Ultah Papa

Tooru menggerutu tanpa suara sembari mendorong stroller berisi makhluk kecil nan bulat yang hanya duduk plonga-plongo sembari menggenggam ponsel mainan.

Pelatih Seijoh itu sejak tadi hanya memutari komplek, pertokoan, dan ujung-ujungnya kembali lagi ke perumahan. Beneran kaya diusir dari rumah. Tadinya cuma pamitan mau jalan sore, eh malah ditinggal tanpa kabar sama Hajime.

Kalau dipikir-pikir, suaminya udah aneh dari kemarin. Tooru ga ada jadwal latihan hari ini tapi malah disuruh ke Seijoh sama Hajime.

Seingat Tooru juga Hajime harusnya ada jadwal latihan fisik sama Sendai Frogs hari ini, tapi katanya udah digantiin sama latihan lainnya.

Aneh. Tooru makin kesel karena Hajime biasanya cukup ketat soal Tobio yang keluyuran di luar.

“Oik!”

Mendengar suara tak asing memanggil namanya itu, Tooru menoleh, mendapati Eita yang baru keluar rumah dan lagi bawa Tsutomu yang sedang menangis dalam gendongannya.

“HUAAAAAAAAAAAAA”

“Aduh, aduh, Tomu-chan kenapa kok, nangis?” tanya Tooru, sementara Tobio cuma bingung sekaligus heran liat temennya yang biasa ceria sekarang malah mereog.

“Iya nih, habis cabut gigi tapi nekat mau beli es krim. Dimarahin mamanya, deh.” Eita yang menjawab, masih berusaha menenangkan Tsutomu. “Dek, itu lho diliatin Bio!”

“GAMAUUUUUUUU” rengek Tsutomu. “MAU ITUUUU HUAAAAAA”

“Tomuuuuu, kalo dikasih tau Mama tuh nuruuut...”

Selagi Eita ceramah, otak Tooru pun berpikir.

Oh, iya. Daripada jalan ga jelas begini, kenapa ga menitipkan Tobio ke rumah Eita saja? Kasian juga anaknya kalo di luar terus nanti masuk angin, mana bentar lagi gelap.

“Bio mau main sama Tomu?” Tooru menawari dua anak itu. “Tomu juga mau? Nanti main arcade di depan, yuk!”

“Tuh, diajak main Uncle Tooru sama Bio,” timpal Eita.

Tobio udah mangap mau jawab, tapi ponsel pink di tangannya tiba-tiba berkedip dan melantunkan musik bernuansa anak-anak.

“Oh, engga deh! Udah waktunya pulang!” ujar Tobio.

“Pulang? Papa sama Bio kan, diusir Chichi.”

“Heh!” tegur Eita. “Ga dibilangin ke anaknya juga kali!”

“PAPAAAAAAAAAAA”

“Yaudah iya kita main sendiri.” Eita mau ga mau nurutin anaknya yang makin berisik. “Dadah dulu sama Bio!”

“PAAAAAAAAA—”

“Tomuuuu... Jelek kaya gitu, ya!”

Eita ngehela nafas liat Tsutomu yang sesenggukan, lalu menatap Tooru dan Tobio bergantian.

“Sorry duluan, ya! Kapan-kalan main bareng, Dedek lagi waktunya rewel ini.”

“Yoi!” bales Tooru santai. “Aku pulang dulu, deh. Siapa tau Hajime udah kangen aku dan minta rujuk.”

“Idihhh”


Sesampai di rumah, benar mobil Hajime sudah ada di di sana. Lebih heran lagi karena Tooru bisa memasukkan kata sandi rumah seperti biasa, yakni tanggal ulang tahun Kaito, padahal ia yakin tadi gagal terus.

Setelah melepas Tobio dari stroller, si bocil langsung berlari masuk dan Tooru langsung mengejarnya karena semua ruangan masih dalam keadaan gelap.

“Tunggu dulu, Bio!” panggil Tooru yang akhirnya berhasil menggaet tangan si kecil. “Nanti kepeleset, mental kamu!”

“Mau makan!”

“Iya dinyalakan dulu lampu—”

“Ih, Kaa-chan kok udah icip-icip! Itu kan punya Papa!”

Tooru berhenti bicara saat mendengar suara Nanao dari arah dapur yang remang-remang. Dia cuma bisa melihat Hajime yang duduk di kursi tinggi membelakanginya, sedangkan Nanao dan Kaito berada di seberangnya.

Yang jelas, mereka berisik banget. Tooru kaya lagi ngintipin keluarganya yang menjalankan misi rahasia.

“Papa lama tauuu! Udah laper ini!”

“Kalo mau jilat jangan di kuenya langsung dong, Kaito... Tulisannya nanti berantakan. Tuh, lihat?”

“Iya ih, Kaa-chan jorok! Nanti Papa ga jadi tambah umur kalo tulisannya ilang!”

“Engga gitu ya, Nanao...”

“Maaf, Chichi!”

“Hahaha, udah-udah. Chichi siapin lilinnya, kalian jangan terlalu deket.”

“Siaaaaaaaap”

Tooru masih mempertimbangkan apa dia harus pura-pura ga tau soal kejutan yang sebentar lagi akan mengejutkannya atau...

“Eh?? B-Bio!”

Terlambat. Tobio udah nyelonong ke dapur dan Tooru cuma bisa menghela nafas dan ngikutin si bungsu yang menggegerkan anggota keluarga mereka lainnya.

Tapi tak apa. Muka Hajime, Kaito dan Nanao saat ini sangat menghibur di mata Tooru.

“Biooo! Kan, Nao udah kasih tau kalo hapenya bunyi tiga kali, baru boleh masuk!” sungut Nanao.

“Tadi udah bunyi tiga kali, kok!” bales Tobio.

“Masa, sih? Tadi Bio itung, ga???”

“Engga! Bio pake feeling!”

“ARRRGGGHHH TUH KAAAAAN”

Kaito ngacak rambut frustasi, tapi sedetik kemudian dia kembali senyum waktu liat Tooru.

“Nah, karena Papa udah dateng, waktunya makan!”

“Eh, belum!”

Hajime menghalangi muka Kaito yang siap menyerbu kue dengan piring plastik, lalu menoleh ke Tooru yang senyum ga jelas dengan tubuh bersandar ke counter dan tangan bersedekap.

“Ngapain kaya gitu?” tanya Hajime sambil menaikkan Tobio ke kursi tinggi di antara kakak-kakaknya. “Cepetan tiup lilin!”

“Hmmm apa ya ini?” kekeh Tooru seraya berjalan ke arah mereka. “Kirain beneran diusir.”

“Hehe, maaf ya, Papa! Tadi Chichi bilang kuenya belum jadi, terus kita suruh Bio buat nemenin Papa keluar.”

“Ih, Nao-chan kok kasih tau Papa?! Kan, Chichi udah bilang rahasia!”

“Ya ampun...” Hajime tertawa dan mengacak rambut satu per satu anaknya. “Udah, udah. Yang penting kan, jadi beli kuenya!”

Tooru tersenyum, ingin sekali mencium satu-satu putranya yang bersusah payah membuat kejutan untuknya.

Kalau cium Hajime nanti malam aja biar bisa lama.