Part 3: Menerima

Seumur hidupnya, aku, Miya Osamu selalu disebut sebagai “Yang Lebih Pintar,” “Yang Lebih Hebat”, “Yang Lebih Besar”, “Yang Lebih Kuat”, dan masih banyak kelebihan lain yang membuat orang-orang mengagungkanku daripada kembaranku sendiri.

Tetapi seumur hidup itu mungkin telah berhenti ketika aku menginjak usia 15 tahun.

Karena sekarang, aku menyadari kalau aku bukan seorang yang ahli dalam bidang apapun. Sederet kelebihan yang dikatakan oleh orang membuatku berbaring di zona nyaman dan tidak bergerak untuk mengembangkannya menjadi sesuatu.

Aku bukan seorang yang rajin, pun pekerja keras. Dua kelebihan itu hanya dimiliki oleh Tsumu dan bukannya aku.

Seandainya hidup Tsumu tidak berhenti di usia 10 tahun, mungkin ia sudah mencapai jauh lebih banyak hal dariku yang tidak bisa apa-apa ini.

“Apa yang kau lamunkan, Osamu-kun?”

Aku menggeleng dan kembali memindahkan ikan-ikan segar yang baru saja Kakek Usui tangkap, ke dalam kotak pengemasan. Beliau menilaiku terlalu payah mengarungi laut, jadi ia memintaku untuk bekerja di darat saja. Pada akhirnya aku tetap tidak berguna dan membuatnya lelah bekerja.

Mungkin kesialan ini terjadi karena aku terlalu durhaka kepada ibu dan membunuh orang yang harus kuanggap ayah. Nyatanya, aku juga tidak baik daam pekerjaan ini. Kotak-kotak yang kukemas tidak terlalu rapat dan mengakibatkan muatannya terjatuh ke tanah saat akan kuangkat ke atas truk. Meski Kakek Usui mengatakan tidak apa-apa, kau masih belajar, aku tahu ia pasti mengumpat dalam hati dan berpikir betapa tidak bergunanya anak generasi sekarang.

Selesai dengan semuanya, aku hanya berdiri kikuk dan makan roti pemberian Nenek Usui, sementara mereka berdua bertransaksi dengan pembeli-pembeli yang berdatangan.

Apa yang harus kulakukan?

Apa yang sekarang Tsumu lakukan?

Setiap hari Tsumu bercerita kalau ia menemani bibi onigiri dari aku berangkat sekolah (bekerja, sebenarnya), melihat bibi membuat onigiri dan Tsumu bersumpah ia tidak memegang apapun dan hanya murni melihat, membersihkan kamar (lalu aku memukulnya karena yang ia maksud membersihkan adalah menyembunyikan semua debu ke bawah kasur), mengerjakan PR dariku, duduk di depan rumah dan melihat anak-anak yang pulang sekolah, anjing lewat, kucing makan ikan, atau orang tua yang bergandengan tangan bersama anak, lalu kembali menemani bibi onigiri sampai aku pulang.

Aku tahu Tsumu tidak akan bisa diam. Ia selalu punya sesuatu untuk dikerjakan, sesederhana apapun itu. Ia akan selalu memaknai semuanya dan tahu kalau ia akan senang dengan apa yang dilakukannya.

“Nenek!” Aku memanggil wanita paruh baya yang kembali masuk ke dalam toko setelah menjual permen kepada anak kecil.

“Ah, Osamu-kun! Apakah kau mau susu?” tanyanya.

“T-tidak, aku ingin bertanya apakah ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk membantu kalian?”

Nenek terlihat kebingungan, tentu saja, siapa yang mau memberikan tanggung jawab pada orang yang tidak bisa apa-apa sepertiku?

“Untuk hari ini, bagaimana kalau kau beristirahat dan pergi membeli makan untuk saudaramu?”

Ya. Seperti yang sudah-sudah, aku masih tidak berguna.

