Part 2: Pengakuan

Aku dapat surat. Amplop putih biasa dengan stiker kelinci dan aroma stroberi yang manis.

Itu sebenarnya bukan hal yang baru lagi bagiku. Valentine sudah lewat dan sudah lama sejak aku mendapatkannya. Terakhir adalah saat kelas 2 SMP, itupun aku harus menanggung malu karena si bodoh itu mengikutiku ke taman dan merusak acara confession dari seorang gadis yang juga sama malunya sampai tak mau menatap muka kami.

Sial. Aku jadi malu lagi.

Sepanjang kelas aku terus menelusuri tiga penggal kalimat yang ada di dalam surat itu dengan menyembunyikannya di balik buku Bahasa Inggris.

Menyukaiku. Mau kencan sepulang sekolah nanti. Dari Haruki Runa.

“Wah, Miya! Kau memang sangat populer!” komentar Ginjima saat aku menceritakan hal tersebut pada teman-teman di jam istirahat. “Anak kelasku sering membicarakanmu, omong-omong.”

“Oh, ya?” tanyaku heran. Aku tidak ikut ekskul apapun dan berusaha untuk tak mencolok, kenapa orang-orang bisa tahu aku?

“Tapi bukankah Haruki-san itu juga sangat cantik dan populer? Dia dari kelas 2-7, kan?” timpal Suna, kemudian melirikku dengan tatapan jahil. “Ternyata kau memang seleranya Oneesan-oneesan, ya?”

“Eh...” Aku semakin grogi. Apa benar ada orang yang benar-benar menyukaiku? Terutama dia kakak kelas???

“Kau ini pendatang, dari mana bisa tahu informasi itu?” Kosaku membalas dengan tak kalah heran.

“Tentu saja cari informasi. Kalau tidak salah, dia punya mantan pacar dari kelas 3, si kapten ekskul rugby. Putus karena yang laki ketahuan selingkuh dengan mahasiswi.”

“Suna, kau sangat menyeramkan.”

“Lalu, Miya, apa yang kau khawatirkan?” Suara Ginjima kembali menyadarkanku yang masih bingung dengan situasi ini.

“Aku...”

“Tentu, terimalah kencannya!” dukung Suna. “Kau ini benar-benar tidak ingin menikmati masa mudamu, ya?”

“Bukan begitu-” Aku meletakkan kotak susuku yang sudah kosong ke atas meja, lalu melanjutkan dengan suara lebih kecil, “Memangnya aku... Bisa begitu? Maksudku, bagaimana kalau aku mengacau? Bagaimana kalau aku tidak sesuai ekspektasinya? Bagaimana-” dengan si bodoh itu yang pasti akan menungguku sampai malam?

Mereka bisa berkata semudah itu karena tidak berada di posisiku, kan? Aku tidak bisa memikirkan tentang diriku sendiri barang sehari saja. Selalu ada si bodoh itu yang akan selamanya menjadi bayang-bayangku. Menghalangiku melakukan hal-hal yang selayaknya dinikmati oleh anak muda seusiaku. Seusia kami.

“Kau terlalu banyak memikirkan hal-hal yang belum tentu akan terjadi, Miya.” Ginjima menatapku dengan sorot mata prihatin. “Kapan lagi kau bisa jalan dengan gadis cantik? Kalaupun tidak sesuai ekspektasi, ya sudah! Masih banyak yang mau denganmu!”

Masih banyak yang mau denganku.

Masih banyak yang bisa kulakukan, berarti?


Ini sungguh nekat. Aku sangat gugup sampai tidak bisa berpikir jernih. Aku memakai telepon sekolah yang biasanya digunakan murid-murid untuk meminta jemputan. Kuhubungi nomor nenek Kita yang sudah kuhapal di luar kepala, meminta tolong padanya untuk menjaga si bodoh itu sampai aku kembali dengan alasan aku ada ekskul. Beliau terdengar sangat senang karena sudah lama Shin-chan (Shinsuke) mengatakan kalau aku selalu terlihat ragu untuk bergabung karena terhambat si bodoh.

Maaf, nenek Kita. Kali ini aku harus membohongimu. Aku ingin menikmati masa mudaku seperti teman-temanku yang lain walau cuma sehari.

Sehari saja, tolong berjalanlah dengan menyenangkan.

