chuurreal

Atsumu berjalan dengan lesu menuju meja Kiyoomi yang berada paling pojok dan menggunakan bilik kantoran di setiap sisinya di saat mereka semua bekerja menggunakan meja panjang bersama.

Kata Tsukasa, Kiyoomi jauh lebih produktif jika ia mengasingkan diri jadi semua orang di kantor sudah memakluminya dan mengirimkan surel jika membutuhkan sesuatu.

Kali ini Atsumu mengabaikan surelnya dan membuatnya harus pergi ke meja Kiyoomi yang mana bukan menjadi hal favorit rekan yang lain karena mereka harus mengiyakan semua detail yang ia minta.

Atsumu siap dimarahi. Ia sadar kalau ia sering melupakan detail kecil dan bukan hanya Kiyoomi yang mengomelinya 3 kali sehari. Bekerja di industri hiburan seperti animasi memang sangat membutuhkan detail.

Sesampainya di “bilik” Kiyoomi, Atsumu tercengang dengan apa yang ada di sana dan sama sekali tidak seperti di bayangannya di mana ia akan menemui ribuan kertas gambar yang tidak beraturan dan poster-poster referensi. Rupanya, kenyataan berbanding terbalik dengan ekspektasi.

Bilik Kiyoomi sangat rapi dan... cenderung sangat nyaman. Folder-folder dan kotak penyimpanan tersusun dengan begitu rapi di belakang dual monitor computer sehingga tidak mengganggu pandangan. Dua buah bantal mengalasi kursi kerjanya dan headphone terpasang pada telinganya untuk mencegah kebisingan mengganggu kenyamanannya.

Atsumu hampir ingin meniru cara Kiyoomi menata tempat kerjanya meski itu hal yang mustahil, sampai matanya tertuju pada sebuah boneka yang berada dalam dekapan pria berambut hitam bergelombang itu.

Boneka manusia dengan rambut pirang dan telinga serta ekor rubah.

Tunggu.

TUNGGU???!!!

Kiyoomi menyadari kehadirannya dari refleksi Atsumu pada layar komputer, lalu ia melepas headphonenya dan berujar, “Kenapa kau diam saja? Ambil kursi, aku ingin menunjukkanmu cara mengakses video-”

“ooo-AAAAAAAAAKKKKK”

Atsumu berteriak seperti kesurupan dan mendapat lemparan bantal dari Kiyoomi.

“HATCHIIII!!!!”

“Euh, menjijikkan.”

“KAU YANG MEMBUATKU PULANG-PERGI NAIK TAKSI YANG PENGHANGATNYA RUSAK- WOW, TUNA MAYO!!!”

Atsumu yang sebenarnya masih ingin mengomel, teralihkan oleh onigiri berisikan tuna mayo kesukaannya. Osamu paling tahu bagaimana cara menyelamatkan telinganya dari omelan Atsumu.

“Aku nanti mau menginap di apartemennya Rin,” ucap Osamu sambil chatting di ponselnya.

“Hah? Ngapain?” timpal Atsumu dengan masih mengunyah.

“Dia sakit.”

“KAN, AKU JUGA!!!”

“Terus aku harus gimana??? Membelah diri???”

“ARRGGHH!!!”

Atsumu mengerang kesal, tapi bagaimanapun ia juga kasihan pada Rintarou yang sehabis bekerja siang sampai malam di acara pernikahan client, langsung berangkat ke event wibu untuk cosplay di sana. Setidaknya waktu Atsumu lebih luang karena ia mendapat libur kemarin, tapi sekarang ia harus menjadi orang dewasa dan pura-pura sehat supaya bisa bekerja.

“Nanti mungkin aku minta Keiji menemaniku makan,” putus Atsumu, karena ia tidak suka makan sendirian. “Sepertinya aku ketularan salah satu wibu yang ingusan.”

“Hah? Yang nungguin di mejamu sampai kamu datang?”

“Bukan! Itu Kiyoomi namanya!” Entah kenapa mengingatnya membuat senyum kecil terulas di bibirnya. “Dia kayanya wibu paling normal yang pernah ikutan hi-touch sama aku. Kamu tahu kan, biasanya kalo ga agresif, ya minta foto doang. Tapi dia bahkan keliatannya tidak tertarik sama sekali padaku.”

“Ah, masa?”

“Iya! Dia saja tidak tahu namaku! Sepertinya dia memang mau duduk di situ tanpa peduli itu lapak orang. Kelihatan overload.”

Atsumu tidak melanjutkan lagi saat sekilas ingatan mengenai pria bermasker hitam dengan rambut ikal hitam legam kemarin, terlihat lebih rileks setelah menerima boneka darinya. Atau perasaannya saja? Bagaimanapun, Atsumu lega dan berharap orang itu merasa lebih baik setelah pulang dari acara wibu kemarin.

“Oh...”

Atsumu menghela nafas, sudah pasti Osamu sama sekali tidak mendengarkannya karena sibuk chatting dengan kesayangannya. Si pirang melahap sisa onigirinya, lalu mengambil tas kerja dan bekal buatan Osamu, barulah kembarannya itu tersadar.

“Eh, beneran mau kerja?” tanyanya. Tidak terdengar khawatir, malah lebih seperti penasaran dan bertaruh dengan diri sendiri apakah Atsumu mampu menjalani hari yang pasti akan berat ini.

“Iya, lah! This is adulthood!

Adulthood tapi wibu.”

“Monyet! Kamu juga lebih parah!”

Osamu dengan mulus menghindar dari lemparan sandal dari Atsumu.


Atsumu itu “mudah” untuk dibuat senang. Walau ia kesal karena Osamu batal membantunya cosplay semalam, setidaknya kembarannya itu membantu membersihkan tempat tidurnya dan membuat bekal yang sangat enak.

Tadipun ia sempat ditegur oleh bosnya karena terlihat “tidak profesional” saat briefing dan itu membuat Atsumu kesal karena menurutnya ia sudah bersikap profesional dengan tetap datang bekerja seperti biasanya. Tapi ketika Keiji meminta hasil foto cosplay mereka kemarin, Atsumu kembali merasa senang karena ia memang menikmati acara wibu itu meski sangat lelah.

Tentu saja ia senang. Sebagian besar temannya datang ke acara tersebut, bahkan dua di antaranya ikut cosplay anime yang sama. Ada Suna Rintarou, pacar Osamu yang juga mengadakan hi-touch dan cosplay sebagai Yumeko. Ia adalah cosplayer yang jauh lebih sepuh dengan nama panggung Rin dan memiliki fanbase besar dibanding Atsumu yang baru memulainya saat lulus kuliah.

Lalu ada Akaashi Keiji, teman kuliah dan juga satu perusahaan dengannya yang mencoba untuk cosplay pertama kali dengan memerankan Sayaka, yang mana sangat cantik apalagi ia menyiapkan semuanya sendirian.

“Tuh, kamu cantik banget, Keiji!” puji Atsumu sementara Keiji yang berjalan di sebelahnya menyembunyikan wajahnya di balik folder-folder tebal. “Kita terlihat seperti sedang foto cover art lagu!”

Mereka akan rapat dengan tim produksi tentang garapan anime slice of life terbaru mereka, yang mana juga akan menjadi rapat perdana pertama Atsumu sebagai asisten color stylist mereka yang baru kembali dari cuti panjang.

Atsumu belum pernah bertemu dengannya, ia bahkan melupakan namanya karena orang itu tidak kunjung masuk. Yang jelas, orang-orang mewantinya supaya tidak banyak bicara dan kerjakan tugasnya dengan benar. Jadi Atsumu menyimpulkan, ia akan bekerja untuk orang tua yang seumur hidupnya dipenuhi dengan kepahitan.

“Bulan depan ada event lain, tapi aku masih belum tahu mau cosplay apa.” Atsumu masih ingin membahas acara wibu setelah pintu lift di lantai ruangan rapat terbuka. “Mungkin crossdress lagi? Keiji bagaimana?”

“Aku pikirkan dulu.” Keiji tertawa malu. “Aku saja harus mengumpulkan nyali bertahun-tahun untuk cosplay kemarin!”

“Reaksi pacarmu bagaimana?”

“Aku belum memberitahunya. Mungkin dia akan terkena serangan jantung.”

Merekapun tiba di depan pintu ruangan rapat yang terbuka. Keiji lebih dulu masuk untuk menyerahkan dokumen yang diminta direktur. Sementara Iizuna Tsukasa, senior yang melatihnya dan berada di tim yang sama, memanggilnya untuk duduk bersama dengan seorang pria yang menggunakan masker hitam.

Ah, itu pasti senior yang baru saja kembali dari cuti. Apakah ia masih sakit?

Tunggu.

TUNGGU DULU

“Atsumu-kun, kau pasti baru pertama kali bertemu dengan Sakusa Kiyoomi, kan?” Tsukasa sama sekali tidak tahu ada perdebatan yang sangat hebat dalam kepala Atsumu. “Kiyoomi, ini Miya Atsumu, yang baru saja bergabung dengan tim coloring untuk membantumu. Semoga kalian bisa bekerja sama dan tidak terbebani lagi, ya?”

Atsumu hampir tak dapat mendengarkan apapun, terutama saat nama itu disebut dan tatapan mereka bertemu. Rambut hitam ikal, masker hitam, dan juga dua titik di dahinya.

Sakusa Kiyoomi.

Kiyoomi.

Omi-kun???

Itu bukannya wibu yang kemarin???

Yang duduk di lapaknya dan kelihatan seperti tidak ingin di sana sama sekali???

Tunggu, mereka ternyata satu kantor??? SATU TIM??? SENIORNYA BUKAN SEORANG TUA YANG PENUH KEPAHITAN???

Gawat, gawat, gawat. Atsumu menangis panik dalam hati dan ingin resign saat ini juga karena aibnya sebagai wibu, tidak hanya wibu, tapi juga crossdresser, terbongkar bahkan sebelum mereka benar-benar mengenal satu sama lain.

“Kiyoomi, rapat akan segera dimulai. Mungkin kau bisa menurunkan maskermu,” ujar Tsukasa.

“Kalau kau bisa mengganti aroma jeruk tidak menyenangkan dari ruangan ini.” Kiyoomi memainkan ponselnya. Ia sama sekali tak mengatakan apapun pada Atsumu setelah kontak mata yang begitu intens terjadi selama beberapa detik barusan.

Oh, pasti Kiyoomi sudah sangat ilfeel karena sikap centilnya, apalagi ia berdandan seperti perempuan.

“Ah, Kiyoomi. Sebentar saja! Setidaknya saat kau bicara dengan orang lain. Kau bahkan belum berkenalan dengan Atsumu. Kalian harus mencoba untuk akur, oke?”

“Kau benar.”

Kiyoomi membalik ponselnya hingga layarnya menempel pada meja, lalu mengalihkan matanya pada Atsumu yang masih berdiri kaku dengan jarak sekitar 1 meter darinya.

“Kenapa kau masih berdiri?” tanya Kiyoomi dan bersamaan dengan itu, pintu ruangan rapat ditutup. “Duduklah. Ini akan jadi rapat yang sangat membosankan.”

Dia bersikap seperti biasa. Sama seperti saat bicara dengan Atsumu kemarin. Nadanya tak menunjukkan kalau ia tertarik dengan kegiatan yang dijalaninya ataupun tempat yang ia pijak saat ini. Atsumu perlahan duduk dengan masih memberi jarak dari Kiyoomi.

