Rapot Pertama (1)

Koutarou masih panik dan berusaha mencari cara supaya dia tidak terlalu memikirkan hasil penilaian Shoyo, toh anak itu masih baru menginjak usia 5 tahun, kan?

Tidak terasa mereka sudah sampai di gedung TK Karasuno. Keiji yang menyetir, karena Koutarou masih belum sempat membuat SIM dan sekalinya ada waktu untuk latihan menyetir malah nabrak terus. Daripada masuk TV karena hal memalukan nan membahayakan, lebih baik Koutarou fokus voli saja.

“Mmm, Keiji.”

“Iya, Kak?”

“Hari ini rapotan, ya?”

Keiji mengambil ponsel yang sejak tadi ia simpan di saku mantel, mengecek kalender dan mata di balik lensanya membulat saat menyadari fakta tersebut.

“Oya? Seru banget, jadi penasaran nilainya gimana.”

Koutarou tertawa dalam hati. Seru katanya.

Tapi sepertinya Keiji juga gugup, menghela nafas berkali-kali.

“Jadi...” ucap Keiji. “Mau masuk bareng atau kaya rencana awal?”

BEEP BEEP BEEP

Bukan, itu bukan klakson mobil ataupun suara ambulans. Tetapi ponsel Keiji yang berdering kencang dan Koutarou tahu persis itu notif dari siapa.

“Duh, aku lupa batalin review sama Udai-san,” decak Keiji, lalu natap suaminya. “Maaf ya, Kak.”

“Gapapa, Keiji!” Koutarou senyum menenangkan sambil ngusak rambut Keiji. “Tinggal ke rencana awal; Beres!”

Keiji ngangguk, lalu menimpali, “Janji ga akan lama teleponnya.”

Mereka awalnya memang berencana untuk datang bersama, tapi hanya salah satu yang turun untuk menjemput Shoyo di dalam. Antara Koutarou yang turun, atau dia yang tunggu di mobil. Intinya sama-sama memberi kejutan, lah.

Dan saat turun, Koutarou tidak menyangka ternyata dia sampai dilihatin ibu-ibu murid sana. Diajak foto dan dimintain tanda tangan pula. Wah, gila. Dikenal orang bikin Koutarou bersemangat dan lupa dengan rasa gugupnya.

“Yahoo, Boku-chan!”

Suara menyebalkan itu sontak membuat Koutarou mendengus.

“Duh, males!” keluhnya, walau dia tidak serius di grup chat tapi tetap saja, dia entah kenapa bawaannya selalu kesal kalau liat Tooru.

“Biarin! Wle!” ejek Tooru sambil menjulurkan lidah.

Tapi Koutarou seketika tersenyum sumringah lagi waktu melihat ada Tobio yang memegangi celana papanya dan menatapnya dengan mata mengerjap. Ia berjongkok menyapa si bocil, “Hey, hey, hey! Tobio-kun udah gede aja!”

“Perasaan minggu kemarin kamu udah ketemu dia.” Tooru terkekeh seraya mengusak rambut putra bungsunya. “Bio, masih inget itu siapa?”

“Uncle Boku!” jawab Tobio lantang.

“Yes, good~” Lalu Tooru beralih lagi ke arah Koutarou, senyum nyebelinnya sedikit berubah menjadi muka kuatir. “Cepet berhenti ngartis dan temuin anakmu, deh.”

Anak siapa katanya?

Lah, iya! Shoyo!

Secepat kilat Koutarou meninggalkan antrian ibu-ibu yang minta berjabat tangan dengannya dan berlari ke. dalam sekolah. Samar-samar dia mendengar suara tangisan yang melengking dan semakin lama semakin keras saat ia berhenti di depan salah satu ruang kelas.

“Eh?? Sho-chan, lihat itu Papa!”

Terlihat Hitoka, guru sekaligus teman sekolah Kei dulu, sibuk menenangkan Shoyo yang... Menangis hebat.

Koutarou panik. Shoyo sudah lama tidak menangis. Kalaupun jatuh dan terluka, anak itu malah tertawa dan tidak takut menghadapi fase yang serupa lagi. Dan menangispun pasti ada alasannya, kan?

Bahkan Koutarou tidak ingat kapan terakhir kali Shoyo menangis. Keiji yang tidak pernah absen membuat laporan kegiatan Shoyo setiap harinya juga tidak pernah menyebut anak mereka tiba-tiba tantrum atau apa.

“Hey, hey, hey!!!” Koutarou tersenyum selebar mungkin, berlutut dan merentangkan kedua tangannya. “Shoyooo~ Ayo kita beli es krim yang Shoyo minta kemarin!”

“HUAAAAAAAAAAAAAAAA”

Namun melihat papanya, Shoyo makin meraung dan merapatkan pelukannya di kaki Hitoka, ingusnya sudah tumpah ke mana-mana.

“E-ehhh?? Ini Papa, lho! Shoyo ga inget Papa, ya?”

“ENGGA MAUUUU HUAAAAAAAAA”

“I-Ini dia kenapa, Yacchan?” tanya Koutarou cemas. “Diganggu temennya?”

“Engga, Bokuto-san,” jawab Hitoka, dia sendiri juga terlihat sama kacaunya. “Dari sebelum jam pulang dan bagi rapot dia udah nangis. Kutanya apa kangen Papa-Mama? Tapi katanya malah ga mau pulang. Udah kubujuk buat main bareng, masih ga mau.”

“Aduh, Shoyo... Gapapa ya, Sayang? Ayo pulang terus nonton Pony, ya? Sama Papa-Mama, ya?” bujuk Koutarou lagi. “Papa bawa bola voli, lho! Kemarin Shoyo minta yang sama persis kaya punya—”

“NGGAAAAAA HUAAAAAA—uhuk uhuk—HUAAAAAAAAAAA”

Muka Shoyo sudah sangat merah. Mungkin saking lama dan kerasnya menangis, dia sampai batuk-batuk.

“Shoyooo~” panggil Koutarou lagi. “Gimana caranya sabar, Shoyo? Ingat gimana? Tarik nafas lewat hidung dulu ya kaya Papa~”

Koutarou narik nafas panjang, Hitoka juga ikut. Lelah dengan drama ini sepertinya.

“Hembusin lewat mulut~ Tuh, kaya waktu pendinginan habis main voli. Gampang, kan?~”

Koutarou menghembuskan nafas perlahan. Dia melakukannya berkali-kali. Awalnya Shoyo masih tidak mau memperhatikan dan sibuk menangis, tapi lama-lama perhatiannya teralih juga dan iapun ikut mengatur nafas seperti yang diajarkan papa dan gurunya.

Dan...

TUTTT

Shoyo pun kentut. Koutarou dan Hitoka bengong bentar.

“Ehe.” Shoyo ketawa malu.

“Good boy!!!~” seru Koutarou ceria karena Shoyo akhirnya mau dia gendong, sementara Hitoka bertepuk tangan pelan.

Sampai tidak sadar juga kalau Keiji sudah ada di ambang pintu kelas, yang tadinya pucat kini ikut bernafas lega melihat anaknya mulai tenang.

Shoyo yang melihat keberadaan Keiji jadi gelisah lagi.

“Hueeee engga mau pulang!”

“Lho, siapa bilang kita pulang? Orang mau jalan-jalan, kok!” sahut Koutarou seraya menoleh ke arah Keiji. “Ya kan, Ma?”

“Iya!” timpal Keiji, memamerkan senyumnya sembari mengusap wajah Shoyo yang basah dengan sapu tangannya. “Shoyo mau ke mana aja, Papa sama Mama ikutin!”