Part 1: Ketika tidak ada ibu

“SAMUUUUUU!!!!!”

BRAK BRAK BRAK

“SAMU, SAMU, SAMU!!!

BRAK BRAK BRAK BRAK BRAK

Aku seketika terduduk saat bunyi gebrakan pintu kamarku semakin keras. Jantungku berdebar dengan tak kalah sengit, kantuk pergi dari mataku karena alarm dari si bodoh. Aku mengusap wajahku kasar dan memperhatikan jam dinding yang jarum pendeknya sudah berada di angka 7.

Mau tidak mau, aku harus bangun sekarang atau aku akan terlambat masuk sekolah. Kalau tidak sekolah, aku takkan bisa mengikuti pelajaran. Kalau tidak belajar, aku akan jadi sama bodohnya seperti dia.

“SAMU, SAMU SAM-”

“IYA, BERISIK!” sentakku setelah membuka pintu, lalu mendorongnya ke samping. “Tidak perlu teriak-teriak begitu! Mulutmu itu suka sekali mengganggu tetangga!”

“Hehe.” Dia tertawa tanpa merasa bersalah sama sekali. “Samu, kau hari ini mau masak apa? Mau membawa bekal? Boleh aku ikut ke sekolahmu?”

“Telur goreng. Telur goreng. Tidak,” jawabku singkat sambil memasak nasi secepat yang kubisa.

Lagi-lagi, harus mendorongnya menjauh karena kalau tidak ia akan mengikutiku ke kamar mandi dan sebelum benar-benar menutup pintu, aku melanjutkan, “Kenapa kau tidak pergi membersihkan kamarmu?!”

Dia mengangguk sembari mengacungkan jempolnya. “Aku sudah!”

“Oh, aku akan memukulmu kalau yang kau maksud 'sudah' itu adalah menimbun sampah di satu sudut!” Lalu aku membanting pintu kamar mandi tepat di hadapannya.

Sudah dua minggu sejak ibu tidak ada dan si bodoh itu menghuni kamarnya. Konsumsi obat-obatan secara berlebihan membuat fisiknya memburuk dan merenggut nyawanya di kamar mandi, saat mencuci pakaian keluarga kami dan tetangga tanpa mesin cuci.

Seharusnya aku sejak awal tersadar bahwa mesin cuci yang biasa ada di gudang – yang sekarang adalah kamarku – lenyap beberapa hari sebelum ulang tahunku (dan si bodoh, lebih tepatnya) dan seharusnya menjadi pendukung mata pencahariannya sebagai pencuci pakaian.

Seharusnya sejak awal aku membantunya lebih awal.

Seharusnya, si bodoh itu yang pergi dan bukannya ibu.

Pemikiran yang jahat, bukan?

Tsumu sehari-harinya selalu bersama ibu. Dan ibu menghabiskan 90% waktunya untuk si bodoh itu seorang. Bukan berarti ibu mengabaikanku, tetapi meninggalkanku dengan si bodoh itu sendirian seperti sekarang terasa... Sangat berat.

“SAMUUU!!! NASINYA!!!”

Sial.

Panik, aku keluar dari kamar mandi dengan rambut dan tubuh yang masih basah akibat tidak kuhanduki dengan benar saat mencium bau nyaris gosong, hanya untuk menyaksikan si bodoh yang membuka tutup panci panas dengan tangan kosong.

“BODOH!!!” umpatku seraya mematikan kompor, membuka tutup panci dengan kain lap tentunya, lalu menarik tangan si bodoh itu ke bawah wastafel. “BISAKAH SEHARI SAJA KAU BERSIKAP SESUAI UMURMU???”

“Samu, sakit!!!” rengeknya kesakitan saat air dingin mengaliri tangannya yang merah dan melepuh.

Reflek, aku ikut meringis perih karenanya. “Kau harus ingat, benda panas apapun, TIDAK BOLEH DIPEGANG DENGAN TANGAN KOSONG. Kenapa begitu saja kau tidak mengerti, sih?!” bentakku kesal.

“Aku ingin membantu Samu-”

“Tidak butuh!!!”

Lima menit setelah insiden itu, Tsumu makan dengan sebelah tangan yang diperban. Makannya kececeran seperti biasa dan sumpitnya terjatuh terus sehingga aku menggantinya dengan sendok, tentu setelah memukul kepalanya terlebih dahulu. Sementara aku makan sambil berdiri, mempersiapkan segala kebutuhanku ke sekolah dan tidak ada waktu untuk mengepal onigiri karena segala drama yang terjadi pagi ini.

Kemudian sambil mengunyah, aku pergi ke kamar ibu. Mengebas tempat tidurnya sebentar lalu mengambil beberapa lembar uang untukku dan si bodoh yang tidak bisa menghitung dengan benar.

“Nanti Nenek Kita mungkin akan ke sini mengantarkan bahan makanan,” terangku sembari memasukkan sejumlah uang ke dalam saku piyamanya. “Biarkan dia masuk dan mengatur semuanya, jangan diganggu, lalu kau berikan saja semua uang ini. Jangan merepotkan orang tua sepertinya dan minta dibelikan jajan. Mengerti???”