Ya Tuhan, Atsumu benar-benar ingin resign dari pekerjaan ke-empatnya selama hidup ini.


Sakusa Kiyoomi benar. Rapat ini begitu membosankan. Semua yang ada di ruangan lebih berfokus pada jalan cerita pada manga yang akan mereka adaptasi, saat tiba waktunya untuk membahas pewarnaan pada desain karakter, orang-orang hanya menyerahkan semuanya pada tim warna.

“Pada akhirnya kita disuruh memikirkannya sendiri??? Tidak ada diskusi mengenai warna apa yang harus kita hindari atau yang sebaiknya dipakai??? Mangakanya juga ingin kita berkreasi sendiri dengan mencocokkan keprbadian karakter???” gerutu Atsumu sambil mengemasi barang-barangnya. “Bagaimana kalau penggemar menotis ada perbedaan dalam manga dan adaptasinya, lalu mereka protes? Misal mereka berimajinasi kalau Akane berbulu abu-abu, tapi ternyata kami mewarnainya oranye. Dan itu baru kucingnya si karakter pendamping! Belum lagi warna seragam, mata, rambut, AAAAKKHHHH!!! AKU TIDAK SIAP DIHUJAT NETIZEN HANYA KARENA SALAH WARNA!!!”

Tsukasa tertawa kecil mendengar gerutuan Atsumu. Ia bisa memaklumi kegelisahan staf baru yang sangat bergairah tapi harus dihadapkan dengan tugas yang sulit.

Atsumu lalu mengikuti Tsukasa yang berjalan menuju lift bersama... Kiyoomi yang tak mengatakan apapun sejak mereka usai rapat. Tsukasa mengajak mereka untuk minum teh bersama, yang mana Atsumu kagum dengan sisi 'orang tua' dari seniornya di saat staf lain pergi minum bir dan makan daging panggang, padahal mereka hanya terpaut usia satu tahun.

“Sepertinya aku harus cuti lagi.” Adalah kalimat pertama yang Kiyoomi ucapkan setelah berjam-jam.

“Kiyoomi... Kau sebaiknya tidak meninggalkan aku lagi. Setidaknya bantu Atsumu untuk terbiasa dengan pekerjaan kita. Dan lebih cepat kita mengerjakan ini, lebih baik-”

“Ya, ya, ya. Pokoknya aku tidak mau mendengar tentang ini saat kita minum teh.”

Ah, Atsumu hampir melupakan insiden wibu yang tadi sempat menguasai kepanikannya. Lama-lama dia mulai dapat menghubungkan benang yang ada. Tidak heran kalau Omi-kun, maksudnya Sakusa Kiyoomi, terlihat begitu lelah kemarin. Siapa yang tidak lelah dengan menanggung beban segila ini? Dan lagi, bagaimana jika saat hari event yang akan datang, Atsumu tidak bisa mengikutinya?

Saking memikirkannya, Atsumu tidak sadar bahwa mereka sudah duduk di dalam kedai teh yang sangat hangat dan nyaman. Pengunjungnya rata-rata adalah orang lanjut usia dan ibu-ibu. Atsumu jadi teringat salah satu seniornya di masa sekolah yang juga suka nongkrong di tempat seperti ini. Ah, ia jadi rindu Hyogo. Rasanya hidupnya masih lebih mudah saat masih di sana.

“HATCHI!!!”

Atsumu kembali bersin dan memeperkan ingusnya pada syalnya. Hidungnya masih saja gatal, mungkin Osamu dan Rintarou sedang menggosip tentang dirinya.

“Kalau sakit, lebih baik pulang saja,” ujar Kiyoomi. “Istirahat setelah rapat produksi sangat jauh lebih baik.”

“Kiyoomi...” Tsukasa tertawa canggung atas sikap Kiyoomi barusan. “Ini pertama kalinya kita kumpul bertiga, jadi sebaiknya saling mengenal lebih dulu sebelum bekerja.”

“Peeeep.” Kiyoomi membuat suara sensor dengan mulutnya sendiri. “Dilarang membahas pekerjaan. Kak Iizuna, denda.”

Bagaimana bisa orang ini terlihat menghibur tapi juga malas di saat bersamaan? Atsumu sedikit mengagumi kemampuan seperti itu. Selama ini ia tahu bahwa orang-orang menganggap sikapnya sangat jutek saat diam dan menyebalkan saat bicara. Satu-satunya keadaan yang membuat manusia lain nyaman dengan dirinya hanya saat ia menjadi Natsumi.

Oh. Atsumu merinding lagi.

“Seru sekali,” timpal Atsumu sambil menuangkan teh chamomile ke gelas Tsukasa dan Kiyoomi. Bagaimanapun, ia adalah junior di antara mereka. “Kalian sepertinya sangat dekat. Selama ini apakah di tim coloring cuma ada kalian berdua?”

“Sayangnya begitu,” jawab Tsukasa, lalu berterima kasih pada Atsumu atas tehnya. “Aku dan Kiyoomi satu sekolah. Kami juga masuk ke tim voli yang sama. Aku kapten dan juga setter. Lalu meskipun kelihatannya dia seperti ini, tapi dia adalah wing spiker terbaik kami dan satu-satunya anak kelas 1 yang ikut ke tim inti saat aku menjadi kapten.”

“Benarkah??? Kalian bermain voli???” Mata Atsumu berbinar, isi kepalanya membayangkan Kiyoomi dengan masih memakai masker dan jaket tebal, memukul bola di lapangan dengan disoraki keramaian. Tapi satu fakta terakhir membuatnya teralih. “Tunggu, Omi-ku- Maksudku, apa berarti Kak Sakusa 2 tahun di bawah Kak Iizuna?”

Alis Kiyoomi mengernyit saat nama tersebut tak sengaja terucap lewat bibir Atsumu. Oh, dia sungguh menggali lubang sendiri.

“Kenapa kau lupa terus, Kak Iizuna? Aku memang 2 tahun lebih muda darimu, tapi aku satu angkatan dengan pacarmu,” gerutu Kiyoomi.

“Ah, benar! Ya ampun, apa aku sudah mulai tua?”

“Rambutmu memutih, tuh. Aku serius, Kak. Kau harus melihatnya sendiri.” Jeda selama dua detik sampai Kiyoomi mengakhiri kalimatnya dengan, “Maaf kalau tersinggung.”

“Kurasa kau benar. Motoya juga pernah mengatakannya padaku.”

Atsumu sama sekali tidak bisa menebak apakah Kiyoomi benar-benar mengingat pertemuan mereka kemarin.

Semua orang selalu pamer kepada dunia kalau bertemu dengan cosplayer favorit mereka. Kiyoomi memang bertemu dengan dirinya yang menjadi Natsumi, tapi ia bukan penggemarnya maupun wibu yang setidaknya tahu namanya.

Kiyoomi hanya seorang yang kebetulan ingin mengasingkan diri sejenak dan tak sengaja duduk di lapaknya. Itu saja. Pertemuan mereka seharusnya tidak begitu spesial, jadi tentu saja ia takkan mengingatnya.

“Omong-omong soal Motoya, dia cerita kalau pergi ke event wibu denganmu ya, Kiyoomi?”

“UHUK!!!”

Atsumu tersedak kue kering almond pesanannya.

“Eh- Atsumu! Kau baik-baik saja?” Tsukasa menuangkan teh ke dalam cangkirnya dan memberikannya pada Atsumu. “Minumlah dulu!”

“Ingus dan ludahmu kemana-mana sampai aku tidak bisa membedakannya dengan percikan teh,” komentar Kiyoomi, menarik beberapa lembar tisu dan membersihkan noda-noda yang terciprat di atas meja. “Maaf kalau terdengar sarkas, tapi kau bisa melihatnya sendiri.”

“Kiyoomi!”

“T-Tidak apa-apa!” Atsumu mengibaskan tangannya, sama sekali tak peduli dengan fakta yang terucap begitu lancarnya dari mulut Kiyoomi. “Lanjutkan saja pembicaraan kalian!”

“Hm... Memang benar. Dia sangat tergila-gila dengan Rin-chan, jadi aku hanya menemaninya sampai situ lalu pergi ke tempat lain.”

“Haha, sudah kuduga! Tapi kata Motoya, kau juga ikut hi-touch dengan cosplayer Kakegurui yang lain?”

Tidak.

Tolong, Atsumu tak ingin mendengar apapun.

Kiyoomi melirik Atsumu dan saat pandangan mereka bertemu, si rambut hitam langsung beralih ke teh chamomile di dalam cangkirnya yang tersisa beberapa tetes saja.

“Oh. Benar. Bisa dibilang begitu.” Hanya itu yang dikatakannya.

“Sungguh? Ternyata sudah tiba saatnya kamu terjun di hobi seperti ini.” Tsukasa terdengar seperti seorang ayah yang bangga dengan anak perjakanya yang akhirnya mengenal seorang gadis (jadi-jadian). “Dan bagaimana pengalamanmu berinteraksi dengan cosplayer?”

Atsumu menahan nafas.

Tolong. Jangan katakan apapun.

Kiyoomi menghembuskan nafas sebelum menjawab, “Tidak buruk. Rasanya seperti pergi ke suatu pameran di mana orang-orang memperlihatkan seni yang terinspirasi dari berbagai macam seni terdahulu. Kurasa aku mulai paham kenapa Motoya begitu senang menghadiri acara seperti ini.”

Kemudian alias Kiyoomi kembali merengut tidak suka. “Tapi acaranya sangat ramai, padat, berisik, dan aku tidak bisa bernafas. Sangat menguras tenagaku.”

“Tentu saja kau akan merasa begitu! Makanya aku lebih suka melihat-lihat perabotan.” Tsukasa tertawa. “Mungkin kapan-kapan aku akan coba ikut kalau Motoya mengajak. Katanya bulan depan ada acara wibu lagi, apa kau akan ikut?”

“Mungkin. Kalau ada yang menarik.”

Bahu Atsumu yang semula tegang, perlahan kembali rileks. Kiyoomi memaparkan jawaban yang sama sekali tidak Atsumu duga, tapi di saat bersamaan, tidak membuatnya terlalu terkejut. Entah bagaimana, Atsumu tahu Kiyoomi tidak akan berkomentar mengenai pertemuan mereka.

Apakah Kiyoomi memang tahu bahwa Atsumu adalah Natsumi dan bermaksud untuk menutupinya? Kalau iya, kenapa?

“Kalau Atsumu bagaimana? Apa kau suka acara wibu juga?”

Oh, Atsumu ternyata masih belum bisa tenang.

Kiyoomi menyelesaikan pekerjaan rumahnya sedikit lebih cepat dari yang biasa dilakukannya. Ia memang berencana untuk keluar sebentar ke minimarket karena ramen yang diinginkannya tidak tersedia di platform online dan ia yang sangat menginginkannya untuk makan malam nanti terpaksa harus mengangkat pantatnya dari apartemen.

Siapa sangka, perjalanannya menuju minimarket akan berubah menjadi ke mall? Dan siapa lagi pelakunya kalau bukan sepupunya, Komori Motoya?