Aku mengangguk dengan berat dan membereskan barang-barangku, membungkuk dalam dan berterima kasih untuk bimbingan hari ini kepada Kakek dan Nenek yang sudah menerimaku apa adanya.

Sepanjang jalan, aku selalu berpapasan dengan hal-hal yang Tsumu ceritakan setiap hari.

Anak-anak yang baru pulang sekolah dan menikmati taiyaki mereka, bercanda ria dan mengatakan sesuatu tentang bertemu di festival musim dingin.

Ibu yang menggandeng anaknya yang bersikeras ingin membeli cokelat Natal padahal mereka tidak punya uang.

Kucing yang berebut makanan dengan kucing lainnya demi anak-anak mereka yang kelaparan di bawah atap.

Anjing yang duduk mengibaskan ekornya setiap kali aku lewat dan berharap aku memberinya secuil makanan.

Lalu Tsumu yang duduk di sebelah warung onigiri dan memperhatikan bibi yang menjajakan dagangannya ke anak-anak sekolah.

“Ah! Samu sudah pulang!”

Tsumu berseru ceria dan menghampiriku yang masih beberapa meter dari sana. Aku hanya mengangguk kikuk dan berharap Tsumu tidak bertanya kenapa aku selalu bau ikan setiap pulang.

“Apa Samu bersenang-senang hari ini?”

“Tentu saja.” Tidak, Tsumu. Uang kita hampir habis dan sepertinya besok kita harus meminta makan ke bibi. “Kau tidak merepotkan siapapun, kan hari ini?”

Alih-alih menjawab, Tsumu cekikikan dan malah menarik tanganku untuk segera masuk ke dalam. Bukan ke kamar kami, tapi justru ke dapur milik bibi onigiri.

“Tsumu! Kau mengambil makanan milik bibi?” tanyaku blak-blakan saat melihatnya dengan sangat santai mengambil sebuah kotak dari penyimpanan makanan.

“Aku hari ini membuat onigiri!” sahutnya sambil membuka penutup kotak plastik di tangannya. “TARAAA- EH??? HANCUR???”

Wajah cerianya seketika berubah muram dan kecewa, kepalan nasi hasil kerja kerasnya hancur bercampur dengan tuna dan nori yang lembek.

“T-Tadi aku bisa membuatnya! Bibi bilang karena aku baik jadi aku boleh membantu… Aku mengepalkannya dengan baik seperti yang bibi contohkan… Lalu aku ingin menunggu sampai Samu datang dan kita makan bersama… Karena Samu suka dan sudah lama tidak makan ini, kan…”

Suaranya semakin lama semakin terdengar mencicit, matanya terlihat berkaca-kaca dan ia mulai menangis sesenggukkan.

Aku membayangkan Tsumu yang bosan menungguku, memutuskan untuk memperhatikan cara bibi onigiri bekerja dan menawarkan bantuan, berusaha melakukan yang terbaik dengan perut keroncongan karena ingin makan bersamaku.

Ah, perutku rasanya geli namun juga sesak.

Melihatnya seperti itu, membuatku ingin menangis. Yang di pikirannya hanya aku, aku, dan aku.

Detik berikutnya aku tertawa. Sangat lepas hingga mungkin akan terdengar sampai ke luar maupun lantai atas.

“Bodoh!” Aku mengacak rambutnya, lalu mengusap air mataku sendiri yang entah bagaimana bisa keluar seiring dengan bahakku. “Kenapa kau tak memakannya dan malah menungguku? Bodoh!”

“S-Samu pasti lelah dan ingin makan… Kupikir Samu tidak perlu memasak dan bisa langsung makan-“

“Bodoh!”

Malam itu kami makan ongiri hancur tersebut dan susu literan dari toko Nenek Usui yang akan basi hari berikutnya. Aku mendengarkan ceritanya dan menjawab singkat serta sealibi mungkin semua pertanyaan penuh rasa ingin tahu dari Tsumu tentang hariku demi mempertahankan keceriaan tersebut.

Ternyata aku memang segitu tidak ingin mengecewakannya.