Part 4: Osaka
Di usia 10 tahun, Tsumu memulai semuanya dari awal.
Belajar menggerakkan anggota tubuhnya, berbicara, memegang sumpit guna menyuapkan makanan ke mulutnya sendiri, berjalan, dan semua hal-hal yang dilakukan oleh bayi yang sedang bertumbuh.
Ibu sangat menderita, tetapi ia membantu Tsumu dengan penuh kasih sayang. Meladeni nakal dan rewelnya di saat anak SMP seharusnya sudah lebih dari mampu untuk mengontrol ego mereka. Bersorak paling kencang saat Tsumu berhasil menopang tubuh dengan kedua kaki tanpa berpegangan pada tembok ataupun tongkat kruk. Tidak peduli berapa banyak mangkuk yang pecah dan sumpit yang melayang ke kepala ibu, beliau akan selalu menganggap Tsumu seperti balitanya.
Perhatian ibu padaku menjadi terkikis hampir seluruhnya. Kami tidak sempat mengobrol lebih jauh tentang diriku. Akupun tidak perlu tahu apa yang terjadi di rumah karena hari-hari ibu selalu diisi dengan bekerja sambil merawat Tsumu. Aku menandatangani sendiri surat-surat dari sekolah yang membutuhkan persetujuan orang tua, mencuci pakaian dan piring makanku sendiri, dan membersihkan kamar kami berdua yang terkadang bau ompol kakak kembarku yang tidak bisa apa-apa itu.
Aku sering menyalahkan sikap dinginku kepada ibu. Beliau juga ingin tahu bagaimana hari-hariku di sekolah. Apakah aku mengikuti ekskul yang kusenangi? Apakah pelajarannya sulit? Apakah aku memiliki banyak teman? Kujawab semua pertanyaan sama yang diajukannya tiap makan malam dengan jawaban yang serupa pula. Ya. Ya. Tidak juga. Kadang bervariasi, tergantung suasana hatiku saat itu.
Ibu sangat menderita, tetapi ia selalu memastikanku membawa buku-buku pelajaranku dengan lengkap. Merapikan kembali seragam voliku ketika aku berniat membuangnya setelah kekalahan yang kebanyakan disebabkan oleh diriku yang kurang fokus. Membuatkan onigiri favoritku dengan harapan perasaanku menjadi lebih baik tiap kali aku bertengkar dengan Tsumu. Walau ibu tidak pernah datang di pertandingan voli, acara Hari Ibu, hingga kelulusan, aku tetap menyayanginya.
Mungkin kalau aku sedikit meredam egoku dengan lebih bersabar pada Tsumu, aku bisa membuat ibu bahagia. Mungkin ibu bisa mati dengan lebih tenang dan bukan terkuras mentalnya karena kami berdua. Mungkin kalau aku dan Tsumu menjadi anak yang baik...
Tidak. Kami takkan bisa menjadi anak yang baik. Tidak bagi ibu, ataupun nenek Kita.
Suara berisik peralatan masak yang beradu membuatku duduk tegak dengan mata terbelalak. Aku tidak tahu apakah aku benar-benar tidur semalaman karena terlalu banyak hal yang ada di kepalaku dan tidak tahu harus fokus memikirkan yang mana dulu. Aku menoleh ke samping, Tsumu masih tidur pulas dengan liur dan ingus yang menetes.
Saat ini kami sedang berada di Osaka, tepatnya di rumah kakak tertua ibu, paman Riseki. Kami datang malam-malam tanpa pemberitahuan dan tidak heran jika kami harus tidur di ruang tamu karena kamar lebih yang mereka punya sudah dialokasikan menjadi gudang.
Sepupu kami, Heisuke, masih duduk di bangku kelas 3 SMP. Ia sangat ceria dan menyambut kami dengan senang, menanyakan banyak hal mengenai Hyogo dan aku berusaha sangat keras agar Tsumu tetap diam sementara aku yang akan menjawabnya. Tidak mungkin kami menceritakan apa yang terjadi, bukan?
Heisuke juga memiliki kesukaan yang sama denganku, bermain voli. Malah dia berkata , Aku bermain voli karena kalian dan itu menumbuhkan kembali kenangan lama yang sudah terkubur jauh dalam ingatanku. Aku dan Tsumu dulunya memang sering bermain bersama, tentu sebelum insiden yang melumpuhkannya terjadi.
“Selamat siang!” sapa bibi Riseki saat melihatku menghampirinya di dapur. “Kau tidur dengan baik. Paman sudah berangkat kerja, Heisuke juga pergi sangat pagi untuk latihan dan sekolah. Anak itu berjuang sangat keras untuk bisa masuk ke Inarizaki sepertimu, kau tahu?”