Sebenarnya Kiyoomi juga tidak terlalu kesal. Ia mengiyakan ajakan Motoya supaya “hutang dadakannya” bisa cepat selesai dan ia bisa segera pulang untuk memasan ramen yang ia penasaran bagaimana rasanya.

Walaupun Motoya wibu, ia termasuk orang-orang yang masih memperhatikan penampilan dan sedikit jauh dari bayangan Kiyoomi mengenai wibu itu sendiri. Motoya mengenakan sweater merah, celana kargo, dan tas pinggang kesayangannya. Kiyoomi juga punya tas pinggang yang sama, tapi ia lebih suka memakai setelan runningnya karena... Ia tiba-tiba juga ingin berlari sore itu.

“Kiyo- Hah... Aku lupa kalau kau nekat sekali... Hah!”

Nafas Motoya tersengal-sengal setelah mereka berhasil menyusul bus yang meninggalkan mereka. Kiyoomi menurunkan maskernya sejenak untuk mengambil nafas sembari berpegangan pada handle di atasnya.

“Kau sudah jarang olahraga?” tanya Kiyoomi karena tidak biasanya Motoya kehabisan nafas seperti ini karena ayolah, mereka masih main voli bersama setidaknya satu bulan sekali dengan teman-teman sekolah mereka.

Itupun kalau mereka punya waktu.

“Bukan begitu!” sahut Motoya sambil menghempaskan pantatnya di satu-satunya bangku kosong di hadapan Kiyoomi. “Aku cuma tidak mengira kamu akan mengajakku berlari mengejar bus! Ternyata kamu bersemangat sekali!”

“Aku hanya tidak mau menunggu lebih lama untuk acaramu ini.”

“Oh, ayolah! Osamu juga menjual onigiri di luar tempat event, dan masih banyak lagi jajanan yang kau suka di sana!”

“Apakah higenis?”

“Bukankah yang penting enak dan murah???

Kiyoomi tak menanggapinya lagi karena sekarang guncangan pada bus membuat perutnya yang baru terisi pudding susu rasanya ikut terkocok.


Acara yang diselenggarakan di dalam mall itu tentu ramai, seperti yang Kiyoomi duga. Dan seperti yang Motoya selalu katakan: Tidak mungkin sepi.

Ah, Kiyoomi tidak suka ini. Tadi ia hampir tergiur dengan bau masakan yang dijajakan di luar, namun Motoya menariknya masuk ke dalam ruang pertemuan dan-

Banyak wibu di sana. Orang-orang yang Kiyoomi tebak usianya rata-rata siswa sekolah dan mahasiswa, memamerkan mahakarya mereka dengan memakai kostum buatan sendiri, bahkan gundam-gundam dari kardus yang terlihat sangat realistis.

Tidak sedikit juga pengunjung wibu yang sibuk berfoto bersama para cosplayer yang benar-benar nampak seperti anime hidup. Sangat indah dan penuh perjuangan.

“Di mana ya, Rin-chan?” Kepala Motoya bergerak naik-turun dan kiri-kanan, mencari meja 'Rin-chan', cosplayer favoritnya, sambil mencocokkan denah yang entah ia dapat dari mana.

Kiyoomi tidak pernah memiliki dendam dengan wibu meski Motoya sering membuatnya kesal; dan ia mengesampingkan kepribadian tersebut dari posisi Motoya sebagai sepupunya. Motoya mungkin adalah orang paling baik dan pengertian yang pernah hidup di muka bumi. Sejak kecil, mereka selalu bermain bersama dan Motoya akan selalu memberikan 'koreksi' dengan sabar tentang hal-hal yang tidak boleh Kiyoomi lakukan agar bisa berinteraksi dengan manusia lain tanpa menyebabkan masalah.

Bisa dibilang, Kiyoomi bahkan tidak mengerti dengan semua hal ini. Kiyoomi tak paham kenapa orang-orang begitu menyukai karya-karya seperti ini dan berusaha menjadi bagian dari fiksi kegemaran mereka, sementara orang-orang di belakang layar begitu mencurahkan keringat, darah dan air mata agar bisa menghasilkan sesuatu yang dapat didewakan.

Karena itu, Kiyoomi sebetulnya malas untuk pergi ke tempat seperti ini karena rasanya tidak ada bedanya dengan hari-harinya bekerja di studio animasi.

“Ah, itu dia! Ya ampun, dia jadi Yumeko! Cantik sekali!”

Motoya menarik jaket Kiyoomi menembus lautan manusia, sementara tangan lainnya menunjuk ke arah seorang cosplayer berambut panjang hitam dan mengenakan seragam sekolah merah-hitam, menghempaskan pantat di kursinya dan mengipasi wajahnya dengan brosur. Meski tidak pernah menonton animenya, tetapi Kiyoomi mengenali karakter yang diperankannya. Rasanya ia sudah melewati 5 orang yang memakai seragam yang sama.

“Tidakkah kau akan mengganggunya?” tanya Kiyoomi, merasa kalau Rin-chan terlihat lelah setelah menyalami berbagai macam manusia yang mengantre untuk bertemu dengannya.

Langkah Motoya segera terhenti saat mendengar ujaran Kiyoomi.

“Kau benar!” Motoya merenungkan apa yang harus dilakukannya dalam waktu singkat yang ia miliki sebelum antrean penggemar Rin-chan lainnya berdatangan. “Ah, mungkin aku akan meminta tanda tangannya sebentar saja. Bagaimana denganmu, Kiyo?”

“Kak Iizuna tidak cemburu kau pegangan tangan dengan orang lain?”

“Kiyoomi, aku hanya akan berjabat tangan bukan bergandengan. Lagipula, tidak! Kak Iizuna mana memikirkan hal-hal seperti itu??? Bahkan, dia pasti sekarang sedang asik jalan-jalan di IKEA dan lupa kalau aku sedang di sini!”

“Kalau begitu kau bersenang-senanglah.”

“Eh??? Kau mau ke mana???”

“Mencari tempat yang jauh dari keramaian,” sahut Kiyoomi lalu berjalan ke arah berlawanan dari Motoya.

Bagaimanapun, Kiyoomi bukan orang yang ingkar janji. Dia sudah berjanji menemani sepupunya, jadi meskipun mereka memiliki tujuan berbeda, mereka tetap akan pulang bersama.

Keramaian ini membuat energi Kiyoomi rasanya semakin terkuras. Terlalu bising dan sesak. Orang-orang ini begitu gembira dan tidak memikirkan kalau besok mereka harus bekerja. Apakah ada orang-orang seusianya di sini? Atau bahkan lebih tua? Kenapa mereka tidak gelisah?

Kiyoomi akhirnya menemukan satu set meja dan kursi kosong yang masih berada di baris yang sama dengan tempat Rin-chan, paling pojok dan tepat di sebelah stand cosplayer gundam yang menyapa penggemarnya. Apakah penyewa lapak yang ini tidak jadi datang?

Ia memutuskan untuk duduk di kursinya. Tentu saja di sekitarnya masih ramai, tapi yang saat ini ia butuhkan adalah tempat duduk dan memejamkan mata sejenak.

Ia semakin cemas saat berusaha mencari headset yang tidak bisa ia temukan di manapun. Kenapa benda sepenting itu bisa dilupakannya? Bagaimana ia akan melewati berjam-jam di ruangan sebising ini???

“Maaf-”

Kiyoomi membuka kelopak matanya, sepertinya ia sudah berada di dunianya sendiri selama 15 detik sampai ada suara yang membangunkannya.

”-Apakah kau sedang menungguku?”

Kelopak matanya mengerjap, sampai ia mendapatkan penglihatan sempurna akan seorang cosplayer dengan rambut pirang panjang yang dikuncir dua dan mengenakan seragam yang sama dengan Rin-chan.

Kenapa banyak sekali yang cosplay Kakegurui hari ini?

“Kau pemilik meja ini?” Kiyoomi rasa lapak yang ditumpanginya memang sudah disewa. “Aku cuma beristirahat sebentar-”

“Oh, tidak apa-apa! Duduklah dulu! Aku yang terlambat karena rupanya aku lupa di mana aku meletakkan wig-ku, jadi aku memesan yang baru hari ini juga! HAHAHA!!! Apakah aku masih terlihat seperti Mary?”

Cosplayer itu tertawa sampai wajahnya memerah sambil menata poster dan buku di mejanya. Riasannya begitu natural dan cantik meski ia bilang ia terlambat, yang menandakan ia pasti merias dengan buru-buru, tapi masih terlihat niat dalam penilaian Kiyoomi.

Entah kenapa di luar karakter animenya, Kiyoomi merasa pernah menjumpai wajah ini di suatu tempat. Dari logatnya, Kiyoomi juga langsung mengetahui bahwa cosplayer ini berasal dari prefektur luar.

Tapi siapa? Apakah cosplayer ini figur publik?

Tidak seperti cosplayer lain yang seharusnya menjiwai karakternya, cosplayer Mary ini mencurahkan keluh kesahnya di depan Kiyoomi yang...

Tunggu, Kiyoomi bahkan tidak tahu apakah ia berhak tahu kalau Mary kehilangan bra yang sesuai dengan dadanya, saudaranya mendadak tidak bisa menjemput dan ia harus berangkat sendiri dengan taksi, mengambil poster di percetakan dengan dandanan seperti itu, juga kopernya yang tersandung tangga dan mengakibatkan sebagian barang-barang di dalamnya berjatuhan di lantai.

“Nah~” Setelah menata semua barang di meja, cosplayer Mary itu duduk di hadapannya dan tiba-tiba menggenggam tangan Kiyoomi yang menganggur. “Bagaimana harimu?”

Tunggu, tunggu, tunggu. Kenapa posisi ini membuatnya terlihat seperti cosplayer Mary ini adalah penggemarnya???

“Wah tanganmu... Tanganmu agak kasar,” ucap cosplayer tersebut dan menelusuri telapak tangan Kiyoomi dengan jarinya. “Kau pasti bekerja dengan sangat keras, bukan?”

“Aku memakai hand sanitizer yang berbeda. Alkoholnya jauh lebih banyak dari yang biasa kubeli, tapi aku tidak punya pilihan karena stok yang kupunya sudah tidak diproduksi lagi jadi aku tidak tahu apakah harus menghabiskan yang ini atau membuatnya sendiri,” jawab Kiyoomi cepat, panik dengan sentuhan yang tiba-tiba dan tanpa sadar menarik kembali tangannya.

Dan lagi, bukankah Kiyoomi berbicara terlalu banyak dan terkesan lucu bahkan aneh, seperti yang selalu dikatakan orang-orang tentangnya? Tetapi cosplayer Mary tidak tertawa ataupun tersinggung dengan Kiyoomi yang tiba-tiba melepas kontak fisik dengannya. Ia tersenyum dan mengangguk seolah paham dengan permasalahannya.

“Tapi kurasa jika kau ingin menghabiskan stok sanitizermu yang ini, kau bisa menggunakan hand cream untuk membuat kulit tanganmu tetap lembab. Omong-omong, aku awalnya tidak suka dengan warna lipstick yang kupakai sekarang, karena aku mendapatnya dari endorse. Tapi ternyata ini cocok sekali dengan rambut dan seragamku, bagaimana menurutmu?”

“Itu memang cocok,” sahut Kiyoomi, ia sudah menilainya bahkan sebelum ditanya. “Dan soal hand cream, aku tidak pernah menggunakannya lagi. Aku tidak suka dengan rasa berminyak yang ditinggalkannya di telapak dan sela-sela jariku, rasanya seperti memaksaku untuk cuci tangan lagi.”

