Part 2: Kesepian
Sepertinya aku tidak akan pernah menjadi seperti ibu.
Lucu sekali, bahkan sempat memiliki pemikiran seperti itu saja membuatku nyaris tertawa terbahak-bahak. Hal yang sangat mustahil untuk kulakukan. Bahkan bangun sebelum matahari terbit saja aku tidak bisa.
Jadi, aku bangun kesiangan di hari pertamaku bekerja.
Tsumu masih mendengkur di sebelahku, tapi sudah tidak sekeras kemarin. Aku memperhatikan sisi di sebelah Tsumu, tidak terlalu banyak buntalan tisu yang menandakan keadaannya semakin membaik.
Aku mempertimbangkan apakah harus membangunkannya dan berpamitan kepadanya. Tapi Tsumu tidak tahu kalau aku bekerja. Ia hanya tahu kalau aku akan bersekolah lagi meskipun ini bukan di Hyogo.
Lebih baik ia tetap berpikir seperti itu. Ku ambil buku miliknya yang berisi gambar-gambar pesawat dan roket yang lebih terlihat seperti gelas terbang, menuliskan banyak sekali pesan-pesan yang harus ia turuti selama aku pergi dan memberitahu tentang makanan apa saja yang aku simpankan untuknya seharian.
- Makanlah nasi dan asinan plum yang ada di dandang. (Tidak usah mengomel tidak enak)
- Jangan merepotkan siapapun yang ada di rumah ini termasuk bibi onigiri. DAN JANGAN MINTA ONIGIRI KALAU BUKAN DIA SENDIRI YANG MAU MEMBERI!!!
- Tetap di kamar dan jangan kemana-mana. Aku mau pergi ke sekolah dan pulang malam, karena itu jangan telepon polisi ataupun ambulans.
Setelah menyimpan kembali bukunya, aku berusaha untuk tidak menimbulkan suara yang terlalu keras untuk ke kamar mandi sekedar membasuh muka dan mencuci mulutku, lalu kembali ke depan untuk mengambil seragam (sekolah) ku.
Tentu saja Kakek Usui takkan memberikan baju khusus untukku. Ia bukan pemilik toko besar, pun sebagai nelayan maupun pedagang ikan yang terbilang memiliki cukup banyak pelanggan setia.
Jadi aku hanya perlu datang dengan seluruh tubuhku saja dan itu sudah lebih dari cukup.
Tetapi yang kulakukan adalah datang dengan perut kosong.
Aku tidak berani mengatakan apapun. Kakek Usui melambaikan tangannya dan telah siap dengan prlengkapannya. Tidak mungkin aku minta roti atau susu demi mengganjal laparku.
Rasanya aku tidak pernah sesedih ini karena harus merasa kelaparan dulu untuk mencari makan.
“Osamu-kun, bukankah lebih baik kau tinggalkan seragammu?” tanya Kakek Usui. “Sayang sekali kalau dibawa ke laut. Bahannya terlihat sangat bagus dan mahal.”
“Oh.”
Aku menggumam. Pakaian yang kukenakan sekarang adalah pakaian paling nyaman yang kubawa dari Hyogo.
Tapi masa bodoh. Aku berada di sini untuk membeli piyama yang lebih nyaman dan hangat supaya aku dan Tsumu tidak lagi tidur dengan mengenakan celana olahraga dan mantel.
Aku melepaskan jas seragamku, meletakkannya di bebatuan dekat pantai, lalu melangkah mengikuti pria paruh baya yang memberikan jaket keselamatan padaku.
Di hari pertamaku bekerja, aku tidak sengaja membuat kekacauan dengan melepas semua ikan-ikan yang berhasil kutangkap dan susah payah Kakek Usui ajarkan caranya.
Kakek terlihat kecewa, jelas sekali kalau ia lelah seharian mengajariku yang tidak tahu apa-apa tentang laut di saat ia mungkin bisa memuat banyak sekali ikan dalam sekali tangkap. Aku meminta maaf, meski lututku rasanya tidak sanggup lagi menopang tubuhku.
Maka, hari itu berlalu dengan aku yang pulang membawa roti dan susu yang dijual Nenek Usui.
