BONUS – BIG CHEESE
“Rin-kun sangat keren seperti biasa!” puji Motoya, masih berbinar menata beberapa lembar polaroid potret dirinya bersama cosplayer favoritnya. “Di setiap acara, karakter yang diperankannya selalu membuatku terpukau!”
Tsukasa masih membiarkan kamera polaroid warna kuning milik Motoya menggantung di lehernya, toh dia sudah menawarkan diri untuk menjadi fotografer pribadinya hari ini.
Sebenarnya ia terkejut melihat secara langsung “Rin-chan” idola Motoya ternyata adalah laki-laki (atau mungkin perempuan maskulin, ia tidak terlalu bisa menilai dari suaranya yang lembut), tapi ternyata pacarnya itu tetap memuja seperti biasa.
“Baiklah! Besok aku akan pamer ke murid-muridku kalau aku bertemu pemain bisbol! Mereka pasti, SENSEI, SENSEI!!! APA SENSEI MEMBAWA BOLA BISBOLNYA? APA ADA TANDA TANGANNYA???” Motoya cekikikan menirukan cara anak-anak yang bertanya tanpa henti dan penuh semangat.
Tsukasa terkekeh dan menjawab, “Muridmu pasti iri karena setiap hari Sensei selalu bertemu anime hidup tiap bulan.”
“Kau tahu, Kak? Mereka jadi suka cosplay di hari Hinamatsuri dan Kodomo no Hi gara-gara aku sering cerita kalau bertemu pahlawan.” Motoya tertawa gemas mengingat anak-anak yang selalu rebutan minta cerita darinya setiap kelas yang diajarnya. “Padahal itu semua adalah Rin. Bahkan orang tua mereka sampai bingung karena biasanya anak-anak malas berdiri diam saat dipasangi yukata.”
Setelah berada di sana hampir satu jam, Tsukasa percaya kalau Kiyoomi tidak sedang berusaha menutup-nutupi saat ditanya pendapatnya tentang acara anime.
Para cosplayer terlihat sangat memukau dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tsukasa sangat mengagumi detail kostum, riasan, dan aksesoris mereka, terutama banyak sekali karakter game dan fantasi hari ini. Mungkin seharusnya ia meminta ijin merekam beberapa dari mereka di sudut tertentu supaya bisa dijadikannya referensi bayangan dan gradasi.
“Kak Tsukasa,” panggil Motoya.
“Hm?” Tsukasa menimpali, ternyata ia melamun sampai Motoya menatapnya khawatir. Aduh, jangan sampai Motoya mengira bahwa ia tak menikmati acara hari ini.
“Di lantai 10 ada bazaar furniture, lho!” Motoya menunjukkan denah dari pamflet yang dibawanya sejak memasuki gedung. “Mau lihat-lihat di sana?”
Senyum Tsukasa mengembang, ia tahu kalau Motoya selalu adil dan selalu berusaha untuk imbang saat mereka berkencan. Meski saat ke toko buku, Motoya selalu pergi ke sesi manga, ia akan tetap menemui Tsukasa yang mengunjungi bagian kesehatan dan masakan, lalu mencarikan buku yang menurutnya menarik. Begitu juga setiap mereka jalan-jalan ke pusat perabotan, alat olahraga dan kebersihan.
Tsukasa menyesal kenapa setelah bertahun-tahun pacaran, ia selalu menolak mengikuti agenda Motoya ke festival wibu padahal pacarnya itu selalu menemaninya ke acara-acara yang dikunjungi oleh pasangan menikah dan orang tua.
“Kau tidak ingin mencari karakter favoritmu yang lain?” tanya Tsukasa. “Tenang saja. Aku juga suka di sini, kalau itu yang kau khawatirkan.”
“Kurasa sudah cukup hari ini. Bukankah Kak Tsukasa mau mencari rak bumbu yang lebih banyak sekat???” Motoya memasang wajah serius, lalu tersenyum cerah saat mengingat sesuatu, “Aku kemarin lihat video di internet dan aku rasa kita bisa menemukannya di bazaar nanti!”
“Benar, sih.” Tsukasa menggandeng tangan Motoya dengan tatapan mereka yang saling bertemu. “Nanti juga carilah lemari baju yang menurutmu bagus dan cukup besar untuk dipakai dua orang, ya?”