Cosplayer Mary nampak tersipu, padahal Kiyoomi serius menganggap perpaduan warna yang dimainkannya pada keseluruhan penampilannya sangat bagus. Untuk ukuran orang yang mengalami banyak hambatan dan terburu-buru, ia masih tampak seperti cosplayer yang sangat profesional.

“Omong-omong, namaku Natsumi!” Ia tidak lagi menggenggam tangan Kiyoomi dan mulai menggoreskan spidolnya pada selembar poster. “Bagaimana kau ingin aku menulis namamu?”

“Eh? Kau akan menulisnya di sana?”

“Tentu saja! Dengan begitu kau bisa mengingat pertemuan kita saat kau lelah!”

Kiyoomi hanya memikirkan tentang pulang dan bersih-bersih setiap kali ia tidak sanggup dengan beban pekerjaannya dan sekarang ia harus memikirkan orang lain?

Tapi tidak ada salahnya untuk dicoba. Natsumi mungkin orang-orang langka yang tidak menertawakannya di pertemuan pertama mereka.

Dan mungkin, Natsumi juga sedikit menyadarkan Kiyoomi bahwa untuk bersenang-senang di event saat ini, ia menjalani hal-hal yang menyebalkan. Ia bahkan bekerja keras seorang diri untuk sampai ke tempat ini dan memperlihatkan penampilan terbaiknya. Hal itu membuat Kiyoomi kagum. Ternyata merekapun juga manusia yang sama-sama memiliki kehidupan di balik topeng kebahagiaan ini.

“Sakusa- Tidak! Tulis saja, Kiyoomi!” Karena poster itu akan menjadi barang pribadinya, Kiyoomi memutuskan untuk tidak menggunakan nama keluarganya.

“Bagaimana kalau aku memanggilmu, Omi-Kun?”

“Terdengar buruk.”

“Tapi menurutku itu cocok denganmu!”

Natsumi tersenyum manis dan memberikan poster berisi tanda tangannya pada Kiyoomi. Ia benar-benar menulis 'Omi-Kun' di poster foto cosplaynya hari ini. Rupanya para cosplayer ini benar-benar menyiapkan segalanya dari jauh-jauh hari.

“Nah, Omi-Kun! Berhubung kau adalah orang pertama yang datang dan menungguku yang terlambat ini, maka sebagai permintaan maaf-” Natsumi memberi jeda, memberi suara efek misterius yang sering Kiyoomi dengar di program undian, menghilang selama satu detik dari pandangannya untuk mengambil sesuatu dari kopernya, lalu menyodorkannya ke depan wajah Kiyoomi. “Kuserahkan Milky untukmu!”

“Eh?”

Kiyoomi memproses dengan sedikit lambat, tapi tangannya tetap terulur untuk menerima pemberian itu. Sebuah boneka manusia berambut pirang dengan telinga dan ekor rubah, hampir seukuran dengan boneka beruang yang Kiyoomi mainkan sejak kecil dan hilang di kantor karena seorang petugas bersih-bersih yang baru mengira kalau itu adalah sampah.

Natsumi tersenyum lebar dan terkekeh melihat ekspresi Kiyoomi yang tadinya tegang, berubah menjadi lebih rileks dan senang karena boneka yang diterimanya.

“Sebetulnya aku akan menghadiahkan itu sebagai giveaway, tapi akupun tidak tahu bagaimana cara mengadakannya dengan penggemarku di tempat.” Natsumi menopang dagu, menatap Kiyoomi yang masih sangat fokus pada boneka tersebut. “Kurasa Milky mendapatkan tuan yang baik!”

“Aku menghargainya,” sahut Kiyoomi cepat. “Ini pertama kalinya aku mendapat boneka hybrid dan sama sekali tidak seram dengan yang ada pada legenda. Daripada Milky, ia terlihat seperti Banana.”

“Kau bisa mengganti namanya jika kau mau!” tawa Natsumi. “Semoga perasaanmu bisa menjadi lebih baik dan besok harimu berjalan dengan menyenangkan, Omi-Kun!”

Kiyoomi berdecih saat kembali diingatkan kalau besok ia sudah harus ke kantor, lalu berdiri dan mempersilahkan Natsumi untuk duduk di tempat yang seharusnya. Kiyoomi baru sadar kalau ternyata sudah ada antrean panjang yang menunggu sejak tadi untuk berjumpa dengan Natsumi, yang mana ia bisa melihat ada beberapa yang terlihat 'mencurigakan' dan ia tidak suka dengan auranya.

Kiyoomi ragu apakah ia harus melihat bagaimana wibu-wibu ini berinteraksi dengan Natsumi. Tetapi Natsumi melambai dengan nada yang sama cerianya, “Sampai jumpa di event bulan depan, Omi-Kun! Aku akan menantimu!”

Orang ini akan baik-baik saja, kan? Ia akan menjumpai berbagai macam kepribadian dan bukankah itu akan sangat melelahkan? Kenapa rasanya Natsumi terlihat senang membuat orang lain senang dengan kehadirannya?

Sambil mencari Motoya, Kiyoomi membuka maskernya sejenak untuk mengecek bau boneka yang baru saja diterimanya dari Natsumi, yang notabene adalah orang asing di hidupnya.

Wangi apel, seperti parfum Natsumi sendiri. Baunya persis seperti sabun pel di apartemennya yang sudah tidak diproduksi lagi dan ia kesulitan mencarinya di merk lain.

Kiyoomi menyukai baunya.

Seumur hidupnya, aku, Miya Osamu selalu disebut sebagai “Yang Lebih Pintar,” “Yang Lebih Hebat”, “Yang Lebih Besar”, “Yang Lebih Kuat”, dan masih banyak kelebihan lain yang membuat orang-orang mengagungkanku daripada kembaranku sendiri.

Tetapi seumur hidup itu mungkin telah berhenti ketika aku menginjak usia 15 tahun.

Karena sekarang, aku menyadari kalau aku bukan seorang yang ahli dalam bidang apapun. Sederet kelebihan yang dikatakan oleh orang membuatku berbaring di zona nyaman dan tidak bergerak untuk mengembangkannya menjadi sesuatu.

Aku bukan seorang yang rajin, pun pekerja keras. Dua kelebihan itu hanya dimiliki oleh Tsumu dan bukannya aku.

Seandainya hidup Tsumu tidak berhenti di usia 10 tahun, mungkin ia sudah mencapai jauh lebih banyak hal dariku yang tidak bisa apa-apa ini.

“Apa yang kau lamunkan, Osamu-kun?”

Aku menggeleng dan kembali memindahkan ikan-ikan segar yang baru saja Kakek Usui tangkap, ke dalam kotak pengemasan. Beliau menilaiku terlalu payah mengarungi laut, jadi ia memintaku untuk bekerja di darat saja. Pada akhirnya aku tetap tidak berguna dan membuatnya lelah bekerja.

Mungkin kesialan ini terjadi karena aku terlalu durhaka kepada ibu dan membunuh orang yang harus kuanggap ayah. Nyatanya, aku juga tidak baik daam pekerjaan ini. Kotak-kotak yang kukemas tidak terlalu rapat dan mengakibatkan muatannya terjatuh ke tanah saat akan kuangkat ke atas truk. Meski Kakek Usui mengatakan tidak apa-apa, kau masih belajar, aku tahu ia pasti mengumpat dalam hati dan berpikir betapa tidak bergunanya anak generasi sekarang.

Selesai dengan semuanya, aku hanya berdiri kikuk dan makan roti pemberian Nenek Usui, sementara mereka berdua bertransaksi dengan pembeli-pembeli yang berdatangan.

Apa yang harus kulakukan?

Apa yang sekarang Tsumu lakukan?

Setiap hari Tsumu bercerita kalau ia menemani bibi onigiri dari aku berangkat sekolah (bekerja, sebenarnya), melihat bibi membuat onigiri dan Tsumu bersumpah ia tidak memegang apapun dan hanya murni melihat, membersihkan kamar (lalu aku memukulnya karena yang ia maksud membersihkan adalah menyembunyikan semua debu ke bawah kasur), mengerjakan PR dariku, duduk di depan rumah dan melihat anak-anak yang pulang sekolah, anjing lewat, kucing makan ikan, atau orang tua yang bergandengan tangan bersama anak, lalu kembali menemani bibi onigiri sampai aku pulang.

Aku tahu Tsumu tidak akan bisa diam. Ia selalu punya sesuatu untuk dikerjakan, sesederhana apapun itu. Ia akan selalu memaknai semuanya dan tahu kalau ia akan senang dengan apa yang dilakukannya.

“Nenek!” Aku memanggil wanita paruh baya yang kembali masuk ke dalam toko setelah menjual permen kepada anak kecil.

“Ah, Osamu-kun! Apakah kau mau susu?” tanyanya.

“T-tidak, aku ingin bertanya apakah ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk membantu kalian?”

Nenek terlihat kebingungan, tentu saja, siapa yang mau memberikan tanggung jawab pada orang yang tidak bisa apa-apa sepertiku?

“Untuk hari ini, bagaimana kalau kau beristirahat dan pergi membeli makan untuk saudaramu?”

Ya. Seperti yang sudah-sudah, aku masih tidak berguna.

Aku mengangguk dengan berat dan membereskan barang-barangku, membungkuk dalam dan berterima kasih untuk bimbingan hari ini kepada Kakek dan Nenek yang sudah menerimaku apa adanya.

Sepanjang jalan, aku selalu berpapasan dengan hal-hal yang Tsumu ceritakan setiap hari.

Anak-anak yang baru pulang sekolah dan menikmati taiyaki mereka, bercanda ria dan mengatakan sesuatu tentang bertemu di festival musim dingin.

Ibu yang menggandeng anaknya yang bersikeras ingin membeli cokelat Natal padahal mereka tidak punya uang.

Kucing yang berebut makanan dengan kucing lainnya demi anak-anak mereka yang kelaparan di bawah atap.

Anjing yang duduk mengibaskan ekornya setiap kali aku lewat dan berharap aku memberinya secuil makanan.

Lalu Tsumu yang duduk di sebelah warung onigiri dan memperhatikan bibi yang menjajakan dagangannya ke anak-anak sekolah.

“Ah! Samu sudah pulang!”

Tsumu berseru ceria dan menghampiriku yang masih beberapa meter dari sana. Aku hanya mengangguk kikuk dan berharap Tsumu tidak bertanya kenapa aku selalu bau ikan setiap pulang.

“Apa Samu bersenang-senang hari ini?”

“Tentu saja.” Tidak, Tsumu. Uang kita hampir habis dan sepertinya besok kita harus meminta makan ke bibi. “Kau tidak merepotkan siapapun, kan hari ini?”

Alih-alih menjawab, Tsumu cekikikan dan malah menarik tanganku untuk segera masuk ke dalam. Bukan ke kamar kami, tapi justru ke dapur milik bibi onigiri.

“Tsumu! Kau mengambil makanan milik bibi?” tanyaku blak-blakan saat melihatnya dengan sangat santai mengambil sebuah kotak dari penyimpanan makanan.

“Aku hari ini membuat onigiri!” sahutnya sambil membuka penutup kotak plastik di tangannya. “TARAAA- EH??? HANCUR???”

