chuurreal

Di hari ke-4 setelah tiba di Osaka, tabungan ibu sudah mulai menipis.

Awalnya aku mengira aku dapat membelanjakan keperluan kami dengan baik, tetapi kami butuh bantal dan selimut lebih karena yang disediakan kamar ini terlalu berdebu dan aku harus mencucinya dulu, obat alergi untuk Tsumu yang tertinggal di Hyogo (yang mana tidak murah karena kami juga meninggalkan kartu kesehatan kami di sana), dan pakaian hangat karena si bodoh itu lebih mementingkan buku pelajarannya.

Aku tidak tahu bagaimana bisa ibu mengatur pengeluarannya dengan sangat baik di saat ia harus memenuhi kebutuhan kami yang tak sedikit serta membayar hutang.

Dan aku tidak tahu bahwa tanpa ibu, aku menjadi seboros ini.

“Samu, aku ingin es krim,” ucap Tsumu dengan suara parau sembari menggosok hidungnya yang basah.

“Sudah kubilang, tidak ada es krim sampai kau sembuh,” balasku kesal, mengambil tisu dan memencet hidungnya yang mana ia langsung menanggapi dengan membuang ingusnya dengan keras di sana.

Pilek Tsumu semakin parah, penghangat di ruangan kami baru selesai diperbaiki kemarin tetapi tentu itu tak membuatnya langsung sembuh. Aku sendiri juga merasa kepalaku semakin berat dan tenggorokanku kering setiap harinya. Kalau aku juga ikut sakit, maka bulan ini kami terpaksa harus makan bubur setiap hari.

Kalaupun aku sakit, aku tetap harus melakukan sesuatu. Apa yang akan ibu lakukan?

Bekerja.

Ya, itu satu-satunya cara agar kami tetap dapat makan nasi dan punya tempat untuk tidur seperti sekarang. Bibi onigiri selalu memberikan kami nasi gratis, tapi aku tidak yakin kami akan mendapatkan kemurahan itu selamanya.

Setelah beres dengan ingusnya, Tsumu membungkus kembali tubuhnya dengan selimut dan mencoret-coret bukunya dengan asal. Aku memperhatikannya sambil memakai satu-satunya pakaian formal yang kubawa; seragamku. Kudengar sangat mudah bagi pelajar untuk mendapatkan pekerjaan paruh waktu, jadi mungkin saja aku bisa mendapatkan 3 dalam sehari (jika aku tidak salah membagi waktu).

Masalahnya, apa tidak apa-apa jika aku meninggalkannya dengan keadaan seperti ini? Tidak mungkin aku membiarkannya ikut meskipun ia bersikeras mengikutiku kemanapun. Hanya aku yang bisa ia andalkan saat ini, tapi kalau aku tidak pergi...

Bibi onigiri sudah pergi menjajakan dagangannya dan aku tidak mengenal tetangga kamar yang lain, karena lagipula, mereka semua adalah pelajar yang sibuk dan tidak sepertiku yang putus sekolah seperti ini.

Ini bukan saatnya berkabung. Demi kehidupan yang kuharap lebih baik, aku harus membuang kenangan dan egoku sendiri.

Kepalaku semakin sakit saja rasanya memikirkan semua ini sendirian. Ternyata begini rasanya jadi ibu. Apakah selama ini ibu juga memiliki tempat bercerita? Pernahkah ibu merasa 'senang' sebentar saja di waktu luangnya yang tersita hampir seluruhnya?

“Oh, Samu mau pergi ke sekolah???”

Aku tersadar dari lamunanku. Tsumu sudah kembali duduk, mata berairnya terlihat begitu senang saat menyadari aku sudah memakai kemeja putih dan celana abu-abuku. Ia selalu terlihat sesenang itu melihatku memakai seragam, membangunkanku agar kami bisa sarapan bersama dan mengikutiku sampai depan pintu yang mana aku langsung menendangnya masuk karena tidak ingin diikuti. Sering kali sepulang sekolah, aku melihatnya bercerita dengan senangnya kepada nenek Kita bahwa aku bersekolah di tempat impianku seolah itu juga adalah salah satu keinginan terbesarya.

Sekarang, ia masih nampak bersemangat seperti dulu.

“Jangan melupakan jasmu!” imbuhnya.

“Oh... Iya...”

Aku dengan canggung mengambil jas coklatku yang tergantung di pintu lemari, lalu memakainya sebelum memberi lapisan berupa mantel. Sama sekali tak punya hati untuk memberitahunya bahwa aku tak lagi menjadi saudara yang dibanggakannya.

“Hati-hati di jalan, Samu!” Ia melambai dengan tisu yang tersumpal pada sebelah lubang hidungnya. “Semoga Samu mendapatkan teman-teman yang menyenangkan!”

“Iya,” jawabku singkat, lalu memberi serangkaian pesan padanya. “Jangan nakal dan merepotkan orang lain. Kalau hidungmu terasa gatal dan penuh, langsung buang ingus. Pakai tisu! Lalu buang ke tempat sampah! Jangan lupa untuk rajin minum air putih! Dua jam lagi kau harus makan lalu minum obat yang tadi pagi-“

“Lagi???” selanya penuh kekecewaan akan fakta kalau ia harus menelan butiran obat dan bukannya sirup yang manis.

“Tentu saja, bodoh! Tulisannya diminum 3 kali sehari!”

“Argh, aku tidak suka!”

“Kau mau sembuh atau kupukul?!”

Barulah 15 menit yang penuh dengan perdebatan (yang berakhir karena aku berjanji akan membelikannya taiyaki sepulang nanti dan ia langsung mengiyakan perintahku), aku berhasil keluar dari kamar dan menutup pintunya erat.


Tidak sesuai dugaanku, mencari pekerjaan ternyata sulit. Kupikir aku akan mendapatkan setidaknya satu saja dengan modal belas kasihan. Banyak toko yang kulewati mempekerjakan orang-orang yang lebih besar dan karena merasa sudah cukup dengan itu, para tuan sepertinya tidak ingin mengeluarkan biaya lagi untuk membayarku.

Menjelang sore hari, aku sadar bahwa aku berjalan sangat jauh hingga sampai di dekat pantai. Aku memutuskan untuk duduk di sebuah bangku panjang depan toko kelontong dengan sekotak susu yang baru kubeli. Perjalanan hari ini tidak membuahkan hasil, tetapi aku tak boleh menyerah. Osaka sangat luas dan belum semuanya kujelajahi.

Sambil menikmati susu yang mengalir ke perutku, mataku tak sengaja jatuh tepat terhadap sekumpulan pelajar yang berlarian melewatiku, melepas sepatu mereka, kemudian saling mengejar ke pantai hingga kaki telanjang mereka dipenuhi oleh pasir, tertawa bahagia dan ikut maju mundur mengikuti ombak yang berdatangan.

Mereka terlihat bahagia.

Bukankah, seharusnya aku juga menjadi salah satu di antara mereka?

Kenapa aku di sini?

Apa yang sebenarnya kulakukan?

“Jam segini, Kita-san pasti sudah membuka kunci ruang ganti voli,” gumamku pada diri sendiri. “Lalu Suna, Gin, dan Kosaku sudah menyiapkan sepatu mereka.”

Pemandangan akan para pelajar sebayaku yang bermain di pantai tertutupi oleh seorang kakek yang kepayahan menarik kereta kayu berisikan muatan perahu yang berlabuh di pantai. Aku buru-buru bangkit dan berlari, menahan gerobaknya yang hampir kembali mundur karena pria yang mungkin berusia 60-an itu tidak sanggup menariknya.

“Ah, terima kasih anak muda!” ucap kakek itu sambil kami bersama membawa muatan tersebut ke depan toko kelontong tempatku singgah yang ternyata juga dikelolanya. “Tangkapanku hari ini sangat banyak. Syukurlah! Dewi rupanya memang berpihak padaku!”

