Part 1: Adaptasi

Di hari ke-4 setelah tiba di Osaka, tabungan ibu sudah mulai menipis.

Awalnya aku mengira aku dapat membelanjakan keperluan kami dengan baik, tetapi kami butuh bantal dan selimut lebih karena yang disediakan kamar ini terlalu berdebu dan aku harus mencucinya dulu, obat alergi untuk Tsumu yang tertinggal di Hyogo (yang mana tidak murah karena kami juga meninggalkan kartu kesehatan kami di sana), dan pakaian hangat karena si bodoh itu lebih mementingkan buku pelajarannya.

Aku tidak tahu bagaimana bisa ibu mengatur pengeluarannya dengan sangat baik di saat ia harus memenuhi kebutuhan kami yang tak sedikit serta membayar hutang.

Dan aku tidak tahu bahwa tanpa ibu, aku menjadi seboros ini.

“Samu, aku ingin es krim,” ucap Tsumu dengan suara parau sembari menggosok hidungnya yang basah.

“Sudah kubilang, tidak ada es krim sampai kau sembuh,” balasku kesal, mengambil tisu dan memencet hidungnya yang mana ia langsung menanggapi dengan membuang ingusnya dengan keras di sana.

Pilek Tsumu semakin parah, penghangat di ruangan kami baru selesai diperbaiki kemarin tetapi tentu itu tak membuatnya langsung sembuh. Aku sendiri juga merasa kepalaku semakin berat dan tenggorokanku kering setiap harinya. Kalau aku juga ikut sakit, maka bulan ini kami terpaksa harus makan bubur setiap hari.

Kalaupun aku sakit, aku tetap harus melakukan sesuatu. Apa yang akan ibu lakukan?

Bekerja.

Ya, itu satu-satunya cara agar kami tetap dapat makan nasi dan punya tempat untuk tidur seperti sekarang. Bibi onigiri selalu memberikan kami nasi gratis, tapi aku tidak yakin kami akan mendapatkan kemurahan itu selamanya.

Setelah beres dengan ingusnya, Tsumu membungkus kembali tubuhnya dengan selimut dan mencoret-coret bukunya dengan asal. Aku memperhatikannya sambil memakai satu-satunya pakaian formal yang kubawa; seragamku. Kudengar sangat mudah bagi pelajar untuk mendapatkan pekerjaan paruh waktu, jadi mungkin saja aku bisa mendapatkan 3 dalam sehari (jika aku tidak salah membagi waktu).

Masalahnya, apa tidak apa-apa jika aku meninggalkannya dengan keadaan seperti ini? Tidak mungkin aku membiarkannya ikut meskipun ia bersikeras mengikutiku kemanapun. Hanya aku yang bisa ia andalkan saat ini, tapi kalau aku tidak pergi...

Bibi onigiri sudah pergi menjajakan dagangannya dan aku tidak mengenal tetangga kamar yang lain, karena lagipula, mereka semua adalah pelajar yang sibuk dan tidak sepertiku yang putus sekolah seperti ini.

Ini bukan saatnya berkabung. Demi kehidupan yang kuharap lebih baik, aku harus membuang kenangan dan egoku sendiri.

Kepalaku semakin sakit saja rasanya memikirkan semua ini sendirian. Ternyata begini rasanya jadi ibu. Apakah selama ini ibu juga memiliki tempat bercerita? Pernahkah ibu merasa 'senang' sebentar saja di waktu luangnya yang tersita hampir seluruhnya?

“Oh, Samu mau pergi ke sekolah???”

Aku tersadar dari lamunanku. Tsumu sudah kembali duduk, mata berairnya terlihat begitu senang saat menyadari aku sudah memakai kemeja putih dan celana abu-abuku. Ia selalu terlihat sesenang itu melihatku memakai seragam, membangunkanku agar kami bisa sarapan bersama dan mengikutiku sampai depan pintu yang mana aku langsung menendangnya masuk karena tidak ingin diikuti. Sering kali sepulang sekolah, aku melihatnya bercerita dengan senangnya kepada nenek Kita bahwa aku bersekolah di tempat impianku seolah itu juga adalah salah satu keinginan terbesarya.