Wajah cerianya seketika berubah muram dan kecewa, kepalan nasi hasil kerja kerasnya hancur bercampur dengan tuna dan nori yang lembek.

“T-Tadi aku bisa membuatnya! Bibi bilang karena aku baik jadi aku boleh membantu… Aku mengepalkannya dengan baik seperti yang bibi contohkan… Lalu aku ingin menunggu sampai Samu datang dan kita makan bersama… Karena Samu suka dan sudah lama tidak makan ini, kan…”

Suaranya semakin lama semakin terdengar mencicit, matanya terlihat berkaca-kaca dan ia mulai menangis sesenggukkan.

Aku membayangkan Tsumu yang bosan menungguku, memutuskan untuk memperhatikan cara bibi onigiri bekerja dan menawarkan bantuan, berusaha melakukan yang terbaik dengan perut keroncongan karena ingin makan bersamaku.

Ah, perutku rasanya geli namun juga sesak.

Melihatnya seperti itu, membuatku ingin menangis. Yang di pikirannya hanya aku, aku, dan aku.

Detik berikutnya aku tertawa. Sangat lepas hingga mungkin akan terdengar sampai ke luar maupun lantai atas.

“Bodoh!” Aku mengacak rambutnya, lalu mengusap air mataku sendiri yang entah bagaimana bisa keluar seiring dengan bahakku. “Kenapa kau tak memakannya dan malah menungguku? Bodoh!”

“S-Samu pasti lelah dan ingin makan… Kupikir Samu tidak perlu memasak dan bisa langsung makan-“

“Bodoh!”

Malam itu kami makan ongiri hancur tersebut dan susu literan dari toko Nenek Usui yang akan basi hari berikutnya. Aku mendengarkan ceritanya dan menjawab singkat serta sealibi mungkin semua pertanyaan penuh rasa ingin tahu dari Tsumu tentang hariku demi mempertahankan keceriaan tersebut.

Ternyata aku memang segitu tidak ingin mengecewakannya.

Sepertinya aku tidak akan pernah menjadi seperti ibu.

Lucu sekali, bahkan sempat memiliki pemikiran seperti itu saja membuatku nyaris tertawa terbahak-bahak. Hal yang sangat mustahil untuk kulakukan. Bahkan bangun sebelum matahari terbit saja aku tidak bisa.

Jadi, aku bangun kesiangan di hari pertamaku bekerja.

Tsumu masih mendengkur di sebelahku, tapi sudah tidak sekeras kemarin. Aku memperhatikan sisi di sebelah Tsumu, tidak terlalu banyak buntalan tisu yang menandakan keadaannya semakin membaik.

Aku mempertimbangkan apakah harus membangunkannya dan berpamitan kepadanya. Tapi Tsumu tidak tahu kalau aku bekerja. Ia hanya tahu kalau aku akan bersekolah lagi meskipun ini bukan di Hyogo.

Lebih baik ia tetap berpikir seperti itu. Ku ambil buku miliknya yang berisi gambar-gambar pesawat dan roket yang lebih terlihat seperti gelas terbang, menuliskan banyak sekali pesan-pesan yang harus ia turuti selama aku pergi dan memberitahu tentang makanan apa saja yang aku simpankan untuknya seharian.

  1. Makanlah nasi dan asinan plum yang ada di dandang. (Tidak usah mengomel tidak enak)
  2. Jangan merepotkan siapapun yang ada di rumah ini termasuk bibi onigiri. DAN JANGAN MINTA ONIGIRI KALAU BUKAN DIA SENDIRI YANG MAU MEMBERI!!!
  3. Tetap di kamar dan jangan kemana-mana. Aku mau pergi ke sekolah dan pulang malam, karena itu jangan telepon polisi ataupun ambulans.

Setelah menyimpan kembali bukunya, aku berusaha untuk tidak menimbulkan suara yang terlalu keras untuk ke kamar mandi sekedar membasuh muka dan mencuci mulutku, lalu kembali ke depan untuk mengambil seragam (sekolah) ku.

Tentu saja Kakek Usui takkan memberikan baju khusus untukku. Ia bukan pemilik toko besar, pun sebagai nelayan maupun pedagang ikan yang terbilang memiliki cukup banyak pelanggan setia.

Jadi aku hanya perlu datang dengan seluruh tubuhku saja dan itu sudah lebih dari cukup.

Tetapi yang kulakukan adalah datang dengan perut kosong.

Aku tidak berani mengatakan apapun. Kakek Usui melambaikan tangannya dan telah siap dengan prlengkapannya. Tidak mungkin aku minta roti atau susu demi mengganjal laparku.

Rasanya aku tidak pernah sesedih ini karena harus merasa kelaparan dulu untuk mencari makan.

“Osamu-kun, bukankah lebih baik kau tinggalkan seragammu?” tanya Kakek Usui. “Sayang sekali kalau dibawa ke laut. Bahannya terlihat sangat bagus dan mahal.”

“Oh.”

Aku menggumam. Pakaian yang kukenakan sekarang adalah pakaian paling nyaman yang kubawa dari Hyogo.

Tapi masa bodoh. Aku berada di sini untuk membeli piyama yang lebih nyaman dan hangat supaya aku dan Tsumu tidak lagi tidur dengan mengenakan celana olahraga dan mantel.

Aku melepaskan jas seragamku, meletakkannya di bebatuan dekat pantai, lalu melangkah mengikuti pria paruh baya yang memberikan jaket keselamatan padaku.


Di hari pertamaku bekerja, aku tidak sengaja membuat kekacauan dengan melepas semua ikan-ikan yang berhasil kutangkap dan susah payah Kakek Usui ajarkan caranya.

Kakek terlihat kecewa, jelas sekali kalau ia lelah seharian mengajariku yang tidak tahu apa-apa tentang laut di saat ia mungkin bisa memuat banyak sekali ikan dalam sekali tangkap. Aku meminta maaf, meski lututku rasanya tidak sanggup lagi menopang tubuhku.

Maka, hari itu berlalu dengan aku yang pulang membawa roti dan susu yang dijual Nenek Usui.

Dari kejauhan, aku melihat Tsumu sedang bersama dengan bibi onigiri. Ia tidak melakukan apapun, hanya duduk di tangga dengan memeluk lututnya dengan separuh wajahnya yang terbenam syal, memperhatikan bibi yang melayani pembeli, kemudian saat sudah sepi, mereka mengobrol kembali dengan asik.

Aku jadi penasaran apa yang mereka bicarakan. Tetapi niat burukku untuk menguping harus terhenti karena Tsumu menyadari kehadiranku dulu.

“OH!!! SAMU SUDAH PULANG!!!”

Ia tidak pernah berubah. Selalu yang paling semangat saat menyambutku pulang sekolah (meski saat ini aku sudah tidak lagi menjadi siswa). Ia selalu menanyakan bagaimana hariku, apakah menyenangkan, apakah aku bertemu teman-teman, apakah aku makan makanan yang enak di kantin, apakah aku bermain voli, apakah pelajarannya susah, dan masih banyak lagi.

Tsumu masih terlihat sama senangnya. Seharusnya ini seperti yang sudah-sudah, jika ini adalah aku yang dulu, maka aku akan sangat marah melihatnya tertawa dengan wajah bodoh sementara aku di sini kelelahan karena gagal mendapatkan uang satu yen.

Tsumu bergegas menghampiriku, meninggalkan bibi onigiri yang kembali pada pekerjaannya. Tanpa sadar, sebelah tanganku yang tidak menenteng kresek belanjaan, terangkat untuk melambai kepadanya.

Rasanya, perutku yang tadinya kram berangsur kendor kembali.

“Selamat datang, Samu!” sapa Tsumu ceria, dan seperti yang sudah kuduga, pileknya sembuh.

“Hm,” gumamku, lalu menunjukkan makanan yang kubeli. “Aku beli roti melon dan susu. Sudah lama tidak makan ini, kan?”

“Woah!!! Apa Samu bertemu dengan Nenek Kita?”

“Tentu saja tidak, bodoh! Aku beli di Nenek Usui.”

“Woaaahhhh!!!”

Matanya berbinar senang dan tangannya membuka bungkus jajanan kesukaannya yang sering Ibu belikan sebagai hadiah setiap ia berhasil menyelesaikan satu lembar soal perkalian.

Ah, dia makan dengan lahap. Aku jadi sedikit merasa bersalah. Kebiasaan buruk ke— Aku bahkan tidak tahu bagaimana lagi harus menghitungnya, tetapi ada saatnya Tsumu benar-benar tidak mau makan jika belum melihatku.

“Enak?” tanyaku. “Sama seperti yang di Hyogo, kan?”

“Uhm!” Ia mengangguk selagi mulutnya masih penuh. “Samu, kau bau ikan. Apa kau main ke pantai?”

“Ah... Iya.”

“Pasti Samu bertemu teman-teman baru di sana. Atau Samu pergi dengan teman-teman sekolah?”

Aku tidak tahu bagaimana menjawabnya. Bahkan aku juga tidak tahu bagaimana ia akan bereaksi kalau tahu kebohonganku yang satu ini.

Tentu ini bukan pertama kali aku berbohong padanya. Banyak sekali kebohongan yang kuciptakan kepada semua orang yang di hidupku. Teman-teman, tetangga, bahkan Ibu, dan tentu saja paling sering kepada Tsumu demi segera menyudahi percakapan yang sering membuatku muak.

Namun kini aku diliputi rasa tidak tenang.

Kalau suatu saat aku bukanlah seseorang yang diharapkannya, bukanlah seorang yang seharusnya menjadi pelindung dan panutannya, apakah ia akan kecewa? Apa yang akan dilakukannya setelahnya? Aku sungguh penasaran, tetapi juga tidak sanggup hanya untuk membayangkannya.

Bukankah aku seharusnya fokus dengan apa yang ada sekarang? Kami hanya memiliki satu sama lain dan satu-satunya yang dapat Tsumu percaya adalah aku. Jadi, aku tidak punya pilihan selain mempertahankan kepercayaannya.

“Dengar, kau sendiri juga bau. Kenapa kau tidak mandi saja?” Aku mengendus mantel miliknya dan berpura-pura muntah. “Kapan terakhir kau mandi, hah?”

Tsumu mengerucutkan bibirnya. “Samu sendiri yang bilang aku tidak boleh mandi kalau belum sembuh!”

“Itu karena kau suka berlama-lama berendam dan membuat sakitmu menjadi lebih lama juga!”

“Memangnya Samu tidak membuat kapal kertas dulu dan memainkannya di bak mandi???”

“Untuk apa aku melakukannya?!”

Dengan begitu, aku tidak perlu menjawab rasa penasaran Tsumu yang mudah teralihkan.

Begini lebih baik, bukan?


Seumur hidupnya, aku, Miya Osamu selalu disebut sebagai “Yang Lebih Pintar,” “Yang Lebih Hebat”, “Yang Lebih Besar”, “Yang Lebih Kuat”, dan masih banyak kelebihan lain yang membuat orang-orang mengagungkanku daripada kembaranku sendiri.

Tetapi seumur hidup itu mungkin telah berhenti ketika aku menginjak usia 15 tahun.