Aku hanya mengangguk dan melihat nenek toko rupanya sudah keluar untuk membuka kotak-kotak foam yang berada di luar. Rupanya mereka pengusaha ikan juga. Sepertinya bisnis mereka memang banyak dan berusia lanjut seperti ini mungkin akan membuat mereka kewalahan. Tampaknya merek sepasang orang tua yang baik dan tidak suka memerintah. Mendadak aku merasa percaya diri akan kesempatan yang bisa saja kudapat hari ini.

“Aku sudah bilang untuk tidak membawa semuanya sendiri!” omel nenek kepada sang suami. “Kau mau punggungmu patah dan tidak bisa ke laut lagi?”

“Dan buktinya aku masih sehat, kan? Pekerja yang kusewa beberapa hari lalu itu kasar, aku tidak suka,” balas kakek seraya terkekeh, lalu menepuk bahuku secara tiba-tiba. “Untung saja ada anak baik hati ini yang membantuku. Siapa namamu, Nak?”

“Miya Osamu,” jawabku.

“Ah, Osamu-kun. Terima kasih sudah membantu suamiku yang keras kepala ini.” Nenek tersenyum menimpali dan memberikan sekotak susu lagi padaku.

“Omong-omong…” Aku bertanya sembari menatap mereka. “Apakah kalian mungkin membutuhkan seorang asisten? Saya bisa melakukan pekerjaan kasar.”

“Aduh, kalau masih sekolah…” Kakek menelitiku dari atas ke bawah. “Nak, kau seharusnya bermain dengan teman-temanmu, kan?”

“Benar,” sahut nenek, balas menatapku seperti aku ini adalah cucunya yang jarang pulang dan sekalinya datang harus selalu dimanjakan. “Kami yang tidak tega melihatmu mengangkat beban berat. Lebih baik kami cari orang dewasa lagi.”

Jawaban mereka membuatku ingin menangis. Aku membungkuk dalam hingga keduanya terkesiap, tidak menyangka aku yang berpakaian seragam bagus, akan memohon sampai seperti ini demi mendapatkan sepeser uang.

“Saya sangat membutuhkan uang lebih,” ucapku, menahan air mataku yang nyaris keluar. Sesak sekali harus merendah seperti ini. “Saudara saya berkebutuhan khusus dan saya bertanggung jawab akan dia sepenuhnya.”

“Osamu-kun…”

“Saya- Janji tidak akan merepotkan! Saya janji akan bekerja sekeras mungkin agar tidak mengecewakan kalian!”

Dan atas beberapa pertimbangan (serta belas kasihan), aku berhasil mendapatkan pekerjaan itu. Aku tidak tahu keputusan yang kuambil ini benar atau tidak karena kakek nelayan memintaku untuk datang besok subuh sedangkan aku, yang baru mempelajari tata letak Osaka, baru sampai ke kamar sewaan kami di malam hari.

Aku berlari dan tidak sempat menyapa bibi onigiri yang menawarkan dagangannya padaku, melompati beberapa anak tangga dan membuka pintu kamar kami dengan kekuatan berlebih. Tidak ada siapapun atau sesuatu mencurigakan selain sepiring onigiri yang salah satunya sudah digigit setengah dan buntalan selimut di atas futon.

“Tsumu!”

Tsumu rupanya sudah tertidur dan ia langsung terlonjak karena aku mengguncang buntalan selimut yang membungkus tubuhnya. Aku membuang napas lega karena mengiranya pingsan, bungkusan obat yang sudah disobek tercecer di sebelah kepala, menandakan ia meminum obatnya dengan benar.

“Hah? Ada apa??? Oh, Samu…” Tsumu membalas dengan wajah mengantuknya, lalu menguap. “Hoaaamm… Selamat datang, Samu… Kau habis main di pantai dengan teman barumu? Kau bau ikan…”

Oh, bagus. Suaranya sudah tidak sejelek tadi dan penciumannya mulai berfungsi kembali.

“Senangnya Samu kembali bersekolah…” Tsumu kembali berbaring dan tersenyum dalam melanjutkan tidurnya. “Aku senang… Samu sekolah…”

Ia senang.

Berarti aku tidak membuat keputusan yang salah.

Bertahanlah, Tsumu. Kita pasti akan terbiasa dengan kehidupan ini.

Aku pasti akan terbiasa.

Miya Atsumu sering kali dikatakan 'sedikit tidak pintar' dibandingkan Miya Osamu, yaitu aku. Tetapi sebagai keluarganya, aku mengakui bahwa ia adalah anak paling pekerja keras yang tidak akan pernah mereka temui di luar sana.

Aku sendiri tidak mengerti mengapa orang-orang berkata aku lebih pintar dibandingkan Tsumu, padahal aku tidak pernah merasa begitu. Tsumu sangat suka belajar. Ia suka mengoceh tentang hal-hal yang baru dipelajarinya, contoh: “Kau tahu, Samu? Di luar angkasa sangatlah sunyi. Mungkin aku bisa memanggilmu dari bulan!” atau “Kau tahu, Samu? Kita bisa melihat komet Halley setelah menjadi kakek!” dan masih banyak lagi.

Meski ia sering mengatakan bahwa astronomi sangatlah susah dan lebih milih mengarungi langit di bawah atmosfer, ia sungguh tertarik dengan luar angkasa. Pengetahuannya serta kemampuannya untuk memahami semua itu dari berbagai sumberlah yang membuatku merasa, ia sebenarnya jauh lebih pintar dariku.

“Samu, kau mungkin harus sedikit melihat ke depan! Jalan tidak semuanya berlubang!” Ia yang mengajariku cara menaiki sepeda roda dua dengan terus memegangiku dari belakang.

“Samu, kau bisa membuat pesawat kertas dengan berbagai cara!” Ia yang pertama kali mengajariku menggunakan metode lebih sederhana saat aku lelah menerbangkan pesawatku yang selalu gagal.

“Samu, kau tidak harus mengisi rotimu dengan krim!” Ia yang pertama kali memberiku roti dengan isian yakisoba dan walau ibu berdecak heran dibuatnya, aku ternyata juga menyukai rasa baru itu.

“Samu, kau tahu kan, kau selalu bisa menerima bola dengan kesepuluh jarimu?” Ia yang pada dasarnya tertarik dengan segala hal, mengajariku yang takut bol mengenai wajahku saat pelajaran olahraga.

Tsumu selalu mengenalkanku pada hal baru dan tidak pernah gagal membuatku menyukai apa yang ia sukai. Naik sepeda, membuat pesawat kertas, mencoba makanan aneh, dan bermain voli tidak lagi terasa menakutkan karenanya. Seperti ia selalu ingin aku berada di dunianya.

Dia adalah kakak yang sangat kubanggakan dulunya. Saat orang-orang meremehkannya, aku selalu tidak terima meski tidak pernah benar-benar membelanya di depan muka. Pernah sekali aku dipanggil kepala sekolah dan ibu benar-benar marah karena aku memukul anak yang merobek pesawat kertas Tsumu.

Sejak ayah menghantam kepala dan tengkuk Tsumu dengan balok kayu, aku berhenti bangga kepada kakakku.

Padahal, Tsumu mungkin satu-satunya anak berusia 15 tahun yang bekerja jauh lebih keras untuk menulis namanya sendiri di saat anak usia 3 tahun lainnya lebih memilih makan semangka dan berbaring di depan kipas angin.

“Samu, kau tidak ingin berbaring?”