Semesta sepertinya ada di pihakku saat ini. Aku kini berjalan dengan gadis tercantik di Inarizaki, setidaknya itu yang Suna katakan tadi. Haruki Runa rupanya cukup mungil, mungkin tingginya hanya sedadaku dan rambut cokelat panjangnya yang dikepang ke belakang beraroma stroberi seperti suratnya. Nada bicaranya halus dan menenangkan, memberi kesan bahwa ia dapat memahami kalau aku gugup dan tidak bisa berkata-kata dengan lancar.

90 persen percakapan didominasi olehnya. Kebanyakan membicarakan kesukaannya, seperti selera film, musik, makanan yang kebetulan semuanya tidak begitu kusukai. Mungkin satu-satunya yang mendekati dariku untuknya adalah tipe laki-laki? Kedengaran jelas kalau dia menyukai orang yang bisa berolahraga. Ah, apakah ini sinyal agar aku benar-benar harus bergabung dengan ekskul voli sesuai rencana awal?

“Aku terlihat sangat konyol sekarang,” gumamku tanpa sadar. Tubuhku berkeringat meski suhu musim gugur sudah mulai membekukan sekitar.

Runa – ya, dia yang memintaku untuk tidak formal-formal dengannya – tertawa merdu sembari menutup mulut dengan sebelah tangannya. “Osamu-kun, kau memang menggemaskan. Itu sebabnya aku menyukaimu.”

“Ya???” Jantungku seperti nyaris berhenti mendengarnya. Ia tidak sedang serius, kan?

Langkah kakinya berhenti, dan membuatku berbuat demikian pula. Kami sampai di depan taman kota dan langit jingga yang cerah semakin menambah pesonanya. Tatapan matanya lurus padaku dengan senyum cantik terukir, sementara aku menahan nafas tidak mengerti harus berbuat apa, terutama saat ia menarik dasiku agar menunduk dan mengikis jarak di antara kami.

Inikah saatnya? Apakah aku akhirnya berhasil menjadi anak SMA yang sesungguhnya?

“OSAMUUUUUUUUUUUU!!!!!!!!!!!!”

Bayangan akan ciuman yang indah itu seketika terkikis dan aku tak sadar sejak kapan aku sudah berpisah beberapa meter dari Runa. Seseorang – tidak, ini bahkan jauh lebih buruk – MIYA ATSUMU, si bodoh itu, sekarang berada di hadapanku dengan sebelah tangan mencengkeramku dan menyembunyikanku di balik badannya. Menghadang Runa seolah-olah dia akan berbuat hal tak manusiawi padaku.

“Pergi dari Osamu!” bentak si bodoh itu kepada Runa yang sangat terkejut akan kehadirannya yang tiba-tiba. “Osamu tidak mau dengan perempuan jahat!”

Tidak. Ini terlalu buruk. Ini sangatlah buruk.

“Apa yang kau lakukan, brengsek?!” desisku dan berusaha menahan diri untuk tidak membunuhnya di tempat.

“S-Siapa dia Osamu-kun?” tanya Runa yang masih sangat terpaku dengan kejadian barusan. “Kalian... Kembar??? Dia saudara kembarmu?!”

Dia saudara kembarmu.

Pertanyaan di akhir kalimat itu lebih terdengar seperti pernyataan dan terus terngiang di kepalaku. Orang-orang di taman dan pejalan kaki sekitar kami mulai memperhatikan keributan yang terjadi. Si bodoh itu terus berceloteh tentang betapa jahatnya Runa yang sudah punya laki-laki lain bermaksud menciumku, menceramahi gadis itu dengan berkata bahwa ciuman hanya ditujukan pada orang yang disayang, sementara Runa... Dia hanya diam dan menatapku dengan tatapan aneh.

Lagi.

Hal seperti ini... Tidak akan pernah melepas dari hidupku.

Aku mendorong si bodoh itu ke samping, membungkuk sangat dalam dan meminta maaf sebesar-besarnya kepada Runa – Haruki, aku tidak sanggup lagi memanggilnya dengan akrab – lalu menyeret saudara kembarku dengan langkah lebar-lebar.

Sepanjang perjalanan aku hanya diam, tidak peduli dengan dia yang terus mencari pembelaan dengan bercerita kalau Runa adalah gadis yang pernah ia lihat saat mengantarkan bekalku ke sekolah, Runa yang jalan dengan seorang siswa lain berseragam sama, dan masih banyak lagi.