“Oh, begitu...” Perutku keroncongan. Katsu yang baru digoreng itu terlihat sangat enak. “Aku cuci muka dulu.”
Sampai sekarang aku masih tidak tahu bagaimana menerangkan situasi kami kepada keluarga Heisuke. Mereka tidak terlihat curiga sama sekali, yang mana adalah hal bagus.
Kami kabur setelah membunuh ayah, sama sekali bukan kata pengantar yang baik.
Kami cuma ingin main, nah, kalau seperti itu berarti hari ini kami harus pulang (mencari tempat lain untuk bermalam karena rumahpun kami tidak punya).
Aku menatap wajahku yang sama sekali tidak bisa dibilang segar meski telah kubilas dengan busa dan air dingin. Garis hitam menghiasi bagian bawah mataku. Aku sungguh tampak mengerikan dan tidak seperti Tsumu, dia tidak terlihat seperti memikirkan bahwa dirinya baru saja melakukan hal kriminal kepada orang tua sendiri.
Saat aku keluar dari kamar mandi, samar-samar aku mendengar bibi Reisuke mengobrol dengan Tsumu. Oh, dia sudah bangun dan langsung makan. Hebat sekali.
“Atsumu sekarang tidak sekolah, ya?”
“Uhm... Harusnya aku kelas 1 dengan Samu! Tapi aku masih belajar supaya bisa sekelas dengannya!”
“Di Inarizaki? Haha, itu tidak mungkin!”
Aku menghentikan kakiku. Jarak dengan dapur hanyalah beberapa langkah, tapi tidak ada satupun dari mereka berdua yang menyadariku menguping pembicaraan mereka.
“Kenapa tidak mungkin?” Tsumu terlihat kebingungan, meski ia tetap tersenyum lebar penuh optimis. Seolah ia tak tahu apa arti direndahkan. “Aku dan Samu seumuran, tentu saja kami akan sekelas.”
“Atsumu, Inarizaki itu kan, isinya orang-orang yang berkualitas. Mau kau berjuang sekeras apapun, paling-paling kau akan dimasukkan kelas khusus, bukankah begitu?”
“Oh...” Bibir Tsumu mengerucut, pipinya masih penuh dengan ebi furai, lalu kembali memasang wajah ceria. “Tidak apa-apa! Di rumah aku masih belajar dengan Samu, kok!”
“Ah, iya... Rumah memang tempat yang cocok untukmu belajar. Omong-omong soal itu, kalian tidak khawatir rumah ibu akan berdebu karena ditinggalkan lama-lama? Ibu kalian kan-”
Aku tidak tahan lagi. Berusaha untuk menyembunyikan tanganku yang terkepal, aku menggunakan tangan yang satu lagi untuk menarik Tsumu yang hendak mencomot sepotong gorengan lagi.
“Kami pulang sekarang,” ujarku dan kuharap aku sama sekali tak terdengar seperti akan mengumpat. “Tsumu, pakai mantel dan syalmu!”
“Samu tidak makan dulu?” tanya Tsumu dengan polosnya, heran melihatku yang sudah berkemas lagi. “Bibi membuat katsu yang enak!”
“Atsumu benar!” timpal bibi Riseki dengan senyum yang sangat terlihat palsu di mataku saat ini. “Kau belum makan sejak kemarin sementara saudaramu sudah menghabiskan banyak nasi. Setidaknya isilah perutmu juga.”
“Aku tidak lapar.” Aku mengenakan ranselku, membetulkan syal Tsumu yang menutupi wajahnya, lalu menarik lengannya untuk mengajaknya membungkuk bersama. “Terima kasih untuk tumpangannya. Kami permisi dulu.”
Bibi Riseki masih menahan kami dan memberikan dua lembar uang 1000 yen, entah karena kasihan atau sebagai tanda perpisahan untuk kami tak datang lagi dan Tsumu dengan senang menerimanya.
Aku berjalan tanpa arah, masih memegang Tsumu dengan erat seperti kemarin agar dia tidak hilang dan akhirnya berhenti di sebuah taman saat perutku sudah tidak tahan lagi.
“WOAH!!!”
Tetapi Tsumu yang terlepas dari genggamanku langsung berlari, membuatku yang kelelahan harus mengejarnya yang menepi ke sebuah stall es krim di seberang taman.
“BODOH-”
“Samu! Es krim!” Tsumu memotong pembicaraanku dan menunjuk dengan semangat pada gerobak di depan yang menampilkan berbagai rasa es krim.