Dari kejauhan, aku melihat Tsumu sedang bersama dengan bibi onigiri. Ia tidak melakukan apapun, hanya duduk di tangga dengan memeluk lututnya dengan separuh wajahnya yang terbenam syal, memperhatikan bibi yang melayani pembeli, kemudian saat sudah sepi, mereka mengobrol kembali dengan asik.
Aku jadi penasaran apa yang mereka bicarakan. Tetapi niat burukku untuk menguping harus terhenti karena Tsumu menyadari kehadiranku dulu.
“OH!!! SAMU SUDAH PULANG!!!”
Ia tidak pernah berubah. Selalu yang paling semangat saat menyambutku pulang sekolah (meski saat ini aku sudah tidak lagi menjadi siswa). Ia selalu menanyakan bagaimana hariku, apakah menyenangkan, apakah aku bertemu teman-teman, apakah aku makan makanan yang enak di kantin, apakah aku bermain voli, apakah pelajarannya susah, dan masih banyak lagi.
Tsumu masih terlihat sama senangnya. Seharusnya ini seperti yang sudah-sudah, jika ini adalah aku yang dulu, maka aku akan sangat marah melihatnya tertawa dengan wajah bodoh sementara aku di sini kelelahan karena gagal mendapatkan uang satu yen.
Tsumu bergegas menghampiriku, meninggalkan bibi onigiri yang kembali pada pekerjaannya. Tanpa sadar, sebelah tanganku yang tidak menenteng kresek belanjaan, terangkat untuk melambai kepadanya.
Rasanya, perutku yang tadinya kram berangsur kendor kembali.
“Selamat datang, Samu!” sapa Tsumu ceria, dan seperti yang sudah kuduga, pileknya sembuh.
“Hm,” gumamku, lalu menunjukkan makanan yang kubeli. “Aku beli roti melon dan susu. Sudah lama tidak makan ini, kan?”
“Woah!!! Apa Samu bertemu dengan Nenek Kita?”
“Tentu saja tidak, bodoh! Aku beli di Nenek Usui.”
“Woaaahhhh!!!”
Matanya berbinar senang dan tangannya membuka bungkus jajanan kesukaannya yang sering Ibu belikan sebagai hadiah setiap ia berhasil menyelesaikan satu lembar soal perkalian.
Ah, dia makan dengan lahap. Aku jadi sedikit merasa bersalah. Kebiasaan buruk ke— Aku bahkan tidak tahu bagaimana lagi harus menghitungnya, tetapi ada saatnya Tsumu benar-benar tidak mau makan jika belum melihatku.
“Enak?” tanyaku. “Sama seperti yang di Hyogo, kan?”
“Uhm!” Ia mengangguk selagi mulutnya masih penuh. “Samu, kau bau ikan. Apa kau main ke pantai?”
“Ah... Iya.”
“Pasti Samu bertemu teman-teman baru di sana. Atau Samu pergi dengan teman-teman sekolah?”
Aku tidak tahu bagaimana menjawabnya. Bahkan aku juga tidak tahu bagaimana ia akan bereaksi kalau tahu kebohonganku yang satu ini.
Tentu ini bukan pertama kali aku berbohong padanya. Banyak sekali kebohongan yang kuciptakan kepada semua orang yang di hidupku. Teman-teman, tetangga, bahkan Ibu, dan tentu saja paling sering kepada Tsumu demi segera menyudahi percakapan yang sering membuatku muak.
Namun kini aku diliputi rasa tidak tenang.
Kalau suatu saat aku bukanlah seseorang yang diharapkannya, bukanlah seorang yang seharusnya menjadi pelindung dan panutannya, apakah ia akan kecewa? Apa yang akan dilakukannya setelahnya? Aku sungguh penasaran, tetapi juga tidak sanggup hanya untuk membayangkannya.
Bukankah aku seharusnya fokus dengan apa yang ada sekarang? Kami hanya memiliki satu sama lain dan satu-satunya yang dapat Tsumu percaya adalah aku. Jadi, aku tidak punya pilihan selain mempertahankan kepercayaannya.
“Dengar, kau sendiri juga bau. Kenapa kau tidak mandi saja?” Aku mengendus mantel miliknya dan berpura-pura muntah. “Kapan terakhir kau mandi, hah?”