Aku terlepas dari kenangan yang tiba-tiba saja memasuki benakku. Tsumu sudah berbaring dengan senyum lebar di atas futon yang baru saja kukebas debunya. Hidungnya merah dan suaranya serak, belum lagi ia yang terus buang ingus. Bisa gawat jika ia sakit karena kami harus benar-benar menghemat uang setelah mengeluarkan uang 5 ribu yen untuk kamar ini.

Bibi onigiri menyambut kami dengan ramah, walau sempat menanyakan hal-hal seperti kenapa anak di bawah umur seperti kami datang dengan banyak uang kertas lecek dan tas besar. Aku terpaksa berbohong dengan mengatakan ingin berlibur di Osaka dan untung saja ia tak menyampaikan kecurigaannya lebih lanjut.

Kamar yang sangat sederhana memang. Ada dua futon yang besarnya memenuhi lebih dari separuh ruangani ini (dan aku bersyukur mereka memiliki selimut yang sangat tebal pula karena penghangat kamar rusak dan bibi belum memanggil tukang servis, perabot dapur, lemari dan sebuah meja lipat sementara kamar mandi berada di lantai bawah untuk dipakai bersama.

Sejak ibu tidak ada, nenek Kita selalu membawakan kami lauk dan sayur. Kadang juga beras dan bahan mentah untuk persediaan. Tapi untuk saat ini, aku belum tahu harus belanja di mana, bertahan sampai kapan bahan-bahan itu, jadi yang bisa kupikirkan adalah: beberapa hari ke depan kami akan makan mi instan.

“Samuuu!~”

Nada Tsumu terdengar merengek, ia sangat suka menggangguku yang sedang melamun. Gayanya seperti ingin main denganku meski aku baru saja memukulnya karena isi tasnya kebanyakan adalah buku tidak penting dan bukannya pakaian, membuatku suatu saat harus berbagi pakaianku lagi dengannya. Aku heran, apa dia memang tidak pernah memiliki rasa benci padaku? Bagaimana bisa ia masih mempedulikan bajingan yang terkapar di rumah kami?

Aku masih diam. Kepalaku sangat sakit. Suasana yang hening saat ini membuatku ikut merasakan bahwa perutku sangat pedih. Aku tidak boleh sakit. Sekali lagi berharap bahwa pikiran seperti itu dapat membuat kami tetap sehat agar dapat bertahan hidup di kota yang hany berjarak beberapa kilometer dari rumah kami.

“Samu, apa kau tidak suka tidur denganku?” Tsumu menyuarakan isi kepalanya lagi. “Aku bisa tidur di luar!”

“Jangan bodoh,” ujarku seraya duduk lebih dekat dengannya dan menatapnya lurus. “Dengarkan aku, Tsumu.”

“Samu, kenapa kita tidak pulang?”

“Dengarkan aku dulu!”

Aku memegangi pundaknya dan memaksanya untuk duduk, berusaha semampuku untuk berkata-kata seperti yang biasa ibu lakukan. Tsumu mungkin masih terlambat 10 tahun darimu, karena itu cobalah mengerti keadaannya. Keterangan yang sudah sangat jelas itu selalu ibu utarakan tiap kali aku kesal pada Tsumu.

Nyatanya, aku tidak akan pernah sesabar ibu. Sabar adalah sesuatu yang tidak bisa semua manusia lakukan. Tetapi setidaknya untuk saat ini, aku ingin mencobanya.

“Ini rumah kita, Tsumu,” ucapku, masih menatap matanya yang nampak berkaca-kaca entah karena mengantuk, flu, atau ingin menangis. “Sekarang kita tinggal di sini.”

“Selamanya???”

“Aku tidak tahu-”

“Tapi bagaimana dengan nenek Kita??? Dan Shin-chan??? Dan teman-teman Samu???”

Aku tanpa sadar menggigit bibir saat satu per satu orang penting dalam hidupku – dan Tsumu – disebut satu per satu. Aku meninggalkan mereka tanpa sempat berpamitan, meminta maaf maupun mengucapkan terima kasih. Orang-orang yang memanusiakan kami itu mungkin sekarang sudah berpikir bahwa kami adalah kriminal.

“Kita akan mengunjungi mereka kapan-kapan.” Mataku memanas, tapi sebisa mungkin aku tidak ingin membuat Tsumu menangis karena itu sangat merepotkan. “Karena kita tinggal di tempat baru, bersikaplah dengan baik. Kau... Bisa melakukannya, kan?”

Tsumu tidak menjawab. Ia menunduk dan bahunya bergetar, mungkin sebenarnya ia mampu merenungkan hal seperti ini.

“Kau bisa kan, menurut padaku?” tanyaku lagi sembari mengguncang tubuhnya, mendesaknya untuk mengiyakan karena sedikit saja aku mungkin bisa gila. “Bisa kan, melupakan yang terjadi kemarin? K-kau pasti bisa melakukannya, kan?”

“Apa kita jahat, Samu?” Ia mendongak dengan ekspresi sedihnya. “Kita meninggalkan ayah-”

“Dia tidak menyayangi kita, Tsumu! Kau jadi begini itu karenanya!” bentakku. “Sudah kubilang, kau jangan peduli padanya! Kalau kau memang mau tinggal denganku, maka lakukan apa yang kukatakan!”

Aku menghembuskan nafas panjang, menariknya kembali, lalu kembali menghembuskannya demi kestabilan emosiku saat ini. Tsumu terlambat 10 tahun, kata ibu. Tsumu terlambat 10 tahun. Tsumu terlambat 10 tahun. Aku terus merapalkannya dalam hati dan tidak mewajarkan diriku yang meledak barusan.

“Keadaan sudah berubah, Tsumu,” ucapku sedikit lebih tenang. “Kita tidak bisa membalas kejahatan dengan kebaikan. Saat ini, Tsumu hanya punya Samu.”

“Tsumu hanya punya Samu...” Ia mengulang dengan pelan.

“Karena itu, aku memintamu, jangan pernah peduli dengan orang jahat. Lawanlah mereka dengan seluruh kekuatanmu sekalipun itu terasa salah. Aku tahu ibu meminta kita untuk selalu memaafkan, tapi dunia ini terlalu jahat untukmu, Tsumu. Pikirkan tentang bagaimana ibu yang ingin kita saling menjaga dan ini adalah caraku agar kita bisa tetap selamat. Mengerti?”

“Samu...”

“Apa?”

“Apa hanya Tsumu yang Samu miliki?”

Nafasku tercekat. Materipun tidak cukup, orang-orang yang kusayangi juga sudah tidak ada. Aku tidak bisa terus terbayang dengan apa yang ada di belakangku. Semuanya baru terjadi kemarin tapi rasanya sudah seperti bertahun-tahun aku menderita tanpa mereka.

“Aku hanya punya Tsumu,” jawabku.

“Apa Samu akan bahagia meski hanya punya Tsumu?”

Entahlah. Aku belum memikirkannya. Bahagia adalah kata yang besar dan tidak kuketahui dengan pasti kebenaranya. Aku tidak tahu apakah aku bahagia saat naik sepeda untuk pertama kali. Aku tidak tahu apakah aku bahagia sebelum ayah memukul Tsumu dan membuatnya kembali mengulang pertumbuhannya. Aku tidak tahu apakah aku bahagia saat masuk SMA dan bertemu teman-teman yang menyenangkan. Aku sungguh tidak tahu.

“Iya.”

Satu kata meluncur dari mulutku setelah beberapa detik Tsumu menanyakannya.

Ia memprosesnya sejenak, lalu tersenyum dan menimpali, “Asal Samu bahagia, jadi orang jahat tidak masalah!”

Di usia 10 tahun, Tsumu memulai semuanya dari awal.

Belajar menggerakkan anggota tubuhnya, berbicara, memegang sumpit guna menyuapkan makanan ke mulutnya sendiri, berjalan, dan semua hal-hal yang dilakukan oleh bayi yang sedang bertumbuh.

