Part 0: Hari pertama atas semuanya
Namaku Osamu. Miya Osamu, lengkapnya.
Aku baru saja berulang tahun yang ke-15 tahun dan ibuku menepati janjinya untuk memberikan bekas gudang dan tempat mencuci pakaian sebagai kamar baruku.
Rasanya aneh karena tiba-tiba tidur sendiri, tapi tentu saja ini jauh lebih baik. Ruangan ini jauh lebih kecil dari kamarku dulu, mungkin separuhnya? Aku bahkan tak mengukur karena bagiku sekarang ini terasa luas. Memiliki kamar sendiri adalah impianku sejak kecil.
Karenanya, bagiku ini sangat sempurna. Tidur sendiri di kasur yang kukuasai sendiri, merapikan kamarku (atau mungkin aku akan menghiasnya saat sudah punya banyak waktu), menjadi murid kelas 1 SMA yang normal dan mengenakan seragam baruku tanpa terusik oleh si bodoh yang-
Tunggu... Di mana seragamku???
“SAMUUU!!!”
Nah. Itu dia.
“SAMUUU, SEJAK KAPAN JASMU COKELAT BEGINI??? MAU YANG BIRU-”
Gawat.
Dengan cepat aku membuka pintu kamar dan benar saja, si bodoh itu entah dapat dari mana jas seragam baruku. Dikenakan dengan sembarangan dan dasi yang melingkari kepalanya membuatnya terlihat semakin bodoh. Bahkan ia tak bisa mengancingkannya dengan benar!
“AKU SUDAH BILANG UNTUK TIDAK MEMAKAI SERAGAMKU!” teriakku kesal sembari menarik jas dari tubuhnya.
“SAMU, AKU CUMA PINJAM-”
“MEMANGNYA KAU TAK PUNYA SERAGAM SENDIRI??? LAGIPULA UNTUK APA KAU MEMAKAINYA KALAU SEKOLAH SAJA TIDAK?!”
“Astaga, kalian!”
Ibu yang sejak tadi -entah melakukan apa, mungkin sejak aku selesai cuci muka- di kamar mandi, keluar dan mendapatiku masih berusaha melepaskan jasku dari si bodoh yang tentu saja masih merengek minta semua keinginannya dituruti.
“Samu, kalau kau menariknya begitu kau akan merobeknya! Ibu sudah bilang kalau seragammu sangat mahal, kan?!” sentak ibu selagi melerai kami dan setelah perjuangan yang besar, berhasil memisahkan kami dan akupun mendapat seragamku dalam keadaan kusut.
“Dia yang memakainya duluan tanpa ijin!” belaku pada diri sendiri.
“Tapi aku juga ingin ikut Samu ke sekolah!” balas si bodoh dengan wajah dibuat memelas. Ah, pasti dia sebentar lagi akan menangis palsu. “Ibu kenapa tidak membelikanku seragam sepertinya?”
“Ibu akan membelikannya saat kau sudah siap nanti, Tsumu,” jawab ibu dengan senyumnya.
“Ibuuu-”
“Diam!” Aku melemparinya dengan sandal rumah karena tidak tahan lagi. “Jangan menyusahkan ibu selama aku sekolah!”
“Osamu, kau tidak boleh seperti itu kepada Atsumu!”
Aku hanya memperhatikan ibu yang setelah menegurku dengan marah, langsung beralih kepada si bodoh yang kini menangis dan mengusap wajahnya, menanyainya 'Apa Tsumu tidak apa-apa? Mana yang sakit?' dengan sangat lembut.
Tanganku terkepal menyaksikannya. Tanpa berkata apa-apa, aku kembali masuk ke kamarku dan melampiaskan emosiku dengan membanting pintu, jauh lebih baik ketimbang menghujat yang mana akan mendapat teguran lebih parah dari ibu.
Aku melempar jas seragamku ke atas tempat tidur single yang sebenarnya bekas tempat tidur susun milikku dan si bodoh itu – ibu meminta tolong tetangga untuk membantu memotongkannya karena kami sekarang tidur di kamar terpisah.
Nafasku tidak karuan, jantungku mungkin sedang bekerja 3 kali lipat lebih cepat daripada biasanya karena amarahku. Aku masih dapat mendengar dengan samar percakapan ibu dan si bodoh.
'Apakah Samu membenciku, bu?', si bodoh mempertanyakan hal yang orang tidak bisa melihatpun dapat mengetahui jawabannya dengan jelas dan ibu menimpali, 'Tidak, Sayang. Samu kesal karena Tsumu memakai seragamnya tanpa ijin. Itu tidak baik. Tsumu harus meminta maaf pada Samu nanti.'