Karena sekarang, aku menyadari kalau aku bukan seorang yang ahli dalam bidang apapun. Sederet kelebihan yang dikatakan oleh orang membuatku berbaring di zona nyaman dan tidak bergerak untuk mengembangkannya menjadi sesuatu.

Aku bukan seorang yang rajin, pun pekerja keras. Dua kelebihan itu hanya dimiliki oleh Tsumu dan bukannya aku.

Seandainya hidup Tsumu tidak berhenti di usia 10 tahun, mungkin ia sudah mencapai jauh lebih banyak hal dariku yang tidak bisa apa-apa ini.

“Apa yang kau lamunkan, Osamu-kun?”

Aku menggeleng dan kembali memindahkan ikan-ikan segar yang baru saja Kakek Usui tangkap, ke dalam kotak pengemasan. Beliau menilaiku terlalu payah mengarungi laut, jadi ia memintaku untuk bekerja di darat saja. Pada akhirnya aku tetap tidak berguna dan membuatnya lelah bekerja.

Mungkin kesialan ini terjadi karena aku terlalu durhaka kepada ibu dan membunuh orang yang harus kuanggap ayah. Nyatanya, aku juga tidak baik daam pekerjaan ini. Kotak-kotak yang kukemas tidak terlalu rapat dan mengakibatkan muatannya terjatuh ke tanah saat akan kuangkat ke atas truk. Meski Kakek Usui mengatakan tidak apa-apa, kau masih belajar, aku tahu ia pasti mengumpat dalam hati dan berpikir betapa tidak bergunanya anak generasi sekarang.

Selesai dengan semuanya, aku hanya berdiri kikuk dan makan roti pemberian Nenek Usui, sementara mereka berdua bertransaksi dengan pembeli-pembeli yang berdatangan.

Apa yang harus kulakukan?

Apa yang sekarang Tsumu lakukan?

Setiap hari Tsumu bercerita kalau ia menemani bibi onigiri dari aku berangkat sekolah (bekerja, sebenarnya), melihat bibi membuat onigiri dan Tsumu bersumpah ia tidak memegang apapun dan hanya murni melihat, membersihkan kamar (lalu aku memukulnya karena yang ia maksud membersihkan adalah menyembunyikan semua debu ke bawah kasur), mengerjakan PR dariku, duduk di depan rumah dan melihat anak-anak yang pulang sekolah, anjing lewat, kucing makan ikan, atau orang tua yang bergandengan tangan bersama anak, lalu kembali menemani bibi onigiri sampai aku pulang.

Aku tahu Tsumu tidak akan bisa diam. Ia selalu punya sesuatu untuk dikerjakan, sesederhana apapun itu. Ia akan selalu memaknai semuanya dan tahu kalau ia akan senang dengan apa yang dilakukannya.

“Nenek!” Aku memanggil wanita paruh baya yang kembali masuk ke dalam toko setelah menjual permen kepada anak kecil.

“Ah, Osamu-kun! Apakah kau mau susu?” tanyanya.

“T-tidak, aku ingin bertanya apakah ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk membantu kalian?”

Nenek terlihat kebingungan, tentu saja, siapa yang mau memberikan tanggung jawab pada orang yang tidak bisa apa-apa sepertiku?

“Untuk hari ini, bagaimana kalau kau beristirahat dan pergi membeli makan untuk saudaramu?”

Ya. Seperti yang sudah-sudah, aku masih tidak berguna.

Aku mengangguk dengan berat dan membereskan barang-barangku, membungkuk dalam dan berterima kasih untuk bimbingan hari ini kepada Kakek dan Nenek yang sudah menerimaku apa adanya.

Sepanjang jalan, aku selalu berpapasan dengan hal-hal yang Tsumu ceritakan setiap hari.

Anak-anak yang baru pulang sekolah dan menikmati taiyaki mereka, bercanda ria dan mengatakan sesuatu tentang bertemu di festival musim dingin.

Ibu yang menggandeng anaknya yang bersikeras ingin membeli cokelat Natal padahal mereka tidak punya uang.

Kucing yang berebut makanan dengan kucing lainnya demi anak-anak mereka yang kelaparan di bawah atap.

Anjing yang duduk mengibaskan ekornya setiap kali aku lewat dan berharap aku memberinya secuil makanan.

Lalu Tsumu yang duduk di sebelah warung onigiri dan memperhatikan bibi yang menjajakan dagangannya ke anak-anak sekolah.

“Ah! Samu sudah pulang!”

Tsumu berseru ceria dan menghampiriku yang masih beberapa meter dari sana. Aku hanya mengangguk kikuk dan berharap Tsumu tidak bertanya kenapa aku selalu bau ikan setiap pulang.

“Apa Samu bersenang-senang hari ini?”

“Tentu saja.” Tidak, Tsumu. Uang kita hampir habis dan sepertinya besok kita harus meminta makan ke bibi. “Kau tidak merepotkan siapapun, kan hari ini?”

Alih-alih menjawab, Tsumu cekikikan dan malah menarik tanganku untuk segera masuk ke dalam. Seperti sedang bersemangat menunjukkan sesuatu yang sudah disimpannya sepanjang hari. Bukan ke kamar kami, tapi justru ke dapur milik bibi onigiri.

“Tsumu! Kau mengambil makanan milik bibi?” tanyaku blak-blakan saat melihatnya dengan sangat santai mengambil sebuah kotak dari penyimpanan makanan.

“Aku hari ini membuat onigiri!” sahutnya sambil membuka penutup kotak plastik di tangannya. “TARAAA- EH??? HANCUR???”

Wajah cerianya seketika berubah muram dan kecewa, kepalan nasi hasil kerja kerasnya hancur bercampur dengan tuna dan nori yang lembek.

“T-Tadi aku bisa membuatnya! Bibi bilang karena aku baik jadi aku boleh membantu… Aku mengepalkannya dengan baik seperti yang bibi contohkan… Lalu aku ingin menunggu sampai Samu datang dan kita makan bersama… Karena Samu suka dan sudah lama tidak makan ini, kan…”

Suaranya semakin lama semakin terdengar mencicit, matanya terlihat berkaca-kaca dan ia mulai menangis sesenggukkan.

Aku membayangkan Tsumu yang bosan menungguku, memutuskan untuk memperhatikan cara bibi onigiri bekerja dan menawarkan bantuan, berusaha melakukan yang terbaik dengan perut keroncongan karena ingin makan bersamaku.

Ah, perutku rasanya geli namun juga sesak.

Melihatnya seperti itu, membuatku ingin menangis. Yang di pikirannya hanya aku, aku, dan aku.

Detik berikutnya aku tertawa. Sangat lepas hingga mungkin akan terdengar sampai ke luar maupun lantai atas.

“Bodoh!” Aku mengacak rambutnya, lalu mengusap air mataku sendiri yang entah bagaimana bisa keluar seiring dengan bahakku. “Kenapa kau tak memakannya dan malah menungguku? Bodoh!”

“S-Samu pasti lelah dan ingin makan… Kupikir Samu tidak perlu memasak dan bisa langsung makan-“

“Bodoh!”

Malam itu kami makan ongiri hancur tersebut dan susu literan dari toko Nenek Usui yang akan basi hari berikutnya. Aku mendengarkan ceritanya dan menjawab singkat serta sealibi mungkin semua pertanyaan penuh rasa ingin tahu dari Tsumu tentang hariku demi mempertahankan keceriaan tersebut.

Ternyata aku memang segitu tidak ingin mengecewakannya.

Semakin sore, suasana rumah Kuroo yang tadinya hening mulai ramai saat satu per satu teman Kenma datang.

Yang pertama adalah keluarga Oikawa dan Sawamura yang datang bersama.

“KYANMAAAAAAAAA”

“Kaito, Nanao! Dibilangin ga usah teriak— EH, EH, BIO!!! KE SINI DULU, SEPATUNYA DILEPAS DULU!!!”

Tooru menertawakan Hajime yang mengangkat Tobio pakai sebelah tangan seperti anak kucing saat si bocil hampir masuk ruang tamu tanpa melepas sepatu.

“Aku yang kasih kadonya duluan!” Kaito mengangkat kotak yang sangat besar dan dibungkus dengan kertas kado dinosaurus tinggi-tinggi.

“Ih, Kachan! Kan, tadi Nao yang pilihin kertas kadonya!” ucap Nanao tidak terima.

“Aku yang pilihin warna legonya!”

“Heh, tadi kan beli kadonya barengan. Ngasihnya juga barengan,” tegur Tooru. “Tuh, tunggu adeknya dulu.”

“Kalian cemen ya, adeknya mau ditinggal,” cibir Seiya.

Koushi tertawa kecil dan menepuk kepala anaknya, “Ngga boleh ngatain begitu ya, Nak.”

“Sawamura juga cemen! Ga bawa kado!” ejek Kaito balik.

“Aku bawa Pocky kok, Oikawa jeyek! Kenma biasanya suka Pocky!”

“Eh? Kok jadi panggil nama marga?” tanya Daichi bingung selagi menahan Seiya yang mau baku hantam.

“Uncle jadi ikut merasa terhina dibilang jeyek!” ujar Tooru pura-pura menangis.

“Mereka udah sering gitu,” balas Koushi capek. “Katanya udah gede, ga mau panggil pake nama kecil.”

“Giliran dikasih tau 'udah gede ya, berarti udah bisa semuanya sendiri', malah nangis,” timpal Hajime sambil tertawa.

“Haduh, ada-ada aja!”

Hajime lalu menepuk pelan kepala Tobio yang sudah menata sepatunya, katanya, “Nah, udah boleh masuk.”

Kemudian Tobio berlari mengikuti kakak-kakaknya pergi ke playroom bersama. Di sana ternyata sudah ada Shoyo yang membantu Kenma sedang menata meja-meja bundar dan kursi kecil buat anak-anak duduk.

Walau awalnya Kaito ribut sama Seiya dan rebutan sama Nanao, pada akhirnya mereka bertiga dan juga Tobio langsung kalem lagi setelah melihat Kenma.

“Hepi besdey, Kyanma!” seru mereka kompak.

Pipi Kenma memerah, lalu tersenyum dan mengucapkan, “Makasih semua!” dengan pelan.

“Kyanma ini ada gojiya dari Kachan, Nao, sama Bio, ya! Semoga Kyanma suka!” ucap Nanao sambil Tobio yang memberikan kadonya.

“Makasih,” balas Kenma senang.

“Ih kan, tadi harusnya aku yang bilang! Kan aku yang paling tua!” protes Kaito.

“Bangga ya, kamu jadi tua!”

“Ih, Seiya nyebelin!”

“Shoyo dateng duluan, lho! Tadi main Dino dulu sama Kenma. Sekarang Kenma punya dino warna pink!” pamer Shoyo.

“Oh, kalo Bio sama kakak-kakak kasih gojiya tapi warna hitam. Kenma suka ngga, ya?” tanya Tobio sedih.

“Belum tau, kan Kenma belum buka. Tapi kalo dari kalian, pasti Kenma seneng!”

Selagi Tobio dan Shoyo mengobrol dengan penuh semangat dan Kaito, Nanao berdebat dengan Seiya (lagi), samar-samar Kenma mendengar ada suara tangisan dari luar. Ia lalu bergegas ke ruang tamu, ah, ada orang tuanya teman-teman yang menyadari kehadirannya dan melambai gembira sambil mengucapkan selamat ulang tahun padanya.