Ibu sangat menderita, tetapi ia membantu Tsumu dengan penuh kasih sayang. Meladeni nakal dan rewelnya di saat anak SMP seharusnya sudah lebih dari mampu untuk mengontrol ego mereka. Bersorak paling kencang saat Tsumu berhasil menopang tubuh dengan kedua kaki tanpa berpegangan pada tembok ataupun tongkat kruk. Tidak peduli berapa banyak mangkuk yang pecah dan sumpit yang melayang ke kepala ibu, beliau akan selalu menganggap Tsumu seperti balitanya.

Perhatian ibu padaku menjadi terkikis hampir seluruhnya. Kami tidak sempat mengobrol lebih jauh tentang diriku. Akupun tidak perlu tahu apa yang terjadi di rumah karena hari-hari ibu selalu diisi dengan bekerja sambil merawat Tsumu. Aku menandatangani sendiri surat-surat dari sekolah yang membutuhkan persetujuan orang tua, mencuci pakaian dan piring makanku sendiri, dan membersihkan kamar kami berdua yang terkadang bau ompol kakak kembarku yang tidak bisa apa-apa itu.

Aku sering menyalahkan sikap dinginku kepada ibu. Beliau juga ingin tahu bagaimana hari-hariku di sekolah. Apakah aku mengikuti ekskul yang kusenangi? Apakah pelajarannya sulit? Apakah aku memiliki banyak teman? Kujawab semua pertanyaan sama yang diajukannya tiap makan malam dengan jawaban yang serupa pula. Ya. Ya. Tidak juga. Kadang bervariasi, tergantung suasana hatiku saat itu.

Ibu sangat menderita, tetapi ia selalu memastikanku membawa buku-buku pelajaranku dengan lengkap. Merapikan kembali seragam voliku ketika aku berniat membuangnya setelah kekalahan yang kebanyakan disebabkan oleh diriku yang kurang fokus. Membuatkan onigiri favoritku dengan harapan perasaanku menjadi lebih baik tiap kali aku bertengkar dengan Tsumu. Walau ibu tidak pernah datang di pertandingan voli, acara Hari Ibu, hingga kelulusan, aku tetap menyayanginya.

Mungkin kalau aku sedikit meredam egoku dengan lebih bersabar pada Tsumu, aku bisa membuat ibu bahagia. Mungkin ibu bisa mati dengan lebih tenang dan bukan terkuras mentalnya karena kami berdua. Mungkin kalau aku dan Tsumu menjadi anak yang baik...

Tidak. Kami takkan bisa menjadi anak yang baik. Tidak bagi ibu, ataupun nenek Kita.

Suara berisik peralatan masak yang beradu membuatku duduk tegak dengan mata terbelalak. Aku tidak tahu apakah aku benar-benar tidur semalaman karena terlalu banyak hal yang ada di kepalaku dan tidak tahu harus fokus memikirkan yang mana dulu. Aku menoleh ke samping, Tsumu masih tidur pulas dengan liur dan ingus yang menetes.

Saat ini kami sedang berada di Osaka, tepatnya di rumah kakak tertua ibu, paman Riseki. Kami datang malam-malam tanpa pemberitahuan dan tidak heran jika kami harus tidur di ruang tamu karena kamar lebih yang mereka punya sudah dialokasikan menjadi gudang.

Sepupu kami, Heisuke, masih duduk di bangku kelas 3 SMP. Ia sangat ceria dan menyambut kami dengan senang, menanyakan banyak hal mengenai Hyogo dan aku berusaha sangat keras agar Tsumu tetap diam sementara aku yang akan menjawabnya. Tidak mungkin kami menceritakan apa yang terjadi, bukan?

Heisuke juga memiliki kesukaan yang sama denganku, bermain voli. Malah dia berkata , Aku bermain voli karena kalian dan itu menumbuhkan kembali kenangan lama yang sudah terkubur jauh dalam ingatanku. Aku dan Tsumu dulunya memang sering bermain bersama, tentu sebelum insiden yang melumpuhkannya terjadi.

“Selamat siang!” sapa bibi Riseki saat melihatku menghampirinya di dapur. “Kau tidur dengan baik. Paman sudah berangkat kerja, Heisuke juga pergi sangat pagi untuk latihan dan sekolah. Anak itu berjuang sangat keras untuk bisa masuk ke Inarizaki sepertimu, kau tahu?”

“Oh, begitu...” Perutku keroncongan. Katsu yang baru digoreng itu terlihat sangat enak. “Aku cuci muka dulu.”

Sampai sekarang aku masih tidak tahu bagaimana menerangkan situasi kami kepada keluarga Heisuke. Mereka tidak terlihat curiga sama sekali, yang mana adalah hal bagus.

Kami kabur setelah membunuh ayah, sama sekali bukan kata pengantar yang baik.

Kami cuma ingin main, nah, kalau seperti itu berarti hari ini kami harus pulang (mencari tempat lain untuk bermalam karena rumahpun kami tidak punya).

Aku menatap wajahku yang sama sekali tidak bisa dibilang segar meski telah kubilas dengan busa dan air dingin. Garis hitam menghiasi bagian bawah mataku. Aku sungguh tampak mengerikan dan tidak seperti Tsumu, dia tidak terlihat seperti memikirkan bahwa dirinya baru saja melakukan hal kriminal kepada orang tua sendiri.

Saat aku keluar dari kamar mandi, samar-samar aku mendengar bibi Reisuke mengobrol dengan Tsumu. Oh, dia sudah bangun dan langsung makan. Hebat sekali.

“Atsumu sekarang tidak sekolah, ya?”

“Uhm... Harusnya aku kelas 1 dengan Samu! Tapi aku masih belajar supaya bisa sekelas dengannya!”

“Di Inarizaki? Haha, itu tidak mungkin!”

Aku menghentikan kakiku. Jarak dengan dapur hanyalah beberapa langkah, tapi tidak ada satupun dari mereka berdua yang menyadariku menguping pembicaraan mereka.

“Kenapa tidak mungkin?” Tsumu terlihat kebingungan, meski ia tetap tersenyum lebar penuh optimis. Seolah ia tak tahu apa arti direndahkan. “Aku dan Samu seumuran, tentu saja kami akan sekelas.”

“Atsumu, Inarizaki itu kan, isinya orang-orang yang berkualitas. Mau kau berjuang sekeras apapun, paling-paling kau akan dimasukkan kelas khusus, bukankah begitu?”

“Oh...” Bibir Tsumu mengerucut, pipinya masih penuh dengan ebi furai, lalu kembali memasang wajah ceria. “Tidak apa-apa! Di rumah aku masih belajar dengan Samu, kok!”

“Ah, iya... Rumah memang tempat yang cocok untukmu belajar. Omong-omong soal itu, kalian tidak khawatir rumah ibu akan berdebu karena ditinggalkan lama-lama? Ibu kalian kan-”

Aku tidak tahan lagi. Berusaha untuk menyembunyikan tanganku yang terkepal, aku menggunakan tangan yang satu lagi untuk menarik Tsumu yang hendak mencomot sepotong gorengan lagi.

“Kami pulang sekarang,” ujarku dan kuharap aku sama sekali tak terdengar seperti akan mengumpat. “Tsumu, pakai mantel dan syalmu!”

“Samu tidak makan dulu?” tanya Tsumu dengan polosnya, heran melihatku yang sudah berkemas lagi. “Bibi membuat katsu yang enak!”

“Atsumu benar!” timpal bibi Riseki dengan senyum yang sangat terlihat palsu di mataku saat ini. “Kau belum makan sejak kemarin sementara saudaramu sudah menghabiskan banyak nasi. Setidaknya isilah perutmu juga.”