“Siap, Kapten! Tapi dua orang? Kakakmu mau menginap di tempatmu?”
Tsukasa hanya bisa memasang senyum manisnya. Motoya sama sekali tidak mengerti maksud di balik perkataannya.
Satu jam berkeliling sampai tiba waktunya baterai energi Rintarou menipis. Ia berpamitan pada para penggemar yang masih mengikuti dan merekamnya, lalu pergi dengan cepat meninggalkan ruang aula yang penuh akan lautan manusia. Wajar saja orang-orang menggila karena animenya baru saja menjadi topik panas minggu ini.
Osamu tadi berpamitan ke toilet dan belum juga kembali, sedangkan Rintarou tidak bawa ponsel untuk menghubunginya. Jadi ia tak punya pilihan selain berjongkok di koridor bersama beberapa cosplayer yang beristirahat dan menghembuskan nafas lelah.
Rintarou tadi sempat melihat Atsumu. Tidak biasanya Atsumu sangat pasif dan hanya berdiri di pinggir saja. Biasanya dia akan menyapa banyak pengunjung dan cosplayer, tetapi sekarang ia lebih memilih menemani Kiyoomi.
“Panas...” keluhnya sambil melepas sarung tangan bisbol dan topi yang sejak awal dikenakannya.
“Nih.”
Osamu entah datang dari mana, menyerahkan segelas minuman boba dan sapu tangan dengan bersamaan pada Rintarou. Si cosplayer mendongak penuh terkejut, tapi tetap berterima kasih dan menerimanya. Ia mengelap keringatnya hati-hati sambil menyeruput minuman manis yang dimintanya tadi.
“Aku pengen lepas wig,” ujar Rintarou.
“Jangan. Nanti orang-orang kaget melihat rambut tendamu,” sahut Osamu yang juga berjongkok di sebelahnya, lalu mengipasi wajah sang kekasih dengan kipas tangan gambar chibi yang tadi didapatnya dari salah satu lapak.
“Tendanya roboh kena hujan (keringat). Omong-omong di mana koperku dan tas si pirang?”
“Kutaruh di ruang ganti waktu tadi ke toilet. Kau kira tidak berat bawa dua barang sebesar itu kemana-mana mengikutimu?”
“Hei, aku tidak menyuruhmu membawanya.”
“Aku kira kau membawa sesuatu yang akan sangat kau butuhkan di dalam aula nanti.”
“Tidak ada, kok.”
“Lalu kenapa kau tidak memberitahuku???”
*“You look so helpful today and I love to see it.”
“Unbelieavable.”*
Mereka kembali diam, hanya ada suara seruput boba Rintarou, langkah kaki, dan samar-samar percakapan cosplayer lain yang masih ada di koridor. Tidak, Rintarou dan Osamu tidak sedang bertengkar. Obrolan seperti ini sudah sangat biasa di antara mereka. Bahkan banyak yang bilang kalau mereka jauh terlihat seperti teman daripada pacar.
“Hei.”
Rintarou memecah keheningan di antara mereka.
“Hm?”
Osamu hanya menyahut tanpa ingin tahu karena sedang mengecek CCTV restorannya.
*“I think your brother is into that Omi guy.”
“I know, Rin.”
“Do you think it's the time for him?”
“Both seem completely unaware of what’s going on between them.”* Osamu mematikan layar ponselnya dan merenung. “Tadi siang aku juga denger mereka ngobrol di telepon. Kamu tahu sendiri, kan, Atsumu pasti panik sampe nangis tiap ikut acara wibu. Dan dia nangis sambil telepon. Atsumu ga pernah nunjukkin kalo dia cemas di depan orang baru karna bakal dianggap aneh, tapi kayanya dia udah biasa kaya gitu di depan Omi-kun.”
“Apa karena tiap hari ketemu di kerjaan, ya?”
*“Maybe. And I think it's not my right to judge now. He's an adult now.”
“Are you aware that you're just 10 minutes younger than him?”
“Yeah.”*
Tiba-tiba sebuah ide brilian tercetus di benak Rintarou. Mungkin sesuatu yang bisa mengubah hidup Atsumu dan di saat bersamaan juga bisa membuatnya menilai apakah memang ada sesuatu di antara mereka.
*“How about we leave Tsumu and let him – I don't know – do whatever he want to do with Omi?”
“That sounds great. I'll block his number now.”
“Babe.”*