Part 5: Rumah Baru
Miya Atsumu sering kali dikatakan 'sedikit tidak pintar' dibandingkan Miya Osamu, yaitu aku. Tetapi sebagai keluarganya, aku mengakui bahwa ia adalah anak paling pekerja keras yang tidak akan pernah mereka temui di luar sana.
Aku sendiri tidak mengerti mengapa orang-orang berkata aku lebih pintar dibandingkan Tsumu, padahal aku tidak pernah merasa begitu. Tsumu sangat suka belajar. Ia suka mengoceh tentang hal-hal yang baru dipelajarinya, contoh: “Kau tahu, Samu? Di luar angkasa sangatlah sunyi. Mungkin aku bisa memanggilmu dari bulan!” atau “Kau tahu, Samu? Kita bisa melihat komet Halley setelah menjadi kakek!” dan masih banyak lagi.
Meski ia sering mengatakan bahwa astronomi sangatlah susah dan lebih milih mengarungi langit di bawah atmosfer, ia sungguh tertarik dengan luar angkasa. Pengetahuannya serta kemampuannya untuk memahami semua itu dari berbagai sumberlah yang membuatku merasa, ia sebenarnya jauh lebih pintar dariku.
“Samu, kau mungkin harus sedikit melihat ke depan! Jalan tidak semuanya berlubang!” Ia yang mengajariku cara menaiki sepeda roda dua dengan terus memegangiku dari belakang.
“Samu, kau bisa membuat pesawat kertas dengan berbagai cara!” Ia yang pertama kali mengajariku menggunakan metode lebih sederhana saat aku lelah menerbangkan pesawatku yang selalu gagal.
“Samu, kau tidak harus mengisi rotimu dengan krim!” Ia yang pertama kali memberiku roti dengan isian yakisoba dan walau ibu berdecak heran dibuatnya, aku ternyata juga menyukai rasa baru itu.
“Samu, kau tahu kan, kau selalu bisa menerima bola dengan kesepuluh jarimu?” Ia yang pada dasarnya tertarik dengan segala hal, mengajariku yang takut bol mengenai wajahku saat pelajaran olahraga.
Tsumu selalu mengenalkanku pada hal baru dan tidak pernah gagal membuatku menyukai apa yang ia sukai. Naik sepeda, membuat pesawat kertas, mencoba makanan aneh, dan bermain voli tidak lagi terasa menakutkan karenanya. Seperti ia selalu ingin aku berada di dunianya.
Dia adalah kakak yang sangat kubanggakan dulunya. Saat orang-orang meremehkannya, aku selalu tidak terima meski tidak pernah benar-benar membelanya di depan muka. Pernah sekali aku dipanggil kepala sekolah dan ibu benar-benar marah karena aku memukul anak yang merobek pesawat kertas Tsumu.
Sejak ayah menghantam kepala dan tengkuk Tsumu dengan balok kayu, aku berhenti bangga kepada kakakku.
Padahal, Tsumu mungkin satu-satunya anak berusia 15 tahun yang bekerja jauh lebih keras untuk menulis namanya sendiri di saat anak usia 3 tahun lainnya lebih memilih makan semangka dan berbaring di depan kipas angin.
“Samu, kau tidak ingin berbaring?”
Aku terlepas dari kenangan yang tiba-tiba saja memasuki benakku. Tsumu sudah berbaring dengan senyum lebar di atas futon yang baru saja kukebas debunya. Hidungnya merah dan suaranya serak, belum lagi ia yang terus buang ingus. Bisa gawat jika ia sakit karena kami harus benar-benar menghemat uang setelah mengeluarkan uang 5 ribu yen untuk kamar ini.
Bibi onigiri menyambut kami dengan ramah, walau sempat menanyakan hal-hal seperti kenapa anak di bawah umur seperti kami datang dengan banyak uang kertas lecek dan tas besar. Aku terpaksa berbohong dengan mengatakan ingin berlibur di Osaka dan untung saja ia tak menyampaikan kecurigaannya lebih lanjut.
Kamar yang sangat sederhana memang. Ada dua futon yang besarnya memenuhi lebih dari separuh ruangani ini (dan aku bersyukur mereka memiliki selimut yang sangat tebal pula karena penghangat kamar rusak dan bibi belum memanggil tukang servis, perabot dapur, lemari dan sebuah meja lipat sementara kamar mandi berada di lantai bawah untuk dipakai bersama.
Sejak ibu tidak ada, nenek Kita selalu membawakan kami lauk dan sayur. Kadang juga beras dan bahan mentah untuk persediaan. Tapi untuk saat ini, aku belum tahu harus belanja di mana, bertahan sampai kapan bahan-bahan itu, jadi yang bisa kupikirkan adalah: beberapa hari ke depan kami akan makan mi instan.
“Samuuu!~”
Nada Tsumu terdengar merengek, ia sangat suka menggangguku yang sedang melamun. Gayanya seperti ingin main denganku meski aku baru saja memukulnya karena isi tasnya kebanyakan adalah buku tidak penting dan bukannya pakaian, membuatku suatu saat harus berbagi pakaianku lagi dengannya. Aku heran, apa dia memang tidak pernah memiliki rasa benci padaku? Bagaimana bisa ia masih mempedulikan bajingan yang terkapar di rumah kami?