Setelah sampai rumah dan mendorongnya hingga terjatuh ke lantai.

Tidak mempedulikannya yang mengaduh kesakitan, aku menduduki perutnya dan memukul wajahnya, kemudian menarik kerah jaketnya sambil berteriak penuh amarah, “SUDAH CUKUP!!! CUKUP DENGAN SEGALA KEBODOHANMU ITU!!! CUKUP DENGAN MENGGANGGU DAN MENCAMPURI URUSANKU, SIALAN!!! APA YANG KAU TAHU TENTANG URUSANKU??? KAU BAHKAN TAK TAHU APA-APA SOAL URUSANMU SENDIRI KARENA TERLALU BODOH!!!”

Dia yang sudah menangis, balas menarik seragamku dan aku sudah tidak peduli lagi kalau kainnya akan robek dan juga berseru, “OSAMU ADALAH SATU-SATUNYA SAUDARAKU!!! AKU INI MENJAGAMU DARI PEREMPUAN JAHAT!!!”

“AKU TIDAK PEDULI, KEPARAT!!! KAU TIDAK AKAN PERNAH MENJADI SAUDARAKU JADI BERHENTILAH BERSIKAP BODOH SEHARI SAJA ATAU AKU BENAR-BENAR AKAN MENGUSIRMU DARI RUMAH!!!”

“AKU JUGA TIDAK PEDULI DAN AKAN TERUS MENGATAKAN KALAU SAMU ADALAH SAUDARAKU!!! IBU TIDAK SUKA JIKA KITA BERTENGKAR BEGINI!!!”

“APA YANG KAU TAHU TENTANG IBU??? SEHARI-HARI KAU HANYA MEREPOTKANNYA DAN MEMBUATNYA LELAH!!! DIA MENGHABISI NYAWANYA SENDIRI KARENA KAU, ATSUMU!!! SEHARUSNYA KAU YANG MATI DAN BUKANNYA IBU!!!”

Atsumu tidak membalasnya. Matanya yang berkaca-kaca nampak redup selama beberapa saat dan aku dapat melihat jelas refleksi wajahku di sana. Aku nampak seperti orang jahat di matanya. Seseorang yang tidak seharusnya mengatakan hal menyakitkan seperti itu, tidak kepada keluarganya sendiri.

Dulunya ada 4 Miya dalam keluarga kami.

Seorang ayah yang tak bertanggung jawab dan menyakiti keluarga kami hingga ia dipenjara.

Seorang ibu yang sejak lahir adalah milik orang tuanya, menikah dan menjadi milik suami bejatnya, dan tidak pernah hidup dalam kebebasan.

Namun kini, hanya tersisa 2 Miya. Aku dan dia, Atsumu. Orang yang juga menyakiti ibu.

Seharusnya kami saling menjaga. Tetapi sekarang, aku sama sekali tidak ada bedanya dengan si brengsek yang meninggalkan kami dan menyebabkan perpecahan ini semua.

Aku melepaskan cengkeramanku dan bangkit dari atasnya, tidak lagi menatap mata ataupun menghiraukan ia yang masih sesenggukan berupaya memanggilku, lalu pergi ke kamarku sendiri dan menutup pintu rapat.

Entah aku masih punya keberanian untuk berhadapan lagi dengannya setelah semua ini.


Sepertinya aku tertidur sangat lama, jika dirasa dari sinar matahari yang seperti menembus kelopak mataku.

Terbangun dengan perut yang pedih – lagi – dan kepala yang sangat berat serta mata bengkak memanglah bukan hal menyenangkan, walau belakangan aku sudah mulai terbiasa dengan kondisi seperti ini terutama sejak ibu tidak ada. Aku jadi banyak menangis dan itu bukanlah sesuatu yang dapat kukontrol.

Yang baru adalah, rasa dingin di sekujur tubuh dan tenagaku seperti terkuras habis untuk meluapkan emosiku sehingga sekedar membuka mata saja aku tidak mampu.