Kenma membalas pelan dan fokus pada Tsutomu yang menangis, sedang dimarahin oleh mamanya.

“HUAAAAAAAAAAAAA”

“Dek! Liat Mama ini, ya! Sepatunya dilepas, terus ditaruh yang rapi ke rak! Nah, ga susah, kan?? Habis itu udah! Boleh main di dalam!”

Kenjiro memberi contoh tata cara melepas sepatu dan merapikannya sebelum benar-benar memasuki rumah. Sepertinya tadi Tsutomu terlalu bersemangat seperti Tobio tadi, tapi malah meledak saat aksinya dihentikan.

“Tuh, ditungguin Kenma!” Eita menunjuk Kenma yang diam memperhatikan drama tersebut. “Tadi Dedek katanya mau hepi besdey yang hepi buat Kenma?”

“Hueheuehehuhukuhuk”

Tsutomu menangis sampai batuk-batuk tapi juga menurut mesti dengan setengah hati.

Kenma jadi sedih melihat temannya sedih. Tetsurou yang sejak tadi juga memperhatikan, lalu berlutut dan berbisik ke Kenma, “Diajak coba, temennya?”

“Cutomu, ayo kita main!” ajak Kenma.

“Huhuuu Kengma hepi besdey!!!” Tsutomu menangis sambil mengulurkan kadonya.

“Lho, nangisnya berhenti dulu, baru hepi besdey,” kekeh Kenjiro, tidak tega juga tapi Tsutomu memang belakangan sangat menguji kesabaran mereka.

“Makasih, Cutomu!” Kenma tersenyum dan menggandeng Tsutomu yang masih sesenggukan. “Ayo kita mai—”

“WAH CUTOMU UDAH DATENG!!!” Shoyo menyusul mereka dan melompat gembira. “UDAH DATANG SEMUA!!! WAKTUNYA MAKAN KUE, YA???”

“YEAAAAAAYYYYY!!!!”

Di balik bocah-bocah yang bersorak menanti kue, ada orang tua mereka yang bergidik horor.


Akhirnya, pesta ulang tahun Kenma berjalan dengan gembira. Meski teman-teman tetap ribut, setidaknya pada akhirnya mereka bermain bersama lagi!

Tidak ada bernyanyi dan tiup lilin, kue yang sudah dipotong-potong dan di luar perkiraan ternyata enak. Benar-benar sederhana dan sesuai keinginan Kenma.

Bahkan meski orang tua mendapat kue yang teksturnya lebih keras seperti roti, ternyata lidah mereka masih bisa menerimanya. Sepertinya Tetsurou melakukan kerja yang baik saat mengawasi proses pembuatan kue-kue tersebut.

Bentar-bentar, lalu ke mana orang tua Shoyo di saat si bocah sudah di rumah Kuroo sejak awal?

Ah, mereka ke restoran untuk membeli makanan! Berhubung pasta buatan Kei terlalu luar biasa dan tidak lolos sensor, Tetsurou diam-diam meminta pasangan Bokuto untuk membelikan di restoran lain.

Saat membagikan makananpun Keiji sepenuhnya mengawasi dan memastikan anak-anak mendapat yang baru.

Biarlah makanan yang aslinya dihabiskan oleh Tetsurou dan Koutarou karena cuma lidah serta perut mereka yang terlatih sejak jaman SMA dengan makanan penuh gizi dari Kei ^_^

Semakin sore, suasana rumah Kuroo yang tadinya hening mulai ramai saat satu per satu teman Kenma datang.

Yang pertama adalah keluarga Oikawa dan Sawamura yang datang bersama.

“KYANMAAAAAAAAA”

“Kaito, Nanao! Dibilangin ga usah teriak— EH, EH, BIO!!! KE SINI DULU, SEPATUNYA DILEPAS DULU!!!”

Tooru menertawakan Hajime yang mengangkat Tobio pakai sebelah tangan seperti anak kucing saat si bocil hampir masuk ruang tamu tanpa melepas sepatu.

“Aku yang kasih kadonya duluan!” Kaito mengangkat kotak yang sangat besar dan dibungkus dengan kertas kado dinosaurus tinggi-tinggi.

“Ih, Kachan! Kan, tadi Nao yang pilihin kertas kadonya!” ucap Nanao tidak terima.

“Aku yang pilihin warna legonya!”

“Heh, tadi kan beli kadonya barengan. Ngasihnya juga barengan,” tegur Tooru. “Tuh, tunggu adeknya dulu.”

“Kalian cemen ya, adeknya mau ditinggal,” cibir Seiya.

Koushi tertawa kecil dan menepuk kepala anaknya, “Ngga boleh ngatain begitu ya, Nak.”

“Sawamura juga cemen! Ga bawa kado!” ejek Kaito balik.

“Aku bawa Pocky kok, Oikawa jeyek! Kenma biasanya suka Pocky!”

“Eh? Kok jadi panggil nama marga?” tanya Daichi bingung selagi menahan Seiya yang mau baku hantam.

“Uncle jadi ikut merasa terhina dibilang jeyek!” ujar Tooru pura-pura menangis.

“Mereka udah sering gitu,” balas Koushi capek. “Katanya udah gede, ga mau panggil pake nama kecil.”

“Giliran dikasih tau 'udah gede ya, berarti udah bisa semuanya sendiri', malah nangis,” timpal Hajime sambil tertawa.

“Haduh, ada-ada aja!”

Hajime lalu menepuk pelan kepala Tobio yang sudah menata sepatunya, katanya, “Nah, udah boleh masuk.”

Kemudian Tobio berlari mengikuti kakak-kakaknya pergi ke playroom bersama. Di sana ternyata sudah ada Shoyo yang membantu Kenma sedang menata meja-meja bundar dan kursi kecil buat anak-anak duduk.

Walau awalnya Kaito ribut sama Seiya dan rebutan sama Nanao, pada akhirnya mereka bertiga dan juga Tobio langsung kalem lagi setelah melihat Kenma.

“Hepi besdey, Kyanma!” seru mereka kompak.

Pipi Kenma memerah, lalu tersenyum dan mengucapkan, “Makasih semua!” dengan pelan.

“Kyanma ini ada gojiya dari Kachan, Nao, sama Bio, ya! Semoga Kyanma suka!” ucap Nanao sambil Tobio yang memberikan kadonya.

“Makasih,” balas Kenma senang.

“Ih kan, tadi harusnya aku yang bilang! Kan aku yang paling tua!” protes Kaito.

“Bangga ya, kamu jadi tua!”

“Ih, Seiya nyebelin!”

“Shoyo dateng duluan, lho! Tadi main Dino dulu sama Kenma. Sekarang Kenma punya dino warna pink!” pamer Shoyo.

“Oh, kalo Bio sama kakak-kakak kasih gojiya tapi warna hitam. Kenma suka ngga, ya?” tanya Tobio sedih.

“Belum tau, kan Kenma belum buka. Tapi kalo dari kalian, pasti Kenma seneng!”

Selagi Tobio dan Shoyo mengobrol dengan penuh semangat dan Kaito, Nanao berdebat dengan Seiya (lagi), samar-samar Kenma mendengar ada suara tangisan dari luar. Ia lalu bergegas ke ruang tamu, ah, ada orang tuanya teman-teman yang menyadari kehadirannya dan melambai gembira sambil mengucapkan selamat ulang tahun padanya.

Kenma membalas pelan dan fokus pada Tsutomu yang menangis, sedang dimarahin oleh mamanya.

“HUAAAAAAAAAAAAA”

“Dek! Liat Mama ini, ya! Sepatunya dilepas, terus ditaruh yang rapi ke rak! Nah, ga susah, kan?? Habis itu udah! Boleh main di dalam!”

Kenjiro memberi contoh tata cara melepas sepatu dan merapikannya sebelum benar-benar memasuki rumah. Sepertinya tadi Tsutomu terlalu bersemangat seperti Tobio tadi, tapi malah meledak saat aksinya dihentikan.

“Tuh, ditungguin Kenma!” Eita menunjuk Kenma yang diam memperhatikan drama tersebut. “Tadi Dedek katanya mau hepi besdey yang hepi buat Kenma?”

“Hueheuehehuhukuhuk”

Tsutomu menangis sampai batuk-batuk tapi juga menurut mesti dengan setengah hati.

Kenma jadi sedih melihat temannya sedih. Tetsurou yang sejak tadi juga memperhatikan, lalu berlutut dan berbisik ke Kenma, “Diajak coba, temennya?”

“Cutomu, ayo kita main!” ajak Kenma.

“Huhuuu Kengma hepi besdey!!!” Tsutomu menangis sambil mengulurkan kadonya.

“Lho, nangisnya berhenti dulu, baru hepi besdey,” kekeh Kenjiro, tidak tega juga tapi Tsutomu memang belakangan sangat menguji kesabaran mereka.

“Makasih, Cutomu!” Kenma tersenyum dan menggandeng Tsutomu yang masih sesenggukan. “Ayo kita mai—”

“WAH CUTOMU UDAH DATENG!!!” Shoyo menyusul mereka dan melompat gembira. “UDAH DATANG SEMUA!!! WAKTUNYA MAKAN KUE, YA???”

“YEAAAAAAYYYYY!!!!”

Di balik bocah-bocah yang bersorak menanti kue, ada orang tua mereka yang bergidik horor.

“Kenma?”

Tetsurou berhenti memasang dekorasi saat melihat Kenma memasuki playroom dengan muka yang terlihat sedih.

“Kenapa, Sayang?” tanya Tetsurou sambil berjongkok sejajar dengan tinggi Kenma. “Udah lihat kue yang disiapin Mama?”

Kenma merengut, dia seperti tidak mau bicara tapi tetap mengangguk mengiyakan.

“Cantik ga dekorasinya? Kenma mau dekor juga?”

“Papa...”

“Iya?”

“Papa, Kenma ga mau party.”

“Eh??”

Tetsurou terkejut karena selama seminggu ini Kenma bilang mau mengundang teman-temannya datang ke playroom di hari ulang tahunnya. Bahkan dia juga tidak masalah saat diingatkan kalau “mengundang tetangga terutama trio setan = bakal berisik”.

“Kenapa tiba-tiba ga mau, Kenma?” tanya Tetsurou.

Kei yang baru selesai di dapur, masuk ke playroom dan terkejut juga mendengarnya.

“Nanti sebelum party, boleh kasih tau temen-temen supaya ga ribut main dan fokusnya sama Kenma aja, kok,” ucap Kei.

Kenma menggeleng, sepertinya bukan itu yang sedang dipermasalahkannya. Tetsurou dan Kei saling berpandangan, bingung mau mengatakan apa untuk membujuk anaknya.

Pertama dan terakhir kali Kenma merayakan ulang tahunnya saat usia 2 tahun, lalu tahun-tahun selanjutnya diisi dengan Kenma yang sakit dan mereka yang menggantinya dengan liburan ke luar negeri.

Jadi saat Kenma yang pendiam dan pemalu sendiri yang bilang “mau ulang tahun dengan teman-teman”, tentu saja mereka senang menyiapkannya.

“Kenma hari ini seneng, ngga?” Tetsurou menanyakan lagi.

“Seneng!” sahut Kenma.

“Terus apa yang bikin Kenma tiba-tiba ngga seneng?”

“Um...”