“Iya, Samu!” Tsumu tersenyum dengan mulut penuh, seolah tangannya tak pernah terbakar. Seolah aku tak pernah mengumpati dan menghajarnya. “Nasi putih buatan Samu sangat enak!”

“Kau ini mendengarkanku tidak, sih?!”

“Dengar!”

Aku memakai sepatuku, memperhatikan kondisi dapur yang masih berantakan dan si bodoh yang makan dengan lahap. Meninggalkan rumah dalam keadaan seperti ini dan nantinya akan kedatangan nenek tetangga yang suka membantu kami... Pasti Nenek Kita takkan keberatan, tapi aku tak mau merepotkannya. Di sisi lain, tidak ada waktu untuk merapikannya selagi aku bersekolah. Dan kalau si bodoh itu tidak ada kegiatan, ia akan semakin membuat masalah.

“Nih!” Aku masuk lagi untuk melempar sebuah buku berhitung untuk anak SD ke depan wajahnya. “Coba selesaikan ini, nanti aku cek setelah pulang.”

“Baik, Samu! Kalau aku sudah selesai, boleh aku ke sekolahmu???”

“Tentu saja tidak, bodoh!”


Mendekati jam pulang, perutku sangat keroncongan. Istirahat dua sesi kuisi dengan sepotong sosis sapi dan roti coklat milik Ginjima. Bekalku ketinggalan dan aku bahkan tidak ingat apakah aku memang sempat membuatnya atau hanya halusinasiku saja. Kalau tidak ada teman-teman yang merelakan sebagian lauk dan jajan yang mereka bawa, mungkin aku sudah sekarat di jam pelajaran olahraga.

Dan akhirnya, bel sekolah penanda jam pulang berkumandang. Aku mengemasi barangku lebih cepat dari biasanya, sementara Suna mengeluarkan kaos dan sepatu volinya dari dalam loker.

“Miya, kau tidak datang lagi?” tanya Suna karena melihatku tidak bersiap untuk ke lapangan voli.

Ah, itu. Sudah dua minggu sejak pembukaan rekrut kegiatan ekskul dan aku masih belum memutuskan apapun. Salah, sebenarnya aku sudah memutuskan untuk ikut voli sejak SMP kalau saja... Tidak, aku tak sedang menyalahkan ibu. Akan tetapi, ekskul yang memakan waktu dua jam, ditambah Inarizaki adalah sekolah yang kuat di olahraga dan besar kemungkinan untuk ikut pertandingan, aku tidak akan sanggup. Aku sekarang tahu betapa beratnya beban ibu mengasuh si bodoh itu dan tidak mungkin aku merepotkan nenek Kita yang sudah tua untuk menjaganya meski nenek mau-mau saja.

“Kau tahu kalau Kita-san akan menutup pendaftaran bulan ini, kan?”

Ucapan Suna semakin membuatku goyah. Kita-san yang dimaksud adalah cucu dari nenek Kita, tetangga kami, atau sebut saja Kita Shinsuke. Berada di kelas akhir, menjabat sebagai kapten voli Inarizaki dan sebenarnya aku jarang sekali melihatnya di rumah meski sudah bertetangga dengannya sejak 5 tahun belakangan ini, hanya sekilas atau berpapasan saja. Tinggal berdua dengan nenek Kita yang selalu menyapa dan membantu keluarga kami soal urusan makanan dan menemani si bodoh tiap ibu bekerja.

Di sekolahpun, Kita Shinsuke selalu terlihat menenteng buku dan mengobrol dengan teman-temannya yang terlihat pintar dan populer. Seperti Ojiro Aran, si bintang sekolah misalnya. Yang kutahu, ia begitu ambisius jadi aku merasa takkan mungkin bisa satu frekuensi dengannya.

Hanya sekali aku bertatap muka terang-terangan dengannya, yaitu saat pemakaman ibu. Ia membantu melayani tamu-tamu yang datang ke rumah duka, hanya mengatakan hal seputar sekolah padaku yang lebih terdengar seperti basa-basi saja, atau mungkin aku yang terlalu sedih hingga tak mengingat hal lainnya.

“Akan kupikirkan lagi,” ucapku dengan perasaan masih tak rela. “Aku masih harus mengurus rumah karena bangun kesiangan.” dan menjaga si bodoh itu.

“Baiklah,” balas Suna, ia pasti heran karena saat hari pertama bertemu aku sudah dengan percaya diri bercerita kalau tujuanku untuk masuk Inarizaki adalah untuk mengikuti ekskul volinya yang kuat. Mungkin ia lebih memahami kalau aku masih berduka.

Aku lalu berpisah dengannya, berpamitan pula dengan Ginjima dan Kosaku yang berpapasan denganku di koridor. Merasa sedih tidak ada gunanya. Entah sampai kapan aku harus mengalah, mengalah, dan mengalah. Melawan egoku sendiri demi menjaga si bodoh agar tetap hidup.