Sekarang, ia masih nampak bersemangat seperti dulu.

“Jangan melupakan jasmu!” imbuhnya.

“Oh... Iya...”

Aku dengan canggung mengambil jas coklatku yang tergantung di pintu lemari, lalu memakainya sebelum memberi lapisan berupa mantel. Sama sekali tak punya hati untuk memberitahunya bahwa aku tak lagi menjadi saudara yang dibanggakannya.

“Hati-hati di jalan, Samu!” Ia melambai dengan tisu yang tersumpal pada sebelah lubang hidungnya. “Semoga Samu mendapatkan teman-teman yang menyenangkan!”

“Iya,” jawabku singkat, lalu memberi serangkaian pesan padanya. “Jangan nakal dan merepotkan orang lain. Kalau hidungmu terasa gatal dan penuh, langsung buang ingus. Pakai tisu! Lalu buang ke tempat sampah! Jangan lupa untuk rajin minum air putih! Dua jam lagi kau harus makan lalu minum obat yang tadi pagi-“

“Lagi???” selanya penuh kekecewaan akan fakta kalau ia harus menelan butiran obat dan bukannya sirup yang manis.

“Tentu saja, bodoh! Tulisannya diminum 3 kali sehari!”

“Argh, aku tidak suka!”

“Kau mau sembuh atau kupukul?!”

Barulah 15 menit yang penuh dengan perdebatan (yang berakhir karena aku berjanji akan membelikannya taiyaki sepulang nanti dan ia langsung mengiyakan perintahku), aku berhasil keluar dari kamar dan menutup pintunya erat.


Tidak sesuai dugaanku, mencari pekerjaan ternyata sulit. Kupikir aku akan mendapatkan setidaknya satu saja dengan modal belas kasihan. Banyak toko yang kulewati mempekerjakan orang-orang yang lebih besar dan karena merasa sudah cukup dengan itu, para tuan sepertinya tidak ingin mengeluarkan biaya lagi untuk membayarku.

Menjelang sore hari, aku sadar bahwa aku berjalan sangat jauh hingga sampai di dekat pantai. Aku memutuskan untuk duduk di sebuah bangku panjang depan toko kelontong dengan sekotak susu yang baru kubeli. Perjalanan hari ini tidak membuahkan hasil, tetapi aku tak boleh menyerah. Osaka sangat luas dan belum semuanya kujelajahi.

Sambil menikmati susu yang mengalir ke perutku, mataku tak sengaja jatuh tepat terhadap sekumpulan pelajar yang berlarian melewatiku, melepas sepatu mereka, kemudian saling mengejar ke pantai hingga kaki telanjang mereka dipenuhi oleh pasir, tertawa bahagia dan ikut maju mundur mengikuti ombak yang berdatangan.

Mereka terlihat bahagia.

Bukankah, seharusnya aku juga menjadi salah satu di antara mereka?

Kenapa aku di sini?

Apa yang sebenarnya kulakukan?

“Jam segini, Kita-san pasti sudah membuka kunci ruang ganti voli,” gumamku pada diri sendiri. “Lalu Suna, Gin, dan Kosaku sudah menyiapkan sepatu mereka.”

Pemandangan akan para pelajar sebayaku yang bermain di pantai tertutupi oleh seorang kakek yang kepayahan menarik kereta kayu berisikan muatan perahu yang berlabuh di pantai. Aku buru-buru bangkit dan berlari, menahan gerobaknya yang hampir kembali mundur karena pria yang mungkin berusia 60-an itu tidak sanggup menariknya.

“Ah, terima kasih anak muda!” ucap kakek itu sambil kami bersama membawa muatan tersebut ke depan toko kelontong tempatku singgah yang ternyata juga dikelolanya. “Tangkapanku hari ini sangat banyak. Syukurlah! Dewi rupanya memang berpihak padaku!”

