Rapot Pertama (2)

“Shoyo engga capek?” tanya Keiji sembari mengusap rambut Shoyo yang sudah mengantuk dan tengah berbaring di pangkuannya.

“Engga!” Shoyo menggeleng cepat, masih memainkan mainan fidget berbentuk bola voli yang diberikan Wakatoshi.

Teman-teman satu tim Koutarou perlahan meninggalkan gym. Gao yang sejak tadi sudah jalan-jalan dengan keluarganya pamit pulang lebih dulu, begitu juga dengan Lev dan Morisuke. Wakatoshi undur juga karena ada urusan lain, begitu juga dengan si kembar Miya yang paling asik bermain dengans Shoyo.

Hari ini berjalan dengan terlalu cepat karena semuanya bersenang-senang, terutama Shoyo. Keiji sampai lupa memikirkan bagaimana cara menyebut kata “pulang” tanpa membuat Shoyo menangis lagi. 

“Shoyo ga kangen kasur?” Koutarou ikut duduk bersila di lantai bersama suami dan anaknya. “Boneka hiunya bakal lebih enak dipeluk sambil tiduran di kasur, lho! Kan, sama-sama empuk!”

Mendengar kata kasur, Shoyo langsung duduk lagi dengan mata berbinar. Keiji hampir lega, namun ternyata kesenangan itu hanya berlangsung satu detik saja karena wajah Shoyo kembali muram.

“Engga mau pulang...” cicitnya.

“Shoyo kenapa kok, ga mau pulang? Masih mau main?”

“Iya...”

Keiji menghela nafas. Shoyo biasanya anak yang super jujur, jadi melihat si bocah mulai tertutup begini membuatnya pusing sekaligus kuatir.

“Nanti di rumah kita main lagi! Nih, ada banyak kan, dikasih sama Uncles!” bujuk Koutarou dengan senyum permanennya. “Boleh mandi yang lama juga deh, nanti! Ya kan, Ma?”

“Huum~” balas Keiji lembut. “Boleh bawa bebek-bebek juga kalau Shoyo mau. Main masak-masak sambil mandi juga boleh.” Saking bingungnya mau membujuk bagaimana lagi.

“Engga...” Shoyo menunduk dan meremas ujung jaketnya. “Nanti kalo di rumah... Dimarahin...”

Koutarou dan Keiji saling memandang dengan tatapan, 'Emang kapan kita pernah marahin dia?'

“Siapa yang marahin Shoyo?” tanya Koutarou. “Shoyo kan, anak baik!”

“Rapot...” Anak itu mulai sesenggukan. “Shoyo bego...”

Kedua pria dewasa itu sudah sangat hapal kalau Shoyo dan teman-temannya suka saling mengejek dengan sebutan 'bego'. Tapi baru kali ini mereka melihat Shoyo sangat memikirkannya.

“Shoyo bawa rapotnya?”

“Keiji.”

“Gapapa,” bisik Keiji melihat Koutarou seperti tidak setuju. “Mau tunggu sampai kapan lagi?”

Shoyo membuka ranselnya dan mengeluarkan buku berwarna oranye, lalu menyerahkannya ke Keiji, masih sambil menangis. Koutarou menarik Shoyo untuk duduk di pangkuannya sambil menepuk-nepuk kaki anak itu guna menenangkannya.

“Mana sih... Mama lihat dulu.”

Keiji dan Koutarou sama-sama memperhatikan dengan seksama tulisan dalam lembaran yang ditulis oleh Hitoka, wali kelas Shoyo.


Writing = B

Reading = C

Counting = D

Language = B

Speaking = B

Playing = A+

Physical = A+

Social = A+

Crafts & Arts = B


Kedua orang tua itu menghela nafas lega, lalu secara tak sadar tertawa bersamaan.

“Shoyo, Shoyo. Lihat ini, ya.” Keiji menunjuk kolom di bagian bawah supaya Shoyo bisa melihatnya juga, lalu mulai membaca dengan nada seperti bedtime stories. “Shoyo adalah anak yang ceria dan unik. Dia sedikit kesulitan mengikuti kelas, tetapi dia sama sekali tidak menyerah dan selalu memiliki cara belajarnya untuk bisa paham dengan materi, terutama formula berhitung. Meski sangat aktif, Shoyo selalu fokus pada pelajaran dan disiplin. Dia selalu menanyakan banyak hal setelah guru mengijinkannya untuk bicara dan suka menambah pengetahuannya.”

Shoyo sudah berhenti menangis, masih berusaha mengatur nafasnya. Tetapi matanya ikut memperhatikan tiap kata dan telinganya menyimak.

Koutarou terkekeh, gantian membaca selagi Keiji sibuk mengelap air mata dan ingus Shoyo dengan tisu.

“Shoyo sangat mandiri, juga suka menolong temannya yang kesulitan dan berbagi apapun, baik makanan, alat tulis maupun mainan. Wah, big boy Shoyo! Dia berani menegur teman yang bersalah dan juga meminta maaf setelah melakukan kesalahan. Kemampuan fisiknya sangat bagus dan membuatnya disenangi teman-teman setiap pelajaran olahraga. You are doing great, Bokuto Shoyo!

Di kalimat terakhir, Koutarou menggerakkan kedua kakinya, membuat Shoyo tertawa karena badan kecilnya ikut naik turun.

Sebenarnya masih banyak komentar dari Hitoka di lembar berikutnya tentang apa saja yang harus dilakukan untuk membantu perkembangan Shoyo. Tapi biarlah, itu bisa Koutarou dan Keiji baca nanti. Yang penting mereka tahu, bahwa di luar pengawasan orang tua, Shoyo sama sekali tidak berbeda.

“Tuh, it's not bad, right?” ucap Keiji mencubit pelan hidung Shoyo. “Papa sama Mama bakal marah kalau Shoyo engga bertanggung jawab. Kalau soal nilai, Shoyo masih punya waktu 100 tahun buat belajar. Oke?”

“Beneran, ya?”

“Iya, Sayangku!”

Sebagai pembuktian, Keiji mengecup berkali-kali pipi merah Shoyo hingga anak itu terkikik geli.

“Yuuuk!~”

Koutarou langsung berdiri dan mengangkat Shoyo untuk duduk di atas bahunya, membuat anak itu tertawa keras. “Pulang, pulang, pulang! Shoyo jangan kentutin Papa, ya!”

“Engga tau!”

“Heeeyyy~”