Tidak sudi aku menerima permintaan maafnya. Aku mendongak dan kembali menghembuskan nafas panjang. Tatapanku tanpa sengaja jatuh kepada cermin yang baru dibelikan ibu kemarin. Menatap refleksi wajah yang sangat kubenci karena mengingatkanku pada si bodoh itu.
Miya Atsumu, kebetulan baru berulang tahun ke-15 juga dengan mental seperti anak SD yang bahkan rata-rata masih lebih pintar dibanding dirinya.
Miya Atsumu, kebetulan memiliki wajah yang 95 persen mirip denganku dan membuatku muak dengan wajahku sendiri.
Miya Atsumu, kebetulan lahir 5 menit lebih awal dari rahim ibu yang sama.
Miya Atsumu, kebetulan yang teramat salah dan aku sangat membencinya.
Menjadi anak kelas 1 SMA berarti harus memulai dari awal lagi. Berkenalan dengan orang baru, lingkungan baru, denah baru, dan semua hal baru yang membawaku selangkah lebih dekat dengan kebebasan.
Mereka bilang, setelah lulus nanti kau bisa melakukan apapun. Bebas dari belajar dan aturan, minum alkohol, bekerja, jalan-jalan tanpa beban, dan masih banyak lagi. Saat lulus nanti, aku pasti akan mencari pekerjaan dan tinggal jauh dari si bodoh itu. Menikmati masa mudaku dan mewujudkan harapan-harapan yang harus kuputus karena keberadaannya.
Tapi, mari kembali ke masa sekarang terlebih dahulu. Berkawan tidak begitu sulit. Aku kebetulan satu bangku dengan Suna Rintarou, seorang murid pindahan dari Aichi yang diundang untuk bersekolah di Inarizaki. Saat istirahat, kami berdua satu meja dengan Ginjima Hitoshi yang sangat suka membangkitkan suasana dan Kosaku Yuuto yang lebih seperti pendengar kami.
Ah, hari pertama berjalan dengan sangat menyenangkan! Terutama, hanya ada satu Miya di sekolah ini. Hanya aku. Tiga tahun harus berbagi nama dengan si bodoh itu di SMP, belum lagi orang-orang yang tak bisa membedakan kami meski Atsumu berada di kelas khusus yang hanya dia murid satu-satunya di sana. Si bodoh itu benar-benar ngotot ingin satu sekolah denganku dan membuat ibu harus menguras tabungan demi membelikan seragam serta membayar guru privat hanya untuknya.
Aku bebas! Masa SMA-ku akan berjalan dengan sangat hebat! Selama datang kehidupan yang sesungguhnya! Akan kubuktikan pada ibu bahwa aku dapat bersinar tanpa bayang-bayang si beban.
Kami sibuk mengobrol tentang ekskul apa yang akan kami ambil nantinya kalau saja namaku tak disebut berkali-kali oleh radio sekolah.
Aku benar-benar hampir melupakan kekesalanku pada si bodoh itu. Sungguh. Aku bahkan nyaris menganggapnya benar-benar tak ada di muka bumi ketika semua orang memanggilku 'Miya'.
Sungguh aku yakin dia pasti tahu dan sengaja memperburuk suasana hatiku. Baru hari pertama dan ia sudah mempermalukanku seperti ini.
Saat tiba di ruang guru, wali kelasku memberitahu bahwa Miya Atsumu mencari Samu dan takkan bilang alasan menelepon sampai Samu sendiri yang mengangkat telepon.
“SAMUUU!!! SAMU, SAMU, SAMU!!!” Tangisan si bodoh sangat keras dan aku takut kalau satu sekolah bisa mendengarnya.
“Sialan kau,” bisikku berusaha menahan diri untuk tidak teriak di ruang guru saat gagang telepon beralih ke tanganku. “Kau benar-benar! Dari mana kau bisa tahu nomor sekolah?! Di mana ibu??? Jangan sembarangan telepon! Kau tidak ingat rumah kita didatangi ambulans karena kau telepon rumah sakit dan bilang ikanmu mati??!!!”
“Samu... Apakah Samu masih membenciku?”
Aku melongo. Bodoh. BODOH. Aku hampir meneriakinya seperti itu kalau saja dia tak melanjutkan, “Maaf kalau Samu masih marah. Tapi ibu tidak bernafas dan cucian masih banyak. Nenek Kita sedang pergi jadi aku hanya memikirkan Samu saja. Apa Samu bisa pulang sekarang-”
Ibu tidak bernafas.
Ibu tidak bernafas.
Ibu tidak bernafas.
Hanya tiga kata yang terngiang di benakku hingga gagang telepon terjatuh dari tanganku. Tidak kupedulikan guru-guru yang memanggil namaku dan suara si bodoh yang terasa makin memekakkan telinga.
Mungkin, tidak ada yang namanya hari pertama yang sempurna.