Aku hanya mengangguk dan melihat nenek toko rupanya sudah keluar untuk membuka kotak-kotak foam yang berada di luar. Rupanya mereka pengusaha ikan juga. Sepertinya bisnis mereka memang banyak dan berusia lanjut seperti ini mungkin akan membuat mereka kewalahan. Tampaknya merek sepasang orang tua yang baik dan tidak suka memerintah. Mendadak aku merasa percaya diri akan kesempatan yang bisa saja kudapat hari ini.

“Aku sudah bilang untuk tidak membawa semuanya sendiri!” omel nenek kepada sang suami. “Kau mau punggungmu patah dan tidak bisa ke laut lagi?”

“Dan buktinya aku masih sehat, kan? Pekerja yang kusewa beberapa hari lalu itu kasar, aku tidak suka,” balas kakek seraya terkekeh, lalu menepuk bahuku secara tiba-tiba. “Untung saja ada anak baik hati ini yang membantuku. Siapa namamu, Nak?”

“Miya Osamu,” jawabku.

“Ah, Osamu-kun. Terima kasih sudah membantu suamiku yang keras kepala ini.” Nenek tersenyum menimpali dan memberikan sekotak susu lagi padaku.

“Omong-omong…” Aku bertanya sembari menatap mereka. “Apakah kalian mungkin membutuhkan seorang asisten? Saya bisa melakukan pekerjaan kasar.”

“Aduh, kalau masih sekolah…” Kakek menelitiku dari atas ke bawah. “Nak, kau seharusnya bermain dengan teman-temanmu, kan?”

“Benar,” sahut nenek, balas menatapku seperti aku ini adalah cucunya yang jarang pulang dan sekalinya datang harus selalu dimanjakan. “Kami yang tidak tega melihatmu mengangkat beban berat. Lebih baik kami cari orang dewasa lagi.”

Jawaban mereka membuatku ingin menangis. Aku membungkuk dalam hingga keduanya terkesiap, tidak menyangka aku yang berpakaian seragam bagus, akan memohon sampai seperti ini demi mendapatkan sepeser uang.

“Saya sangat membutuhkan uang lebih,” ucapku, menahan air mataku yang nyaris keluar. Sesak sekali harus merendah seperti ini. “Saudara saya berkebutuhan khusus dan saya bertanggung jawab akan dia sepenuhnya.”

“Osamu-kun…”

“Saya- Janji tidak akan merepotkan! Saya janji akan bekerja sekeras mungkin agar tidak mengecewakan kalian!”

Dan atas beberapa pertimbangan (serta belas kasihan), aku berhasil mendapatkan pekerjaan itu. Aku tidak tahu keputusan yang kuambil ini benar atau tidak karena kakek nelayan memintaku untuk datang besok subuh sedangkan aku, yang baru mempelajari tata letak Osaka, baru sampai ke kamar sewaan kami di malam hari.

Aku berlari dan tidak sempat menyapa bibi onigiri yang menawarkan dagangannya padaku, melompati beberapa anak tangga dan membuka pintu kamar kami dengan kekuatan berlebih. Tidak ada siapapun atau sesuatu mencurigakan selain sepiring onigiri yang salah satunya sudah digigit setengah dan buntalan selimut di atas futon.

“Tsumu!”

Tsumu rupanya sudah tertidur dan ia langsung terlonjak karena aku mengguncang buntalan selimut yang membungkus tubuhnya. Aku membuang napas lega karena mengiranya pingsan, bungkusan obat yang sudah disobek tercecer di sebelah kepala, menandakan ia meminum obatnya dengan benar.

“Hah? Ada apa??? Oh, Samu…” Tsumu membalas dengan wajah mengantuknya, lalu menguap. “Hoaaamm… Selamat datang, Samu… Kau habis main di pantai dengan teman barumu? Kau bau ikan…”

Oh, bagus. Suaranya sudah tidak sejelek tadi dan penciumannya mulai berfungsi kembali.

“Senangnya Samu kembali bersekolah…” Tsumu kembali berbaring dan tersenyum dalam melanjutkan tidurnya. “Aku senang… Samu sekolah…”

Ia senang.

Berarti aku tidak membuat keputusan yang salah.

Bertahanlah, Tsumu. Kita pasti akan terbiasa dengan kehidupan ini.

Aku pasti akan terbiasa.