Tsumu mengerucutkan bibirnya. “Samu sendiri yang bilang aku tidak boleh mandi kalau belum sembuh!”
“Itu karena kau suka berlama-lama berendam dan membuat sakitmu menjadi lebih lama juga!”
“Memangnya Samu tidak membuat kapal kertas dulu dan memainkannya di bak mandi???”
“Untuk apa aku melakukannya?!”
Dengan begitu, aku tidak perlu menjawab rasa penasaran Tsumu yang mudah teralihkan.
Begini lebih baik, bukan?
Seumur hidupnya, aku, Miya Osamu selalu disebut sebagai “Yang Lebih Pintar,” “Yang Lebih Hebat”, “Yang Lebih Besar”, “Yang Lebih Kuat”, dan masih banyak kelebihan lain yang membuat orang-orang mengagungkanku daripada kembaranku sendiri.
Tetapi seumur hidup itu mungkin telah berhenti ketika aku menginjak usia 15 tahun.
Karena sekarang, aku menyadari kalau aku bukan seorang yang ahli dalam bidang apapun. Sederet kelebihan yang dikatakan oleh orang membuatku berbaring di zona nyaman dan tidak bergerak untuk mengembangkannya menjadi sesuatu.
Aku bukan seorang yang rajin, pun pekerja keras. Dua kelebihan itu hanya dimiliki oleh Tsumu dan bukannya aku.
Seandainya hidup Tsumu tidak berhenti di usia 10 tahun, mungkin ia sudah mencapai jauh lebih banyak hal dariku yang tidak bisa apa-apa ini.
“Apa yang kau lamunkan, Osamu-kun?”
Aku menggeleng dan kembali memindahkan ikan-ikan segar yang baru saja Kakek Usui tangkap, ke dalam kotak pengemasan. Beliau menilaiku terlalu payah mengarungi laut, jadi ia memintaku untuk bekerja di darat saja. Pada akhirnya aku tetap tidak berguna dan membuatnya lelah bekerja.
Mungkin kesialan ini terjadi karena aku terlalu durhaka kepada ibu dan membunuh orang yang harus kuanggap ayah. Nyatanya, aku juga tidak baik daam pekerjaan ini. Kotak-kotak yang kukemas tidak terlalu rapat dan mengakibatkan muatannya terjatuh ke tanah saat akan kuangkat ke atas truk. Meski Kakek Usui mengatakan tidak apa-apa, kau masih belajar, aku tahu ia pasti mengumpat dalam hati dan berpikir betapa tidak bergunanya anak generasi sekarang.
Selesai dengan semuanya, aku hanya berdiri kikuk dan makan roti pemberian Nenek Usui, sementara mereka berdua bertransaksi dengan pembeli-pembeli yang berdatangan.
Apa yang harus kulakukan?
Apa yang sekarang Tsumu lakukan?
Setiap hari Tsumu bercerita kalau ia menemani bibi onigiri dari aku berangkat sekolah (bekerja, sebenarnya), melihat bibi membuat onigiri dan Tsumu bersumpah ia tidak memegang apapun dan hanya murni melihat, membersihkan kamar (lalu aku memukulnya karena yang ia maksud membersihkan adalah menyembunyikan semua debu ke bawah kasur), mengerjakan PR dariku, duduk di depan rumah dan melihat anak-anak yang pulang sekolah, anjing lewat, kucing makan ikan, atau orang tua yang bergandengan tangan bersama anak, lalu kembali menemani bibi onigiri sampai aku pulang.
Aku tahu Tsumu tidak akan bisa diam. Ia selalu punya sesuatu untuk dikerjakan, sesederhana apapun itu. Ia akan selalu memaknai semuanya dan tahu kalau ia akan senang dengan apa yang dilakukannya.
“Nenek!” Aku memanggil wanita paruh baya yang kembali masuk ke dalam toko setelah menjual permen kepada anak kecil.
“Ah, Osamu-kun! Apakah kau mau susu?” tanyanya.
“T-tidak, aku ingin bertanya apakah ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk membantu kalian?”
Nenek terlihat kebingungan, tentu saja, siapa yang mau memberikan tanggung jawab pada orang yang tidak bisa apa-apa sepertiku?
“Untuk hari ini, bagaimana kalau kau beristirahat dan pergi membeli makan untuk saudaramu?”