“Bilang aja, Sayang,” ucap Kei sembari menyisir rambut Kenma dengan jarinya. “Papa-Mama ga bakal marah, kok. Apa yang bikin Kenma bisa seneng lagi?”

“Iya, kita berharap ini jadi hari yang spesial buat Kenma,” imbuh Tetsurou.

“Kenma cuma mau main sama temen-temen aja.” Akhirnya Kenma menyuarakan pendapatnya. “Engga mau heboh. Main kaya biasanya sama makan kue aja. Yang penting temen-temen dateng, Kenma udah seneng. Boleh?”

Baik Tetsurou dan Kei sama-sama tersenyum. Tipikal Kenma banget. Jadi menyesal kenapa mereka ga menanyakan detail acara seperti apa yang Kenma inginkan karena saking semangatnya.

Tetsurou merasa sedikit aneh dengan tingkah Kei hari ini. Tidak ada yang salah kok, sebenarnya. Malah dia senang karena Kei kelihatannya memang senang dan mood Kenma juga bagus.

Sebenarnya, Tetsurou sendiri juga bingung mau memberikan hadiah apa tahun ini. Dia sudah mengamati Kei dengan sangat baik tapi suaminya tidak nampak seperti butuh atau ingin sesuatu selain makanan manis, yang mana belum bisa Tetsurou langsung turuti karena gula darah Kei yang tidak stabil.

Kalau begitu... Boneka? Bantal? Sudah banyak, malah Kei bakal ngomel kalau Tetsurou beli lagi. Ponsel baru? Ah, Kei baru beli minggu kemarin! Jaket? Hmm... Tetsurou sebenarnya juga ingin membelikan yang sekalian kembaran satu keluarga. Tapi kan, berarti bukan spesial buat Kei, dong?

Jadilah mereka sekarang jalan-jalan selagi Tetsurou mencari ide. Sudah lama mereka tidak pergi ke mall dan Kei sendiri yang meminta ke sana. Jadi setelah makan malam dengan ikan bakar kesukaan Tetsurou, mereka langsung ke arcade setelah tadi Kenma bercerita kalau Yuki dan Kousuke dapat boneka hasil perjuangan Kenji yang mengumpulkan tiket selama satu tahun.

“Pukul, Tetsu!!! Itu, itu, itu!!! Depan! Kanan! Depan!!!” Kei berseru gregetan Tetsurou terlalu lambat memukul tikus-tikus yang bermunculan dengan cepat dari dalam lubang.

“Yaaahhh” Kenma mengutarakan kekecewaannya atas betapa payahnya sang Papa saat permainan berakhir.

Ya... Tetsurou payah dalam permainan anak muda meskipun dia juga pernah muda. Dia saja kalah dari Kei yang berhasil memenangkan beberapa permainan seperti basket dan tembak-tembakan tanpa terlalu berusaha. Bahkan dalam waktu singkat, mereka sudah mendapatkan hampir ratusan tiket.

“Kenma mau tukar sekarang atau simpan dulu?” tanya Kei pada Kenma yang berusaha mengumpulkan tiket mereka yang berhamburan di lantai.

Tetsurou duduk di bangku pengunjung sambil menunggui stroller yang beralih fungsi jadi tempat barang dan tas mereka. Ia tersenyum melihat si bocah yang seperti tenggelam dalam tiket dan Kei yang sibuk memperkirakan akan dapat hadiah apa jika semuanya ditukarkan.

Ini kan, hari ulang tahunnya Kei. Tapi kenapa rasanya Kei belum melakukan apapun yang dia inginkan, ya? Maksudnya, kan tadi makan makanan kesukaan Tetsurou. Lalu sekarang mereka pergi bermain karena keinginan Kenma. Seharusnya Tetsurou juga melakukan sesuatu, kan?

Tapi semua pikiran itu langsung buyar saat melihat Kenma menghampirinya sambil membawa boneka bebek yang besarnya hampir sebadan si bocah.

“Wah, akhirnya penghuni rumah ga cuma kucing sama dino,” kekeh Tetsurou sambil mengusak rambut Kenma. “Gimana? Seneng?”

“Seneng,” gumam Kenma singkat, pipi gembulnya merah seperti bebeknya.

“Yang keras dong, kalo ngomong. SENENG!, kaya gitu!”

“Udahlah, Tetsu!” sahut Kei yang juga bergabung dengan mereka. “Yang penting kan, beneran seneng.”

“Kalo kamu?” Tetsurou ganti bertanya. “Seneng?”

“HEY, HEY, HEY!!!”

Belum sempat Kei menjawab, terdengar suara keras yang sangat familiar menginterupsi.

Serempak mereka menoleh ke arah Koutarou yang mendorong troli berisi tas, belanjaan dan bocah oranye, sementara Keiji sedang menelepon tapi juga melambaikan tangan untuk menyapa.

“Eh, bro?!” Tetsurou langsung fist bump sama sahabat sejatinya. “Tumben banget kamu pilang di hari biasa!” Dan kemudian mereka asik merencanakan acara memancing bersama.

“UWAAAHH!!! KENMA!!! KENMA UDAH DAPET BEBEK!!!” Shoyo berseru dengan mata berbinar dari dalam troli. “PAPA—”

“Eits!” Keiji segera menjauhkan lonsel dari telinga dan menahan Shoyo yang sudah mau melompat turun. “Kasih dulu kadonya ke Uncle Kei!”

Kei tertawa kecil melihat Shoyo yang heboh sendiri di dalam troli mencari sesuatu.

“INIII!!!” Shoyo mengulurkan paper bag warna putih kepada Kei. “HEPI BESDEY, UNCLE KEI!!!”

“Pelan-pelan, Nak... Haduhhh...” Keiji lagi-lagi harus menahan Shoyo yang hampir terjungkal keluar troli.

Thank you!, Shoyo!” balas Kei sambil menerimanya. “Wah, Shoyo yang beli ini?”

“Iya, dong!!! Shoyo tadi ketemu boneka boba, terus mau kasih ke Uncle!”

“Lho, lho, lho! Kadonya belum dibuka tapi udah dikasih tau!” kekeh Keiji.

Kenma merengut melihat mamanya sangat bahagia diberi boneka boba. Maaf ya, Shoyo! Tapi kalo mau rebutin mama, Kenma ga akan kasih!

“Mama!” Kenma menarik pelan celana Kei lalu mengulurkan boneka bebeknya yang super besar itu. “Ini buat Mama aja!”

“Eh, kenapa gitu???” Kei bingung tapi juga gemas sendiri melihat alis Kenma yang merengut dan pipinga menggembung. “Kan, itu punyanya Kenma?”

“Buat Papa mana?” tanya Tetsurou, sudah bergabung ke obrolan mereka lagi.

“Engga ada! Papa cupu!”

“Hehhh??!!!”

“NAHHH!!! BERHUBUNG KITA FORMASI LENGKAP—” Koutarou merangkul bahu Keiji. “GIMANA KALO KITA DOUBLE DATE???!!!”

“Gimana?” Tetsurou menanyakan keputusan Kei secara itu hari spesial suaminya.

Kei mengangkat bahu, lalu mengulas senyum.

“Gapapa. Sekalian nostalgia.”

“Kenma rambutnya udah panjang, ya. Hampir sebahu, nih,” ucap Kei, menyisir rambut Kenma ke belakang. “Mau dikuncir?”

Kenma tidak menjawab, sibuk membuka-tutup buku cerita Red Riding Hood yang memiliki pop-up art dan sudah dimainkannya sejak buku itu datang kemarin sore.

“Kenma~” panggil Kei lagi.

”...”

“Kuroo Kenmaaaa”

”....”

“Aduh... Yang namanya Kenma ini di mana, ya? Kok dari tadi dipanggilin ga jawab-jawab?”

”...”

“Ya udah, Mama kuncir rambutnya, ya?”

“No!” Kenma geleng cepet, masih terpukau dengan gambar serigala dan gadis cilik berkerudung merah yang bisa tegak dan tidur sendiri di bukunya.

“Hawanya lagi panas, lho. Lehernya Kenma lagi bruntusan, jadi susah napas kulitnya,” bujuk Kei lagi, lalu merapikan rambut Kenma yang jatuh ke muka. “Tuh, Kenma juga jadi susah baca bukunya gara-gara kehalang rambut.”

“No!”

“Dipotong aja kalo gitu!”

“Sssshhh!!!”

Kei mendesis kesal karena Yuuji, suami sahabat kecilnya yang beberapa menit lalu masih tour di rumahnya, tiba-tiba muncul di ruang bermain dengan menyerukan kata-kata keramat yang berusaha Kei tahan sampai waktu yang tepat. Dan sekarang masih bukanlah waktu yang tepat!

Mata Kenma mendelik, tangan kecilnya menjatuhkan buku ceritanya dengan dramatis dan ia segera bersembunyi di balik Kei saat melihat Yuuji. Tidak lupa Kenma melemparkan tatapan marahnya ke om-om yang sebenarnya sudah berkenalan dengannya satu jam yang lalu.

Memangnya siapa kamu? Kenapa sok akrab sama Kenma dan Mama? Harus lapor Papa!, mungkin itu yang ada di pikiran si bocah saat ini.

Kei menghela nafas, sudah terlanjur. Memang tujuan awalnya kan, memotong rambut Kenma yang sudah panjang itu dengan tujuan supaya anaknya tidak risih. Sebenarnya sudah dari lama ia dan Tetsurou mengajak Kenma ke salon, tapi si kecil yang tidak mau.

Lagipula, Kenma kemarin sempat mau, kok, setelah melihat Shoyo yang dipotong poninya oleh Keij dan mengatakan kalau mau potong rambut asal di rumah saja.

“Dipotong sedikit aja,” bujuk Kei lagi. “Engga bakal sakit atau kena kulit, kok. Uncle Teru yang potongin di sini. Jadi kita engga kemana-mana, kok.”

“Nooo!!!” Kan. Kumat reognya. “Nanti rambut Kenma kaya Tora!”

Aduh. Kei juga tidak bisa membayangkan anaknya beneran mohawk begitu.

“Ya udah mau kaya rambut Uncle, ga?” tanya Yuuji sambil menyugar rambutnya ke belakang dengan sok keren.

Wah, Kenma makin menggeleng ngeri.

“Dipotong kaya Mama? Atau Papa? Atau Shoyo?”

“No, no, no!!!”

Kenma memeluk Kei makin erat, tanda bahwa dia takkan mau pergi kemanapun dan Mama tidak akan bisa melakukan apapun.

Kei sendiri hampir kehabisan ide, dia jadi mulai kepanasan karena sekarang jadi ketindihan Kenma.

“Mama juga mau potong rambut, kok,” ucap Kei sembari tersenyum, yang membuat Kenma mendongak dan menatap mamanya dengan tatapan, masa, sih?

“Eh???” Malah Yuuji yang kaget. “Eh, eh, eh, beneran ini??? Nanti aku yang dimarahin Kuroo! Tadashi juga bakalan ngambek!”

“Beneran, lah,” sahut Kei. “Ngapain Tadashi ikutan ngambek segala?”

“Kan, orang-orang suka ponimu!”

“Ya, gapapa.”

“GAPAPA APANYA???!!! WOOYYY-”

Entah mengapa setelah perdebatan antara Yuuji dan Kei, akhirnya Kenma juga mau potong rambut.