“Aku tidak lapar.” Aku mengenakan ranselku, membetulkan syal Tsumu yang menutupi wajahnya, lalu menarik lengannya untuk mengajaknya membungkuk bersama. “Terima kasih untuk tumpangannya. Kami permisi dulu.”

Bibi Riseki masih menahan kami dan memberikan dua lembar uang 1000 yen, entah karena kasihan atau sebagai tanda perpisahan untuk kami tak datang lagi dan Tsumu dengan senang menerimanya.

Aku berjalan tanpa arah, masih memegang Tsumu dengan erat seperti kemarin agar dia tidak hilang dan akhirnya berhenti di sebuah taman saat perutku sudah tidak tahan lagi.

“WOAH!!!”

Tetapi Tsumu yang terlepas dari genggamanku langsung berlari, membuatku yang kelelahan harus mengejarnya yang menepi ke sebuah stall es krim di seberang taman.

“BODOH-”

“Samu! Es krim!” Tsumu memotong pembicaraanku dan menunjuk dengan semangat pada gerobak di depan yang menampilkan berbagai rasa es krim.

“Kita tidak sedang jalan-jalan, Tsumu!” protesku dan bermaksud menariknya lagi.

“Ah, satu saja! Satuuu!!!”

“Tidak!”

“Satuuu!!!”

“Kalian menggemaskan sekali.” Kami berdua menoleh kepada penjual es krim yang kami abaikan sejenak dalam perdebatan. Perempuan dengan rambut dikepang ke belakang itu tersenyum manis ke arahku lalu berkata, “Aku bisa berikan bonus kalau kau mengabulkan permintaan adik kembarmu!”

Kebalikannya malah. Aku, yang harus menuruti permintaan memalukan dari kakak kembarku.

Dan akhirnya kami mendapat dua kerucut es krim; Tsumu dengan rasa vanilla dan stroberi untukku. Ia sangat menikmatinya, aku tahu itu. Mungkin aku memang harus seperti itu juga. Krim manis itu terasa sangat dingin di lidahku dan secara ajaib membuat mataku kembali cerah.

Ah... Es krim pertama kami setelah membunuh ayah.

“Hehe.”

Tsumu tertawa konyol sembari menatapku, membuatku mendengus kesal karena ia telah menjebakku di situasi memalukan ini.

“Puas?” gerutuku. “Lain kali jangan seperti ini! Kita benar-benar harus menghemat uang!”

“Samu akhirnya tersenyum!”

“Hah?”

Ia menunjuk es krim di tanganku yang masih nyaris utuh, sementara miliknya sudah hampir habis.

“Kata nenek Kita, es krim adalah makanan ajaib,” terangnya, masih dengan wajah bodohnya yang terlihat senang. “Samu sangat tegang sejak kemarin. Karena itu aku mengajakmu beli es krim dan benar! Samu tersenyum lagi!”

Oh, ya? Aku sama sekali tidak menyadarinya. Bahkan, aku tak mengingat kapan aku benar-benar tersenyum sampai orang lain harus memberitahuku kalau aku baru saja tersenyum.

Baiklah. Ini bukan hal penting untuk dipikirkan karena... Sekarang kami harus ke mana?

Tsumu terlihat sangat menikmati es krimnya yang sudah habis, bahkan sampai menjilati tangannya yang terkena lelehan krim. Dia pasti berpikir kalau kami sedang jalan-jalan ke Osaka dan akan segera ke stasiun untuk pulang ke rumah kami di mana ada mayat di sana dan mungkin saja sudah dipagari oleh garis kuning polisi.

Mungkin aku bisa mengatakan… Kami adalah buronan sekarang.

“Hey, Samu.”

Kami tidak punya tempat tinggal dan kemanapun itu, kami harus selalu berlari menjauh.

“Samu.”

“Apa?” Aku membalas dengan lemas, kepalaku benar-benar sakit memikirkan semua ini sendiri.

“Samu tidak sekolah?” tanya Tsumu dengan nada polosnya dan alih-alih merasa marah, aku justru bersedih.

“Hari ini libur.” Dan saking sedihnya, aku tidak punya tenaga untuk mengatainya bodoh, memutuskan untuk berbohong seperti bagaimana ibu selalu menutupi semua masalahnya demi menjaga kami.

“Begitu, ya?” Tsumu mengangguk-angguk. “Lalu… Ayah bagaimana? Kita meninggalkannya seperti itu, bukankah seharusnya kita telepon rumah sakit?”

“Ayah sudah tidak bernafas, Tsumu.”

“Ayah… Pergi ke tempat yang lebih baik?”

“Tidak!” sahutku. “Ia pergi jauh ke tempat yang lebih buruk.”

“Kenapa?”

“Karena ia jahat kepada kita.” Aku menerangkan seolah itu hal yang paling buram dan sulit dimengerti oleh anak seusia kami. “Dia tidak pantas kau sebut ‘ayah’. Ia menyakiti kita dan ibu, ia merampas kebahagiaan kita. Karenanya, biarkan saja ia mati seperti itu.”

“Begitu, ya?” Tsumu mengulanginya lagi. “Tapi ibu pernah mengatakan untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan.”

“Sekarang berbeda, Tsumu.”

“Kenapa?”

Aku tidak ingin menjawabnya. Di sela kejenuhanku, mataku menangkap sebuah kedai onigiri yang berada beberapa meter dari tempat kami duduk saat ini. Aku hampir saja terfokus kepada bibi dan anak kecil yang tengah sibuk mengepal onigiri, sampai ekor mataku kembali membawa atensiku kepada palang yang terdapat di atas kedai tersebut.

Sewa kamar untuk pelajar.

“Ayo, Tsumu!”

Sore yang cerah di Bikini Bottom.

Pulang kerja menemani suami cari es krim sambil mengawasi Kenma dan 3 anak kucing kepunyaan orang lain.

Ini pertama kali Tetsurou melihat Kenma berinteraksi dengan teman-teman yang bukan tetangga. Ya... Biasanya dia memang selalu lebih telat menjemput karena harus ke Karasuno dulu, jadi sesampai di sekolah selalu hanya Kenma yang tersisa.

Untung saja hari ini Keiji dan Tooru sudah menjemput anak mereka masing-masing, jadi Tetsurou bisa fokus quality time bersama keluarga — dan 3 anak kucing lainnya.

Sore begini, taman jadi ramai akan festival musim panas. Banyak penjual alat melukis, es, taiyaki, buku, dan pemancingan koi.

Tapi es krim yang dicari Kei tidak ada. Taketora ingin memancing. Shohei mau taiyaki. Yuuki sudah tenggelam di balik kanvas.

Sementara Kenma... Dia yang tidak suka keramaian sudah nyaman bermalas-malasan di gendongan Kei. Tetsurou kan, juga mau!

“UNCLE, AYO KITA MANCING!!!”

“Eh, eh, satu-satu dulu, ya!”

Tetsurou panik saat celananya ditarik dengan brutal oleh Taketora dan Shohei ke arah berlawanan, sementara matanya masih fokus ke arah Yuuki, takut-takut kalo dia kedip sekali saja anak itu sudah hilang.

“Emangnya Tora ga laper?” tanya Shohei. “Dari tadi Tora berisik. Kaya Mama, kalo berisik berarti laper.”

“LAPER!!!” Tora menepuk keras perutnya yang bundar. “MAKANYA MANCING, HABIS ITU KITA MAKAN IKANNYA!!!”

“NGAWUUUURRRR?!!” sela Tetsurou lalu mengangkat dua bocah itu seperti kucing. “Kalo mau makan ikan sungguhan, bukan di tempat pancingan!!!”

“Taiyaki! Ikan manis!”

“BUKAN JUGA!!! Ikan yang kaya gitu ga mengandung docosahexaenoic acid yang berguna buat otak kalian, lho!”

