Part 3: Pergi

Miya Atsumu kebetulan lahir 5 menit sebelum aku, membuatnya mendapat status sebagai kakak kembarku.

Berdasarkan penilaian orang-orang, ia tidak lebih pintar dariku. Secara fisikpun, masih lebih kuat aku yang adalah adiknya. Karena itu ia jauh lebih gigih dan bersemangat untuk mempelajari hal-hal yang baru. Cita-citaku menjadi pilot, begitu yang ia katakan pada kelas menggambar taman kanak-kanak di saat aku memikirkan akan beli berapa takoyaki sepulang sekolah nanti.

Atsumu juga menyukai hal-hal berbau astronomi dan ia sedikit lebih kesulitan menghapal nama-nama tersebut. Hal itu membuatnya lebih memilih pilot ketimbang astronot meski menurutku keduanya sama-sama sulit. Tetapi ia selalu berusaha keras. Terkadang kamar kami akan penuh dengan puluhan pesawat kertas dan aku akan memarahinya kalau ia menimbun sampah-sampah itu di atas tempat tidurku.

Hingga kini, dia masih membuatnya. Aku lupa membeli persediaan kertas lipat, seperti yang selalu kubeli tiap pulang sekolah. Jadi, aku sudah tidak kaget ketika melihat ada pesawat kertas dari koran, majalah atau bahkan brosur supermarket yang beterbangan di dalam rumah dan akhirnya salah satu berhasil masuk ke pintu kamarku yang terbuka, tepat ke atas kepalaku.

Aku mendengus dan bermaksud melempar balik pesawat itu kalau saja tidak memperhatikan sesuatu di balik lipatan kertasny yang terbuka.

Osamu, ayo kita makan es krim!

Pesan dari dia tertulis dengan sedikit rapi – ia berjuang memperbaiki tulisannya yang lebih jelek dari balita – dan dibubuhi dengan karikatur tersenyum.

Selalu begitu. Bahkan setelah pertengkaran kemarin, si bodoh itu masih akan bersikap seolah tak terjadi apapun dan sama sekali tak menyimpan dendam.

Aku bermaksud untuk membalas pesan tersebut dengan bicara, tapi ternyata tenggorokanku sakit, entah efek berteriak kemarin atau demam saat ini. Karena itu aku memaksa tubuhku untuk bangkit dan mengambil buku tulis di atas meja, menuliskan, 'Masih sakit.' melipatnya hingga membentuk pesawat kertas paling sederhana dan jauh lebih jelek dari milikna, lalu melemparnya keluar. Berharap pesan itu sampai padanya.

Kemudian aku mendengar suara kertas yang dilipat-lipat, menandakan ia sedang membuat pesawat yang baru. Dari asal suaranya, sepertinya dia sedang ada di dapur, tepatnya di meja makan. Mungkin baru saja menghabiskan sup miso yang diantarkan nenek Kita. Dan benar saja, tidak lama kemudian, pesawat itu sampai dan kali ini menarat tepat di atas tempat tidurku.

Samu sudah tidak marah padaku

Tidak ada tanda baca setelahnya, terasa menggantung. Aku akan menganggap dia sedang tidak bertanya, melainkan menyatakan bahwa dengan aku yang membalas pesannya, adalah pertanda suasana hatiku sudah baik. Aku lalu menyobek selembar kertas lagi. Jujur, sudah lama kami tidak mengobrol setenang ini meski hanya melalui surat-menyurat yang konyol. Keseharian kami selalu dipenuhi oleh dia yang mengganggu, aku yang marah, lalu ibu yang melerai dan akhirnya menjadi perantara pesan bagi kami berdua.

Tapi sekarang hanya ada kami berdua. Perkataan Kita masih terngiang dengan jelas di benakku. Aku masih punya orang-orang, tapi benar, Atsumu hanya punya diriku seorang.

Aku memukulmu terlalu keras, ya, tulisku sebelum membuat pesawat baru dan menerbangkannya ke luar.

Sedikit lebih lama dari yang tadi, pesawat berikutnya sampai dan mendarat menabrak dinding, karena itu aku harus sedikit berupaya untuk menggapainya.

Tidak apa-apa, Samu. Maaf karena aku hidup lebih lama dari ibu.

Kalimat kedua terdengar tidak masuk akal dan juga salah berapa kalipun aku membacanya karena, pertama, jelas ibu hidup lebih lama dari kita semua. Dan kedua, hatiku begitu sakit dibuatnya. Aku yang brengsek, tetapi dia yang meminta maaf.

Karena itu aku membalasnya dengan, Terima kasih sudah melindungiku dari perempuan yang bukan ibu.

Dia tertawa saat menerimanya, sepertinya sangat senang karena kata-kata tersebut. Karena aku tidak ingin buang-buang kertas lagi, akupun memutuskan untuk keluar dan makan sup miso yang semoga saja tidak ia habiskan sendirian.