Aku masih diam. Kepalaku sangat sakit. Suasana yang hening saat ini membuatku ikut merasakan bahwa perutku sangat pedih. Aku tidak boleh sakit. Sekali lagi berharap bahwa pikiran seperti itu dapat membuat kami tetap sehat agar dapat bertahan hidup di kota yang hany berjarak beberapa kilometer dari rumah kami.
“Samu, apa kau tidak suka tidur denganku?” Tsumu menyuarakan isi kepalanya lagi. “Aku bisa tidur di luar!”
“Jangan bodoh,” ujarku seraya duduk lebih dekat dengannya dan menatapnya lurus. “Dengarkan aku, Tsumu.”
“Samu, kenapa kita tidak pulang?”
“Dengarkan aku dulu!”
Aku memegangi pundaknya dan memaksanya untuk duduk, berusaha semampuku untuk berkata-kata seperti yang biasa ibu lakukan. Tsumu mungkin masih terlambat 10 tahun darimu, karena itu cobalah mengerti keadaannya. Keterangan yang sudah sangat jelas itu selalu ibu utarakan tiap kali aku kesal pada Tsumu.
Nyatanya, aku tidak akan pernah sesabar ibu. Sabar adalah sesuatu yang tidak bisa semua manusia lakukan. Tetapi setidaknya untuk saat ini, aku ingin mencobanya.
“Ini rumah kita, Tsumu,” ucapku, masih menatap matanya yang nampak berkaca-kaca entah karena mengantuk, flu, atau ingin menangis. “Sekarang kita tinggal di sini.”
“Selamanya???”
“Aku tidak tahu-”
“Tapi bagaimana dengan nenek Kita??? Dan Shin-chan??? Dan teman-teman Samu???”
Aku tanpa sadar menggigit bibir saat satu per satu orang penting dalam hidupku – dan Tsumu – disebut satu per satu. Aku meninggalkan mereka tanpa sempat berpamitan, meminta maaf maupun mengucapkan terima kasih. Orang-orang yang memanusiakan kami itu mungkin sekarang sudah berpikir bahwa kami adalah kriminal.
“Kita akan mengunjungi mereka kapan-kapan.” Mataku memanas, tapi sebisa mungkin aku tidak ingin membuat Tsumu menangis karena itu sangat merepotkan. “Karena kita tinggal di tempat baru, bersikaplah dengan baik. Kau... Bisa melakukannya, kan?”
Tsumu tidak menjawab. Ia menunduk dan bahunya bergetar, mungkin sebenarnya ia mampu merenungkan hal seperti ini.
“Kau bisa kan, menurut padaku?” tanyaku lagi sembari mengguncang tubuhnya, mendesaknya untuk mengiyakan karena sedikit saja aku mungkin bisa gila. “Bisa kan, melupakan yang terjadi kemarin? K-kau pasti bisa melakukannya, kan?”
“Apa kita jahat, Samu?” Ia mendongak dengan ekspresi sedihnya. “Kita meninggalkan ayah-”
“Dia tidak menyayangi kita, Tsumu! Kau jadi begini itu karenanya!” bentakku. “Sudah kubilang, kau jangan peduli padanya! Kalau kau memang mau tinggal denganku, maka lakukan apa yang kukatakan!”
Aku menghembuskan nafas panjang, menariknya kembali, lalu kembali menghembuskannya demi kestabilan emosiku saat ini. Tsumu terlambat 10 tahun, kata ibu. Tsumu terlambat 10 tahun. Tsumu terlambat 10 tahun. Aku terus merapalkannya dalam hati dan tidak mewajarkan diriku yang meledak barusan.
“Keadaan sudah berubah, Tsumu,” ucapku sedikit lebih tenang. “Kita tidak bisa membalas kejahatan dengan kebaikan. Saat ini, Tsumu hanya punya Samu.”
“Tsumu hanya punya Samu...” Ia mengulang dengan pelan.
“Karena itu, aku memintamu, jangan pernah peduli dengan orang jahat. Lawanlah mereka dengan seluruh kekuatanmu sekalipun itu terasa salah. Aku tahu ibu meminta kita untuk selalu memaafkan, tapi dunia ini terlalu jahat untukmu, Tsumu. Pikirkan tentang bagaimana ibu yang ingin kita saling menjaga dan ini adalah caraku agar kita bisa tetap selamat. Mengerti?”
“Samu...”
“Apa?”
“Apa hanya Tsumu yang Samu miliki?”
Nafasku tercekat. Materipun tidak cukup, orang-orang yang kusayangi juga sudah tidak ada. Aku tidak bisa terus terbayang dengan apa yang ada di belakangku. Semuanya baru terjadi kemarin tapi rasanya sudah seperti bertahun-tahun aku menderita tanpa mereka.
“Aku hanya punya Tsumu,” jawabku.
“Apa Samu akan bahagia meski hanya punya Tsumu?”
Entahlah. Aku belum memikirkannya. Bahagia adalah kata yang besar dan tidak kuketahui dengan pasti kebenaranya. Aku tidak tahu apakah aku bahagia saat naik sepeda untuk pertama kali. Aku tidak tahu apakah aku bahagia sebelum ayah memukul Tsumu dan membuatnya kembali mengulang pertumbuhannya. Aku tidak tahu apakah aku bahagia saat masuk SMA dan bertemu teman-teman yang menyenangkan. Aku sungguh tidak tahu.
“Iya.”
Satu kata meluncur dari mulutku setelah beberapa detik Tsumu menanyakannya.
Ia memprosesnya sejenak, lalu tersenyum dan menimpali, “Asal Samu bahagia, jadi orang jahat tidak masalah!”