Tora dan Shohei melongo mendengar istilah tersebut.

“Doc...”

“Docosahexaenoic acid!” ulang Tetsurou bangga karena akhirnya didengarkan.

“Dokter...” / “Asin...” Keduanya sudah mencoba yang terbaik.

“Docosashdgshshhoaaam...” Kenma yang mengantuk di bahu Kei ternyata juga ikut menyimak.

Tetsurou menghela nafas. Perutnya jadi ikut keroncongan membayangkan makan makarel bakar.

“Yang, mau makan ikan?” tanya Tetsurou, dengan tangan yang masih menenteng Tora dan Shohei.

“Engga, deh.” Kei mengipasi wajahnya yang kepanasan. “Aku duduk di sini aja sama Kenma dan Yuuki.”

“Oh, oke. Nanti aku cariin es krim, ya?”

“Iyaaa!”

“Kamu sama Kenma di—”

“Tetsu!” sela Kei. “It's okay! We'll be fine!”

Dari kejauhanpun Kei masih bisa mendengar Tetsurou berdebat dengan dua anak kucing itu mengenai zat-zat yang sama sekali tidak ia mengerti.

Di rumah juga Tetsurou sering mengajari Kenma, yang masih 5 tahun itu, mengenai betakaroten yang terkandung dalam wortel supaya anak itu tidak minus matanya seperti Kei.

Ya, Kei tidak tersinggung, sih. Toh, suaminya memberikan contoh nyata dan dia cuma bisa pasrah.

“Kenma ga mau ngelukis sama Yuuki?” tanya Kei. “Tuh, Yuuki gambar Pony warna-warni!”

“Males...” sahut Kenma.

Ia reflek tersenyum saat sebelah tangannya yang tidak menggendong Kenma, ia gunakan untuk merekam Yuuki yang tengah serius menggambar di kanvas sampai wajahnya ikut kena cat air. Gemas, nanti mau dia kirimkan ke Chikara kalau ingat.

Tapi cuaca saat ini panas sekali, didukung dengan taman yang semakin ramai. Saking panasnya, Kenma sampai minta rambutnya yang mulai panjang itu dikuncir. Kei jadi sebal lagi karena es krim stroberi dan wafel yang dia cari ternyata tidak dijual di sana.

“Kenma, Mama mau ngelap kacamata dulu, ya.”

Kei menurunkan Kenma dan mendudukkannya di samping Yuuki. Dia melepas kacamata dan mengeluarkan kain lap, mengelapnya sebentar, lalu mengambil saputangan untuk mengelap keringatnya. Mau ngomel kepanasan, tapi masih ada anak-anak.

“Uncle! Udah!” Yuuki menunjukkan dua lembar kanvas yang penuh coretan gambar kuda dan babi. “Yang Peppa buat Nii-chan!”

“Wah, lucunya. Jaga baik-baik, ya!” komentar Kei dan saat memakai kacamatanya, ia menyadari ada yang salah.

Kenma tidak ada.

“Eh??!” Kei sontak berdiri. “Yuuki liat Kenma???”

“E-Engga...” Yuuki yang tadinya ceria, seketika berubah panik. “Yuuki ga merhatiin...”

“Bukan salah Yuuki, ya~”

Di tengah kepanikannya, Kei berusaha menenangkan, lalu menggandeng tangan anak itu supaya tidak ikut hilang.

“KENMA!!!” seru Kei di tengah keramaian.

Yuuki juga ikut memanggil. Anak itu bahkan sudah mau menangis. Kei makin cemas memikirkan harus berkata apa ke Tetsurou nanti meski belum ada lima menit mereka mencari.

“Uncle!”

Sampai akhirnya Yuuki menarik tangannya dan menunjuk ke arah bocah berseragam kotak-kotak merah dan rambutnya dikuncir ke belakang sedang berdiri di depan kios es serut.

“KENMA!!!”

Kei menghampiri Kenma dan memeluk erat anak itu, tidak lupa Yuuki yang sudah menangis takut.

“HUAAA KYANMAAAAA”

“Kenma ngga boleh tiba-tiba pergi tanpa bilang Mama, ya!” Kei masih merinding membayangkan tidak bisa melihat Kenma lagi. “Mama sama Yuuki cariin Kenma dari tadi!!!”

“Ya ampun...” Bapak es serut yang melihat drama reuni itu sampai ikut meneteskan air mata haru, lalu berjongkok memberikan segelas kudapan dingin. “Nih, es buat mamanya!”

Kenma tersenyum dan lantas mengoper es serut dengan buah jeruk itu untuk Kei.

“Kenma liat Mama kepanasan, jadi Kenma cari es,” terang Kenma malu-malu. “Tapi yang stroberi engga ada, terus karna Kenma inget Shoyo, jadi Kenma beli yang jeruk. Kenma pake uang jajan, lho!”

Kei terharu walau dia tidak tahu hubungannya Shoyo dengan dirinya sampai dibelikan yang jeruk.

Yang jelas, dia terharu banget anaknya ternyata memikirkan Mama juga :')

Miya Atsumu kebetulan lahir 5 menit sebelum aku, membuatnya mendapat status sebagai kakak kembarku.

Berdasarkan penilaian orang-orang, ia tidak lebih pintar dariku. Secara fisikpun, masih lebih kuat aku yang adalah adiknya. Karena itu ia jauh lebih gigih dan bersemangat untuk mempelajari hal-hal yang baru. Cita-citaku menjadi pilot, begitu yang ia katakan pada kelas menggambar taman kanak-kanak di saat aku memikirkan akan beli berapa takoyaki sepulang sekolah nanti.

Atsumu juga menyukai hal-hal berbau astronomi dan ia sedikit lebih kesulitan menghapal nama-nama tersebut. Hal itu membuatnya lebih memilih pilot ketimbang astronot meski menurutku keduanya sama-sama sulit. Tetapi ia selalu berusaha keras. Terkadang kamar kami akan penuh dengan puluhan pesawat kertas dan aku akan memarahinya kalau ia menimbun sampah-sampah itu di atas tempat tidurku.

Hingga kini, dia masih membuatnya. Aku lupa membeli persediaan kertas lipat, seperti yang selalu kubeli tiap pulang sekolah. Jadi, aku sudah tidak kaget ketika melihat ada pesawat kertas dari koran, majalah atau bahkan brosur supermarket yang beterbangan di dalam rumah dan akhirnya salah satu berhasil masuk ke pintu kamarku yang terbuka, tepat ke atas kepalaku.

Aku mendengus dan bermaksud melempar balik pesawat itu kalau saja tidak memperhatikan sesuatu di balik lipatan kertasny yang terbuka.

Osamu, ayo kita makan es krim!

Pesan dari dia tertulis dengan sedikit rapi – ia berjuang memperbaiki tulisannya yang lebih jelek dari balita – dan dibubuhi dengan karikatur tersenyum.

Selalu begitu. Bahkan setelah pertengkaran kemarin, si bodoh itu masih akan bersikap seolah tak terjadi apapun dan sama sekali tak menyimpan dendam.

Aku bermaksud untuk membalas pesan tersebut dengan bicara, tapi ternyata tenggorokanku sakit, entah efek berteriak kemarin atau demam saat ini. Karena itu aku memaksa tubuhku untuk bangkit dan mengambil buku tulis di atas meja, menuliskan, 'Masih sakit.' melipatnya hingga membentuk pesawat kertas paling sederhana dan jauh lebih jelek dari milikna, lalu melemparnya keluar. Berharap pesan itu sampai padanya.