Ibu memang tidak pernah mengabaikanku. Hanya saja kondisi Tsumu membuat jarak di antara kami semua. Ibu tentu bersedih, tapi akupun juga begitu. Aku selalu ingin marah tiap si bodoh itu memakai pakaianku tanpa ijin, mengambil makananku, menggangguku dan semuanya itu demi mencari perhatianku. Seperti... Tidak cukupkah dia menguras seluruh perhatian ibu? Kalau saja dia bisa berpikir bahwa dia bukan anak tunggal, mungkin hidupku dan ibu akan bisa sedikit lebih baik.

Sakit di perutku membuatku merintih dan terpaksa aku berhenti untuk singgah sebentar di bawah, karena untuk menuju rumah aku harus melewati dataran tinggi yang masih beberapa meter di depan itu lebih dulu dan aku tak ingin mengambil resiko jatuh menggelinding di tangga.

Aku berjongkok dan memeluk lutut, berharap perih di perutku segera hilang. Tanpa sadar air mata telah menggenang dan kemudian mengalir membasahi pipiku, hingga menetes deras bak hujan, tertahan oleh syal yang membalut leherku.

Aku ingat bagaimana kerasnya si bodoh itu menangis saat tahu bahwa ibu telah meninggalkan kami. Awalnya dia tak mengerti, dikiranya ibu hanya tidur sebentar dan setelah diobati, besok akan kembali membangunkannya dengan senyum dan bau telur goreng yang sedap.

Meninggal itu berarti pergi. Tidak kembali lagi. Tidak di dunia ini.

Pergi ke mana?

Ke tempat yang lebih baik.

Boleh aku ikut ke sana juga?

Tidak bisa sekarang, Tsumu. Kau harus bersabar dan menikmati hari berikutnya. Jaga Osamu, ya?

Saat Kita Shinsuke yang sama sekali tidak kami kenal menjelaskan konsep kematian pada Tsumu, barulah si bodoh itu meledak. Aku juga ingin menangis seperti itu, didengarkan oleh semua orang kalau aku di sini, sangatlah sakit hati dan ingin semua masalah berakhir. Tapi aku tidak bisa. Aku sudah berumur 15 tahun dan dituntut untuk lebih dewasa dari kakakku. Orang yang harusnya melindungiku dan bukanlah sebaliknya.

“Samu-”

Ah, sial. Gara-gara memikirkannya aku jadi mendengar suaranya lagi.

“SAMUUU!!!”

Kenapa kedengarannya makin keras, ya? Bisakah ia pergi dari pikiranku lima menit saja?

“OSAMUUUUU!!!!!!”

Suaranya terdengar begitu kekanakan dan menyebalkan. Telingaku sampai sakit mendengarnya dan kupikir aku hanya berhalusinasi karena terlalu kesal. Sampai akhirnya bahuku digoncang dengan kuat dan suara itu menyerbuku dari depan.

“Samu, samu, samu!!! Kau tidak apa-apa???” Wajah si bodoh itu tepat di hadapanku, air matanya yang juga bercururan sepertiku membuatku mengira aku sedang berkaca.

“Kau...” Aku mengusap wajahku yang basah dengan lengan seragamku, kemudian sadar bahwa dia seharusnya tidak ada di sini. “BODOH!!! APA YANG KAU LAKUKAN DI SINI??? KENAPA KAU PERGI DARI RUMAH??? KAU PASTI TIDAK MENGUNCINYA, KAN?!”

“Samu, aku tadi mencari sekolahmu tapi aku tidak-”

“KAU- APA???” Aku semakin tidak habis pikir dengan jalan pikirannya. “SUDAH KUBILANG JANGAN MENGIKUTIKU!!! KE SEKOLAH, KATAMU???”

“TAPI BEKALMU KETINGGALAN!!! SAMU TADI ADA JAM OLAHRAGA, KAN??? PASTI SAMU KELAPARAN!!!”

Dia juga membalas bertubi-tubi dengan suara yang sama kerasnya, lalu menunjukkan kotak bekal motif kayu yang sudah menjadi propertiku sejak SMP. Ah, ternyata aku memang tadi sempat membuat bekal, tapi bukan itu poin pentingnya.

“I-IYA AKU LAPAR TAPI- BODOH!!! KAU BENAR-BENAR BODOH!!!”

Setelahnya aku menyeretnya dan sepanjang perjalanan ia terus berbicara betapa senangnya ia bertemu aku dalam keadaan masih hidup, melihat sepasang murid berseragam serupa denganku tapi tidak sempat disapanya dan aku memarahinya karena yang benar saja??? Aku tak pernah mengatakan aku punya saudara, dan lagi, wajahnya benar-benar mirip denganku dan aku tak ingin dicap memalukan oleh orang-orang.

Nenek Kita menyambut kami dengan wajah khawatir dan bercerita kalau sejak siang sudah kehilangan Tsumu, yang mana menjelaskan wajah si bodoh yang seperti terbakar sinar matahari dan akupun meminta maaf (memaksanya juga) atas perbuatannya.

Malam itu aku memakan tuna kaleng dan nasi yang sudah bercampur dan dingin, sembari mengerjakan tugasku dan mengawasi si bodoh itu yang berusaha memecahkan soal perhitungan anak SD yang ditinggalkannya selama berjam-jam demi memastikan aku tidak kelaparan di sekolah.