“Kita tidak sedang jalan-jalan, Tsumu!” protesku dan bermaksud menariknya lagi.
“Ah, satu saja! Satuuu!!!”
“Tidak!”
“Satuuu!!!”
“Kalian menggemaskan sekali.” Kami berdua menoleh kepada penjual es krim yang kami abaikan sejenak dalam perdebatan. Perempuan dengan rambut dikepang ke belakang itu tersenyum manis ke arahku lalu berkata, “Aku bisa berikan bonus kalau kau mengabulkan permintaan adik kembarmu!”
Kebalikannya malah. Aku, yang harus menuruti permintaan memalukan dari kakak kembarku.
Dan akhirnya kami mendapat dua kerucut es krim; Tsumu dengan rasa vanilla dan stroberi untukku. Ia sangat menikmatinya, aku tahu itu. Mungkin aku memang harus seperti itu juga. Krim manis itu terasa sangat dingin di lidahku dan secara ajaib membuat mataku kembali cerah.
Ah... Es krim pertama kami setelah membunuh ayah.
“Hehe.”
Tsumu tertawa konyol sembari menatapku, membuatku mendengus kesal karena ia telah menjebakku di situasi memalukan ini.
“Puas?” gerutuku. “Lain kali jangan seperti ini! Kita benar-benar harus menghemat uang!”
“Samu akhirnya tersenyum!”
“Hah?”
Ia menunjuk es krim di tanganku yang masih nyaris utuh, sementara miliknya sudah hampir habis.
“Kata nenek Kita, es krim adalah makanan ajaib,” terangnya, masih dengan wajah bodohnya yang terlihat senang. “Samu sangat tegang sejak kemarin. Karena itu aku mengajakmu beli es krim dan benar! Samu tersenyum lagi!”
Oh, ya? Aku sama sekali tidak menyadarinya. Bahkan, aku tak mengingat kapan aku benar-benar tersenyum sampai orang lain harus memberitahuku kalau aku baru saja tersenyum.
Baiklah. Ini bukan hal penting untuk dipikirkan karena... Sekarang kami harus ke mana?
Tsumu terlihat sangat menikmati es krimnya yang sudah habis, bahkan sampai menjilati tangannya yang terkena lelehan krim. Dia pasti berpikir kalau kami sedang jalan-jalan ke Osaka dan akan segera ke stasiun untuk pulang ke rumah kami di mana ada mayat di sana dan mungkin saja sudah dipagari oleh garis kuning polisi.
Mungkin aku bisa mengatakan… Kami adalah buronan sekarang.
“Hey, Samu.”
Kami tidak punya tempat tinggal dan kemanapun itu, kami harus selalu berlari menjauh.
“Samu.”
“Apa?” Aku membalas dengan lemas, kepalaku benar-benar sakit memikirkan semua ini sendiri.
“Samu tidak sekolah?” tanya Tsumu dengan nada polosnya dan alih-alih merasa marah, aku justru bersedih.
“Hari ini libur.” Dan saking sedihnya, aku tidak punya tenaga untuk mengatainya bodoh, memutuskan untuk berbohong seperti bagaimana ibu selalu menutupi semua masalahnya demi menjaga kami.
“Begitu, ya?” Tsumu mengangguk-angguk. “Lalu… Ayah bagaimana? Kita meninggalkannya seperti itu, bukankah seharusnya kita telepon rumah sakit?”
“Ayah sudah tidak bernafas, Tsumu.”
“Ayah… Pergi ke tempat yang lebih baik?”
“Tidak!” sahutku. “Ia pergi jauh ke tempat yang lebih buruk.”
“Kenapa?”
“Karena ia jahat kepada kita.” Aku menerangkan seolah itu hal yang paling buram dan sulit dimengerti oleh anak seusia kami. “Dia tidak pantas kau sebut ‘ayah’. Ia menyakiti kita dan ibu, ia merampas kebahagiaan kita. Karenanya, biarkan saja ia mati seperti itu.”
“Begitu, ya?” Tsumu mengulanginya lagi. “Tapi ibu pernah mengatakan untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan.”
“Sekarang berbeda, Tsumu.”
“Kenapa?”
Aku tidak ingin menjawabnya. Di sela kejenuhanku, mataku menangkap sebuah kedai onigiri yang berada beberapa meter dari tempat kami duduk saat ini. Aku hampir saja terfokus kepada bibi dan anak kecil yang tengah sibuk mengepal onigiri, sampai ekor mataku kembali membawa atensiku kepada palang yang terdapat di atas kedai tersebut.
Sewa kamar untuk pelajar.
“Ayo, Tsumu!”