Kemudian aku mendengar suara kertas yang dilipat-lipat, menandakan ia sedang membuat pesawat yang baru. Dari asal suaranya, sepertinya dia sedang ada di dapur, tepatnya di meja makan. Mungkin baru saja menghabiskan sup miso yang diantarkan nenek Kita. Dan benar saja, tidak lama kemudian, pesawat itu sampai dan kali ini menarat tepat di atas tempat tidurku.

Samu sudah tidak marah padaku

Tidak ada tanda baca setelahnya, terasa menggantung. Aku akan menganggap dia sedang tidak bertanya, melainkan menyatakan bahwa dengan aku yang membalas pesannya, adalah pertanda suasana hatiku sudah baik. Aku lalu menyobek selembar kertas lagi. Jujur, sudah lama kami tidak mengobrol setenang ini meski hanya melalui surat-menyurat yang konyol. Keseharian kami selalu dipenuhi oleh dia yang mengganggu, aku yang marah, lalu ibu yang melerai dan akhirnya menjadi perantara pesan bagi kami berdua.

Tapi sekarang hanya ada kami berdua. Perkataan Kita masih terngiang dengan jelas di benakku. Aku masih punya orang-orang, tapi benar, Atsumu hanya punya diriku seorang.

Aku memukulmu terlalu keras, ya, tulisku sebelum membuat pesawat baru dan menerbangkannya ke luar.

Sedikit lebih lama dari yang tadi, pesawat berikutnya sampai dan mendarat menabrak dinding, karena itu aku harus sedikit berupaya untuk menggapainya.

Tidak apa-apa, Samu. Maaf karena aku hidup lebih lama dari ibu.

Kalimat kedua terdengar tidak masuk akal dan juga salah berapa kalipun aku membacanya karena, pertama, jelas ibu hidup lebih lama dari kita semua. Dan kedua, hatiku begitu sakit dibuatnya. Aku yang brengsek, tetapi dia yang meminta maaf.

Karena itu aku membalasnya dengan, Terima kasih sudah melindungiku dari perempuan yang bukan ibu.

Dia tertawa saat menerimanya, sepertinya sangat senang karena kata-kata tersebut. Karena aku tidak ingin buang-buang kertas lagi, akupun memutuskan untuk keluar dan makan sup miso yang semoga saja tidak ia habiskan sendirian.

Sekilas aku melihat Atsumu yang berlari dari dapur menuju kamar ibu, bersembunyi di balik pintu dengan wajah ketakutannya setiap kali aku melemparkan silent treatment kepadanya. Kalau itu Atsumu yang berusia 7 tahun, aku mungkin akan menganggapnya lucu.

“Apa?” tanyaku, berusaha terlihat sesantai mungkin dengan mengambil gumpalan-gumpalan kertas yang bercecer di lantai, meja makan, dan counter.

Mangkuk terbalik yang ada di pinggir wastafel dan air menetes dari atasnya menandakan dia baru saja makan, bahkan mencuci peralatannya sendiri. Kan? Dia sebenarnya tidak sebodoh itu.

“Samu sudah tidak marah?” Ia balas bertanya, masih sambil bersembunyi di balik pintu dan hanya menampakkan kepalanya.

“Memangnya kapan aku tidak marah padamu?” balasku. “Kemarilah.”

“Tidak! Kau akan memukulku!”

“Aish, aku takkan membelikanmu es krim kalau kau-“

“AKU MAU ES KRIM!!!”

Mendengar kata kunci tersebut, tanpa berpikir panjang ia beranjak keluar dan berdiri tepat di hadapanku. Aku bersedekap sambil mengamatinya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ia nampak sangat sehat meski suaranya parau dan hidungnya merah karena terlalu sering membuang ingus. Bekas pukulanku terlihat membiru di ujung dagunya. Konyol sekali karena kami sekarang memakai piyama dengan warna yang sama dan plester demam sama-sama masih tertempel di dahi kami.

Aku menghela nafas dan mencabut plester tersebut, menghasilkan teriakan ‘SAKIIIT’ yang teramat sangat berlebihan, lalu menyumpal mulutnya dengan acar plum yang kuambil dari dalam toples kiriman nenek Kita.

Kenapa aku begitu jahat padanya?


Terkadang kekhawatiranku memang menuntunku ke kenyataan.

Saat orang-orang melihatku dengan tatapan geli dan cemooh, aku sudah menyiapkannya. Karena itu aku menunduk dan duduk di kursiku, tidak begitu mempedulikan Suna yang mengajakku ngobrol santai dan menanyakan keadaanku.

Itu anak yang mencampakkan Runa, begitu yang kudengar. Setidaknya, tidak ada yang menyebut kata 'kembar' atau bahkan nama Atsumu.

Saat pergantian kelas, jam istirahat, maupun pulang, semua orang masih membicarakannya. Ginjima dan Kosaku sangat kelihatan berusaha untuk tidak membahas hal itu, bahkan Suna yang biasanya sangat suka membicarakan orang lain, kini hanya membahas permainan arcade yang buka di dekat sekolah.

“Jadi, kau mau ikut kami main di arcade?” tanya Ginjima saat kami bertemu di loker depan.

“Tidak bisa,” ucapku cepat sembari mengganti sepatuku.

“Kita tidak ada ekskul voli hari ini,” imbuh Suna. “Atau kau mungkin mau pergi ke tempat lain?”

“Tidak. aku akan langsung pulang.”

“Perlu kami temani?” Kosaku mengangkat bahu enteng. “Hitung-hitung, kita bisa kerja PR bersama.”

“Terima kasih tapi aku benar-benar bisa sendiri.”

Aku terlalu takut. Mungkin kekhawatiranku membuatku menutup mata bahwa sebenarnya teman-temanku benar khawatir akanku dan bukan sedang mengejek. Jika sudah baik-baik saja, mungkin aku harus mengambil tabunganku dan menraktir mereka makan. Kembali memulai hari sebagai anak SMA seperti sedia kala.

Ya, semuanya akan baik-baik saja.

Tetapi sungguh, sejak tadi firasatku sangatlah tidak enak. Sesuatu membuatku merasa harus memakai dua kali tenagaku agar dapat berlari lebih cepat menuju rumah dan mengecek apakah Tsumu meledakkan kompor atau semacamnya. Rumah kanan-kiri kami masih sepi. Nenek Kita kemungkinan sedang belanja di pasar jadi aku langsung masuk ke rumahku yang pintunya terbuka lebar.

“-ITU PUNYA IBU!!!”

“JANGAN GANGGU AKU, ANAK BODOH!!! KE MANA SAUDARAMU YANG PINTAR ITU???”

Jantungku sepert berhenti untuk sejenak saat mendengar teriakan Tsumu bersahutan dengan seorang yang sudah lama sekali kukubur jauh dalam ingatanku, bahkan lebih-lebih sampai kuanggap tidak pernah ada di muka bumi ini.

Aku sungguh melupakan fakta bahwa ada satu Miya lagi yang lebih parasit dari semua Miya yang masih hidup di muka bumi ini dan sama sekali tak sudi kusebut sebagai Ayah.

Bajingan yang dipenjara beberapa tahun lalu karena kasus penganiayaan keluarga dan segudang penipuan lainnya.

Bajingan yang sering menjadikan ibu dan kami samsak tinjunya.

Bajingan yang hampir menjualku ke tangan-tangan gelap seolah aku adalah barang paling tak berharga di dunia yang bisa ditukar dengan judi.

Bajingan yang membuat Tsumu berakhir seperti ini.

Aku segera melempar tasku dan memisahkan bajingan itu yang terus mengumpati serta menghajar Tsumu yang menangis meraung-raung.

“HENTIKAN!!!” teriakku marah, menyembunyikan Tsumu yang langsung memelukku ketakutan dari belakang dan aku sungguh ingin balas menghajar wajah yang telah membuat keluarga kami pecah seperti sekarang. “MAU APA KAU DI SINI?! INI BUKAN RUMAHMU LAGI?!”