Sekilas aku melihat Atsumu yang berlari dari dapur menuju kamar ibu, bersembunyi di balik pintu dengan wajah ketakutannya setiap kali aku melemparkan silent treatment kepadanya. Kalau itu Atsumu yang berusia 7 tahun, aku mungkin akan menganggapnya lucu.

“Apa?” tanyaku, berusaha terlihat sesantai mungkin dengan mengambil gumpalan-gumpalan kertas yang bercecer di lantai, meja makan, dan counter.

Mangkuk terbalik yang ada di pinggir wastafel dan air menetes dari atasnya menandakan dia baru saja makan, bahkan mencuci peralatannya sendiri. Kan? Dia sebenarnya tidak sebodoh itu.

“Samu sudah tidak marah?” Ia balas bertanya, masih sambil bersembunyi di balik pintu dan hanya menampakkan kepalanya.

“Memangnya kapan aku tidak marah padamu?” balasku. “Kemarilah.”

“Tidak! Kau akan memukulku!”

“Aish, aku takkan membelikanmu es krim kalau kau-“

“AKU MAU ES KRIM!!!”

Mendengar kata kunci tersebut, tanpa berpikir panjang ia beranjak keluar dan berdiri tepat di hadapanku. Aku bersedekap sambil mengamatinya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ia nampak sangat sehat meski suaranya parau dan hidungnya merah karena terlalu sering membuang ingus. Bekas pukulanku terlihat membiru di ujung dagunya. Konyol sekali karena kami sekarang memakai piyama dengan warna yang sama dan plester demam sama-sama masih tertempel di dahi kami.

Aku menghela nafas dan mencabut plester tersebut, menghasilkan teriakan ‘SAKIIIT’ yang teramat sangat berlebihan, lalu menyumpal mulutnya dengan acar plum yang kuambil dari dalam toples kiriman nenek Kita.

Kenapa aku begitu jahat padanya?


Terkadang kekhawatiranku memang menuntunku ke kenyataan.

Saat orang-orang melihatku dengan tatapan geli dan cemooh, aku sudah menyiapkannya. Karena itu aku menunduk dan duduk di kursiku, tidak begitu mempedulikan Suna yang mengajakku ngobrol santai dan menanyakan keadaanku.

Itu anak yang mencampakkan Runa, begitu yang kudengar. Setidaknya, tidak ada yang menyebut kata 'kembar' atau bahkan nama Atsumu.

Saat pergantian kelas, jam istirahat, maupun pulang, semua orang masih membicarakannya. Ginjima dan Kosaku sangat kelihatan berusaha untuk tidak membahas hal itu, bahkan Suna yang biasanya sangat suka membicarakan orang lain, kini hanya membahas permainan arcade yang buka di dekat sekolah.

“Jadi, kau mau ikut kami main di arcade?” tanya Ginjima saat kami bertemu di loker depan.

“Tidak bisa,” ucapku cepat sembari mengganti sepatuku.

“Kita tidak ada ekskul voli hari ini,” imbuh Suna. “Atau kau mungkin mau pergi ke tempat lain?”

“Tidak. aku akan langsung pulang.”

“Perlu kami temani?” Kosaku mengangkat bahu enteng. “Hitung-hitung, kita bisa kerja PR bersama.”

“Terima kasih tapi aku benar-benar bisa sendiri.”

Aku terlalu takut. Mungkin kekhawatiranku membuatku menutup mata bahwa sebenarnya teman-temanku benar khawatir akanku dan bukan sedang mengejek. Jika sudah baik-baik saja, mungkin aku harus mengambil tabunganku dan menraktir mereka makan. Kembali memulai hari sebagai anak SMA seperti sedia kala.

Ya, semuanya akan baik-baik saja.

Tetapi sungguh, sejak tadi firasatku sangatlah tidak enak. Sesuatu membuatku merasa harus memakai dua kali tenagaku agar dapat berlari lebih cepat menuju rumah dan mengecek apakah Tsumu meledakkan kompor atau semacamnya. Rumah kanan-kiri kami masih sepi. Nenek Kita kemungkinan sedang belanja di pasar jadi aku langsung masuk ke rumahku yang pintunya terbuka lebar.

“-ITU PUNYA IBU!!!”

“JANGAN GANGGU AKU, ANAK BODOH!!! KE MANA SAUDARAMU YANG PINTAR ITU???”

Jantungku sepert berhenti untuk sejenak saat mendengar teriakan Tsumu bersahutan dengan seorang yang sudah lama sekali kukubur jauh dalam ingatanku, bahkan lebih-lebih sampai kuanggap tidak pernah ada di muka bumi ini.