Setelah berhasil mengumpulkan nyawa dan kekuatanku, akhirnya aku berhasil duduk dan merenungkan apa saja yang harus kulakukan setelah ini. Cuci muka, makan, lalu berangkat sekolah-

Aku tersadar bahwa pintu kamarku ternyata sudah terbuka, aku ingat kemarin membantingnya dengan kasar – atau mungkin rusak karea perlakuan kasarku sejak pindah ke rumah ini. Atau mungkin – lagi – aku sebenarnya belum benar-benar terbangun dan masih di alam mimpi, karena sekarang aku melihat sesosok laki-laki berambut putih dengan ujung hitam yang mengenakan seragam serupa denganku, memasuki kamarku dengan nampan berisi piring makanan di tangannya.

Kita Shinsuke menatapku dengan prihatin, kemudian meletakkan makanan di atas meja belajarku setelah menyingkirkan beberapa buku dari sana. Aku masih tak tahu harus mengatakan apa, karena itu ia memulai duluan,

“Berbohong dengan berkata akan ikut ekskul voli, yang mana membohongi nenekku, membuat nenekku kerepotan dan meninggalkannya di tengah jalan, membuatnya pulang seorang diri dengan kondisi bingung dan khawatir, hanya untuk mendapati kalian yang tidak akur dan nyaris menghancurkan rumah sendiri.”

Kita menyebut satu per satu kesalahan yang telah aku – kami lakukan dan aku hanya bisa menduduk sembari meringis. Memikirkan kembali betapa keterlaluannya aku melibatkan orang tua seperti nenek Kita dalam masalah kami. Kalau saja aku berkata jujur atau mungkin mengunci Tsumu di dalam kamar, pasti hal seperti ini takkan terjadi.

“Nenekku membawa Atsumu jalan-jalan kemarin karena dia ingin melihatmu main voli,” ujar Kita sembari bersedekap. “Tapi ternyata ia malah melihat saudaranya hampir dilecehkan oleh senior tukang selingkuh dan tentu saja dia tak bisa diam.”

“Maaf...” Aku semakin menyesalinya. Seharusnya aku sadar keadaan sudah berubah dan aku tidak bisa mementingkan diri sendiri. Malah sejak awal, aku tidak punya kesempatan untuk itu. “Dia... Di mana?”

“Sama demamnya.”

“Hah?”

“Kau demam,” ujar Kita sambil menunjuk dahiku dan aku baru sadar ada plester penurun panas tertempel di sana. “Dan karena menemanimu semalaman, Tsumu ikut demam. Atau mungkin itu fenomena saudara kembar? Aku juga tidak tahu. Yang jelas, aku akan mengurus surat ijinmu hari ini. Kalau masih demam, sepulang sekolah nanti aku akan mengantar kalian ke rumah sakit.”

“Kita-san,” panggilku saat ia hendak keluar dari kamarku, meski aku masih belum berani untuk mendongakkan wajah. “Kenapa kau melakukan ini?”

“Apanya?”

“Memangnya kau tidak malu? A-Aku...” Bahkan aku tak dapat melanjutan perkataanku sendiri.

Tanpa sadar, aku menggigit bibir memikirkan kemungkinan yang akan terjadi jika aku ke sekolah nanti. Haruki Runa orang yang populer, sementara Suna sendiri – aku merasa bersalah meragukannya sebagai teman, tapi saat ini dia yang paling tahu gosip orang sekolah. Aku hanya takut tidak bisa menghadapi hari esok sebagai seorang siswa SMA.

“Aku pasti akan sangat bermasalah setelah ini,” ucapku setelah perdebatan batin yang panjang.

Kita menghela nafas, kemudian membalas, “Aku hanya melakukan kewajibanku sebagai tetangga dan juga seniormu. Lagipula bukankah sekarang ada hal yang lebih penting daripada itu?”

Akhirnya aku mengangkat muka dan berhasil menatapnya dengan tatapan bertanya, sampai aku melihat senyumnya yang mengatakan, “Saudaramu. Tidak ada yang lebih penting dari masalah-masalah yang belum tentu terjadi selain saudaramu. Kau mungkin punya teman yang banyak, pacar, ekskul voli, atau cita-cita yang besar. Tapi Atsumu hanya punya dirimu saat ini, Osamu. Yang kehilangan ibu juga bukan hanya kau. Jadi, pikirkanlah itu semua dengan kepala yang dingin.”

Kemudian, Kita meninggalkanku dengan kenangan lama yang telah terkikis dari ingatanku seiring berjalannya waktu.