun kemarin Eita memberikan kado boneka hamster yang sangat nyaman dipegang. Kenjiro senang, bercerita kalau ia sering meremas boneka itu untuk meredakan stress saat bekerja.

Eita memilih untuk pergi memancing bersama temannya di hari ulang tahun Kenjiro bukanlah tanpa alasan. Sebetulnya ia hampir kehabisan ide, karena itu pergi dengan teman-teman antiknya pastilah akan memberinya inspirasi. Toh, dia juga ingin Kenjiro yang super sibuk, menghabiskan waktu dengan Tsutomu, anak mereka yang lucu dan haus perhatian.

Jadilah sekarang Eita pulang dengan sebuah bowl akuarium di tangannya. Ia masih belum tahu ingin mengisinya dengan ikan hias apa dan membiarkan Kenjiro sendiri yang memutuskan nanti. Eita juga membeli sepaket bahan sukiyaki untuk makan malam spesial mereka.

Sesampainya di rumah, ia tidak melihat Kenjiro di ruang keluarga dan hanya ada Tsutomu yang asik bermain sesuatu di meja bundar, sepertinya clay. Dia ingat kemarin ada paket mainan clay atas nama Semi.

Eita berniat mengejutkan Tsutomu, tapi ternyata anaknya sudah menyadari kehadirannya dan justru mengisyaratkannya untuk duduk bersamanya dengan gestur tangan. Oh, Tsutomu sepertinya merencanakan sesuatu. Padahal dia biasanya langsung petakilan kalau menyambut Eita.

“Papa, Papa, Papa!”

Tsutomu berbicara dengan suara pelan tapi juga sangat bersemangat. Eita juga mengikuti permainannya.

“Tomu, Tomu, Tomu!” balas Eita lalu duduk bersila dan melihat banyak sekali kreasi makanan dari clay di atas meja. “Wih, Dedek semua yang bikin??? Mana Mama?”

“Mama lagi mandi. Terus ini Dedek buat kue ulang tahun buat Mama!” Tsutomu memilin clay warna cokelat dan menumpuknya di lapisan-lapisan yang sudah dibuatnya.

“Wah, baguuus!!!” puji Eita mengagumi kerapian Tsutomu dalam membentuk kue berlapis-lapis dengan paduan warna yang mencolok. “Dedek kok, tahu kalo Mama ulang tahun?”

“Iya, soalnya tadi belajar kalender sama Kiyoko Sensei! Terus Dedek lihat kalender di rumah ternyata hari ini Mama ulang tahun!”

Ah, iya. Kalender rumah mereka memang dipenuhi spidol warna-warni. Dalam satu tanggal saja bisa diberi 3 warna: hitam untuk jadwal kerja Eita, coklat untuk jadwal kerja Kenjiro, dan ungu untuk jadwal sekolah Tsutomu. Kebetulan tanggal ini ada 4 warna, satu lagi warna pink untuk menandakan ulang tahun Kenjiro.

“Pinternya~” Eita mengusak rambut Tsutomu. “Bikin yang cantik ya buat Mama!”

Tepat setelah Eita selesai berujar, Kenjiro keluar dari kamar mandi dengan sangat segar. Tsutomu panik sendiri karena claynya hampir jatuh.

“Lho, udah pulang?” tanya Kenjiro saat melihat Eita yang melambaikan tangan padanya. “Katanya pulang malem.”

“Ini kan, udah malem.”

“Iya, kah?”

“MAMAAA!!! HEPI BESDEY!!!”

Tsutomu memberikan kue clay buatannya kepada Kenjiro, lalu saat mamanya menerimanya, dia malah kabur dan menubruk Eita yang sibuk merekam momen manis tersebut.

“Hehhh, kok malah kabur???” Eita tergelak, wajah merah Tsutomu yang kini malah memeluk lututnya, terlihat sangat tembam memenuhi layar ponselnya. “Peluk sama cium Mamanya, dong!”

“MALU!!! PAPA AJA YANG CIUM!!!”

“HAHAHA KOK MALU, SIH??? Tiap hari ketemu Mama kok, baru malunya sekarang???”

Kenjiro tersenyum haru mengagumi karya Tsutomu, tidak menyangka anaknya akan membuat sesuatu yang spesial dari permainan mereka hari ini.

“Sini, sini~” Kenjiro berjongkok dan merentangkan kedua tangannya. “Mama kan, juga belum makasih ke Cutomu!”

“Cutomuuu, sana peluk Mama dulu!” Eita menggoyangkan lututnya, membuat badan kecil Tsutomu ikut bergerak naik-turun.

Dengan malu-malu, Tsutomu akhirnya turun dari pangkuan Eita dan berlari ke dekapan Kenjiro, tidak lupa mencium dengan sayang pipi mamanya. Eita ingin menangis melihat rekamannya.

“Mama! Makasih ya, udah main sama Dedek!!!”