Aku sungguh melupakan fakta bahwa ada satu Miya lagi yang lebih parasit dari semua Miya yang masih hidup di muka bumi ini dan sama sekali tak sudi kusebut sebagai Ayah.

Bajingan yang dipenjara beberapa tahun lalu karena kasus penganiayaan keluarga dan segudang penipuan lainnya.

Bajingan yang sering menjadikan ibu dan kami samsak tinjunya.

Bajingan yang hampir menjualku ke tangan-tangan gelap seolah aku adalah barang paling tak berharga di dunia yang bisa ditukar dengan judi.

Bajingan yang membuat Tsumu berakhir seperti ini.

Aku segera melempar tasku dan memisahkan bajingan itu yang terus mengumpati serta menghajar Tsumu yang menangis meraung-raung.

“HENTIKAN!!!” teriakku marah, menyembunyikan Tsumu yang langsung memelukku ketakutan dari belakang dan aku sungguh ingin balas menghajar wajah yang telah membuat keluarga kami pecah seperti sekarang. “MAU APA KAU DI SINI?! INI BUKAN RUMAHMU LAGI?!”

“Kau…” Bajingan itu menatapku dan langsung mencengkeram lenganku. “Ikut denganku sekarang!”

Aku berusaha melepaskan genggamannya yang mungkin akan meninggalkan bekas kebiruan di lenganku, tidak peduli lagi dengan moral dan mulai menendang atau memukul sekuat yang kubisa, sementara Tsumu terus memeluk dan menahanku agar tidak kemana-mana. Bersama memberikan semua perlawanan kami sebelum ia benar-benar sampai di ambang pintu dan membawaku pergi ke neraka.

Tiba-tiba Tsumu melepasku, kemudian bangkit dan entah mendapat tenaga berhasil mendorong bajingan itu hingga cengkeramannya padaku terlepas. Mereka berdua sama-sama terjatuh menimbulkan suara benturan yang keras dan seketika suasana langsung menjadi sunyi, hanya terdengar nafas memburu dari kami berdua saja.

Bajingan itu tak sadarkan diri setelah kepala dan lehernya terantuk dinding, hingga darah merembes keluar darinya.

Mati?

Apa akhirnya… Dia benar-benar mati?

“Tsumu!” Aku segera menariknya yang masih tercengang dan berada di atas perut bajingan itu. “Tsumu, ambil tasmu sekarang!”

“Sa-samu- Bagaimana ini- Ayah-“

“CEPAT AMBIL PAKAIANMU DAN KITA PERGI SEKARANG!!!” bentakku dan saat kesadaannya telah pulih, ia segera mengangguk dan menuruti perintahku.

Dengan panik aku mengambil buku tabungan milik ibu yang masih berada di dalam genggaman (mungkin mayat) si bajingan itu, kemudian masuk ke kamarku, mengeluarkan semua buku pelajaran sebagai ganti beberapa pakaian dan celenganku sendiri ke dalam tas, tidak lupa dengan selimut serta mantel karena kami akan (waktunya sungguh tidak tepat) memasuki musim dingin.

Saat aku berbalik, Tsumu sudah kembali ke dapur, memeluk tasnya melihat sosok yang sialnya adalah ayah kami, masih tergolek bersimbah darah di sana. Aku memasuki kamar kami berdua dulu dan kamar ibu secara bergantian, mengambil apapun yang kubisa karena Tsumu pasti hanya mengambil mainan dan buku saja. Tidak lupa mengambil makanan dari dalam kulkas untuk persediaan kami di jalan.

Walau aku sungguh tak tahu harus ke mana kami setelah ini.

Aku kembali dengan ransel yang penuh, memakaikan dengan paksa mantel dan syal untuk Tsumu, lalu menariknya keluar rumah. Membawanya berlari dan sungguh, pemandangan di depan rumah adalah hal yang sama sekali tidak ingin kulihat saat ini.

Ginjima, Kosaku, Suna, dan… Kita-san. Mereka menatapku terkejut, entah mungkin di wajah atau pakaianku sekarang ada bercak darah, atau mungkin ekspresiku yang habis seperti membunuh ayahku sendiri, atau mungkin saudara kembar yang selama ini kusembunyikan dari dunia dan kini berada dalam gandenganku.

Dan aku balas menatap mereka satu per satu. Wajah-wajah yang aku yakin takkan bisa kutemui lagi setelah semua yang terjadi.

“Miya-“

Aku kembali berlari membawa Tsumu melewati mereka, tidak mempedulikan namaku yang diteriakkan. Tidak peduli dengan Kita-san yang memanggil nama kami berdua. Aku pergi meninggalkan masa SMA yang baru saja kumulai dan tidak mungkin datang untuk kedua kalinya.

Karena sekarang, aku hanya punya Atsumu.