Ya. Seperti yang sudah-sudah, aku masih tidak berguna.
Aku mengangguk dengan berat dan membereskan barang-barangku, membungkuk dalam dan berterima kasih untuk bimbingan hari ini kepada Kakek dan Nenek yang sudah menerimaku apa adanya.
Sepanjang jalan, aku selalu berpapasan dengan hal-hal yang Tsumu ceritakan setiap hari.
Anak-anak yang baru pulang sekolah dan menikmati taiyaki mereka, bercanda ria dan mengatakan sesuatu tentang bertemu di festival musim dingin.
Ibu yang menggandeng anaknya yang bersikeras ingin membeli cokelat Natal padahal mereka tidak punya uang.
Kucing yang berebut makanan dengan kucing lainnya demi anak-anak mereka yang kelaparan di bawah atap.
Anjing yang duduk mengibaskan ekornya setiap kali aku lewat dan berharap aku memberinya secuil makanan.
Lalu Tsumu yang duduk di sebelah warung onigiri dan memperhatikan bibi yang menjajakan dagangannya ke anak-anak sekolah.
“Ah! Samu sudah pulang!”
Tsumu berseru ceria dan menghampiriku yang masih beberapa meter dari sana. Aku hanya mengangguk kikuk dan berharap Tsumu tidak bertanya kenapa aku selalu bau ikan setiap pulang.
“Apa Samu bersenang-senang hari ini?”
“Tentu saja.” Tidak, Tsumu. Uang kita hampir habis dan sepertinya besok kita harus meminta makan ke bibi. “Kau tidak merepotkan siapapun, kan hari ini?”
Alih-alih menjawab, Tsumu cekikikan dan malah menarik tanganku untuk segera masuk ke dalam. Seperti sedang bersemangat menunjukkan sesuatu yang sudah disimpannya sepanjang hari. Bukan ke kamar kami, tapi justru ke dapur milik bibi onigiri.
“Tsumu! Kau mengambil makanan milik bibi?” tanyaku blak-blakan saat melihatnya dengan sangat santai mengambil sebuah kotak dari penyimpanan makanan.
“Aku hari ini membuat onigiri!” sahutnya sambil membuka penutup kotak plastik di tangannya. “TARAAA- EH??? HANCUR???”
Wajah cerianya seketika berubah muram dan kecewa, kepalan nasi hasil kerja kerasnya hancur bercampur dengan tuna dan nori yang lembek.
“T-Tadi aku bisa membuatnya! Bibi bilang karena aku baik jadi aku boleh membantu… Aku mengepalkannya dengan baik seperti yang bibi contohkan… Lalu aku ingin menunggu sampai Samu datang dan kita makan bersama… Karena Samu suka dan sudah lama tidak makan ini, kan…”
Suaranya semakin lama semakin terdengar mencicit, matanya terlihat berkaca-kaca dan ia mulai menangis sesenggukkan.
Aku membayangkan Tsumu yang bosan menungguku, memutuskan untuk memperhatikan cara bibi onigiri bekerja dan menawarkan bantuan, berusaha melakukan yang terbaik dengan perut keroncongan karena ingin makan bersamaku.
Ah, perutku rasanya geli namun juga sesak.
Melihatnya seperti itu, membuatku ingin menangis. Yang di pikirannya hanya aku, aku, dan aku.
Detik berikutnya aku tertawa. Sangat lepas hingga mungkin akan terdengar sampai ke luar maupun lantai atas.
“Bodoh!” Aku mengacak rambutnya, lalu mengusap air mataku sendiri yang entah bagaimana bisa keluar seiring dengan bahakku. “Kenapa kau tak memakannya dan malah menungguku? Bodoh!”
“S-Samu pasti lelah dan ingin makan… Kupikir Samu tidak perlu memasak dan bisa langsung makan-“
“Bodoh!”
Malam itu kami makan ongiri hancur tersebut dan susu literan dari toko Nenek Usui yang akan basi hari berikutnya. Aku mendengarkan ceritanya dan menjawab singkat serta sealibi mungkin semua pertanyaan penuh rasa ingin tahu dari Tsumu tentang hariku demi mempertahankan keceriaan tersebut.
Ternyata aku memang segitu tidak ingin mengecewakannya.