“Kau…” Bajingan itu menatapku dan langsung mencengkeram lenganku. “Ikut denganku sekarang!”

Aku berusaha melepaskan genggamannya yang mungkin akan meninggalkan bekas kebiruan di lenganku, tidak peduli lagi dengan moral dan mulai menendang atau memukul sekuat yang kubisa, sementara Tsumu terus memeluk dan menahanku agar tidak kemana-mana. Bersama memberikan semua perlawanan kami sebelum ia benar-benar sampai di ambang pintu dan membawaku pergi ke neraka.

Tiba-tiba Tsumu melepasku, kemudian bangkit dan entah mendapat tenaga berhasil mendorong bajingan itu hingga cengkeramannya padaku terlepas. Mereka berdua sama-sama terjatuh menimbulkan suara benturan yang keras dan seketika suasana langsung menjadi sunyi, hanya terdengar nafas memburu dari kami berdua saja.

Bajingan itu tak sadarkan diri setelah kepala dan lehernya terantuk dinding, hingga darah merembes keluar darinya.

Mati?

Apa akhirnya… Dia benar-benar mati?

“Tsumu!” Aku segera menariknya yang masih tercengang dan berada di atas perut bajingan itu. “Tsumu, ambil tasmu sekarang!”

“Sa-samu- Bagaimana ini- Ayah-“

“CEPAT AMBIL PAKAIANMU DAN KITA PERGI SEKARANG!!!” bentakku dan saat kesadaannya telah pulih, ia segera mengangguk dan menuruti perintahku.

Dengan panik aku mengambil buku tabungan milik ibu yang masih berada di dalam genggaman (mungkin mayat) si bajingan itu, kemudian masuk ke kamarku, mengeluarkan semua buku pelajaran sebagai ganti beberapa pakaian dan celenganku sendiri ke dalam tas, tidak lupa dengan selimut serta mantel karena kami akan (waktunya sungguh tidak tepat) memasuki musim dingin.

Saat aku berbalik, Tsumu sudah kembali ke dapur, memeluk tasnya melihat sosok yang sialnya adalah ayah kami, masih tergolek bersimbah darah di sana. Aku memasuki kamar kami berdua dulu dan kamar ibu secara bergantian, mengambil apapun yang kubisa karena Tsumu pasti hanya mengambil mainan dan buku saja. Tidak lupa mengambil makanan dari dalam kulkas untuk persediaan kami di jalan.

Walau aku sungguh tak tahu harus ke mana kami setelah ini.

Aku kembali dengan ransel yang penuh, memakaikan dengan paksa mantel dan syal untuk Tsumu, lalu menariknya keluar rumah. Membawanya berlari dan sungguh, pemandangan di depan rumah adalah hal yang sama sekali tidak ingin kulihat saat ini.

Ginjima, Kosaku, Suna, dan… Kita-san. Mereka menatapku terkejut, entah mungkin di wajah atau pakaianku sekarang ada bercak darah, atau mungkin ekspresiku yang habis seperti membunuh ayahku sendiri, atau mungkin saudara kembar yang selama ini kusembunyikan dari dunia dan kini berada dalam gandenganku.

Dan aku balas menatap mereka satu per satu. Wajah-wajah yang aku yakin takkan bisa kutemui lagi setelah semua yang terjadi.

“Miya-“

Aku kembali berlari membawa Tsumu melewati mereka, tidak mempedulikan namaku yang diteriakkan. Tidak peduli dengan Kita-san yang memanggil nama kami berdua. Aku pergi meninggalkan masa SMA yang baru saja kumulai dan tidak mungkin datang untuk kedua kalinya.

Karena sekarang, aku hanya punya Atsumu.

Aku dapat surat. Amplop putih biasa dengan stiker kelinci dan aroma stroberi yang manis.

Itu sebenarnya bukan hal yang baru lagi bagiku. Valentine sudah lewat dan sudah lama sejak aku mendapatkannya. Terakhir adalah saat kelas 2 SMP, itupun aku harus menanggung malu karena si bodoh itu mengikutiku ke taman dan merusak acara confession dari seorang gadis yang juga sama malunya sampai tak mau menatap muka kami.

Sial. Aku jadi malu lagi.

Sepanjang kelas aku terus menelusuri tiga penggal kalimat yang ada di dalam surat itu dengan menyembunyikannya di balik buku Bahasa Inggris.

Menyukaiku. Mau kencan sepulang sekolah nanti. Dari Haruki Runa.

“Wah, Miya! Kau memang sangat populer!” komentar Ginjima saat aku menceritakan hal tersebut pada teman-teman di jam istirahat. “Anak kelasku sering membicarakanmu, omong-omong.”

“Oh, ya?” tanyaku heran. Aku tidak ikut ekskul apapun dan berusaha untuk tak mencolok, kenapa orang-orang bisa tahu aku?

“Tapi bukankah Haruki-san itu juga sangat cantik dan populer? Dia dari kelas 2-7, kan?” timpal Suna, kemudian melirikku dengan tatapan jahil. “Ternyata kau memang seleranya Oneesan-oneesan, ya?”

“Eh...” Aku semakin grogi. Apa benar ada orang yang benar-benar menyukaiku? Terutama dia kakak kelas???

“Kau ini pendatang, dari mana bisa tahu informasi itu?” Kosaku membalas dengan tak kalah heran.

“Tentu saja cari informasi. Kalau tidak salah, dia punya mantan pacar dari kelas 3, si kapten ekskul rugby. Putus karena yang laki ketahuan selingkuh dengan mahasiswi.”

“Suna, kau sangat menyeramkan.”

“Lalu, Miya, apa yang kau khawatirkan?” Suara Ginjima kembali menyadarkanku yang masih bingung dengan situasi ini.

“Aku...”

“Tentu, terimalah kencannya!” dukung Suna. “Kau ini benar-benar tidak ingin menikmati masa mudamu, ya?”

“Bukan begitu-” Aku meletakkan kotak susuku yang sudah kosong ke atas meja, lalu melanjutkan dengan suara lebih kecil, “Memangnya aku... Bisa begitu? Maksudku, bagaimana kalau aku mengacau? Bagaimana kalau aku tidak sesuai ekspektasinya? Bagaimana-” dengan si bodoh itu yang pasti akan menungguku sampai malam?

Mereka bisa berkata semudah itu karena tidak berada di posisiku, kan? Aku tidak bisa memikirkan tentang diriku sendiri barang sehari saja. Selalu ada si bodoh itu yang akan selamanya menjadi bayang-bayangku. Menghalangiku melakukan hal-hal yang selayaknya dinikmati oleh anak muda seusiaku. Seusia kami.

“Kau terlalu banyak memikirkan hal-hal yang belum tentu akan terjadi, Miya.” Ginjima menatapku dengan sorot mata prihatin. “Kapan lagi kau bisa jalan dengan gadis cantik? Kalaupun tidak sesuai ekspektasi, ya sudah! Masih banyak yang mau denganmu!”

Masih banyak yang mau denganku.

Masih banyak yang bisa kulakukan, berarti?


Ini sungguh nekat. Aku sangat gugup sampai tidak bisa berpikir jernih. Aku memakai telepon sekolah yang biasanya digunakan murid-murid untuk meminta jemputan. Kuhubungi nomor nenek Kita yang sudah kuhapal di luar kepala, meminta tolong padanya untuk menjaga si bodoh itu sampai aku kembali dengan alasan aku ada ekskul. Beliau terdengar sangat senang karena sudah lama Shin-chan (Shinsuke) mengatakan kalau aku selalu terlihat ragu untuk bergabung karena terhambat si bodoh.

Maaf, nenek Kita. Kali ini aku harus membohongimu. Aku ingin menikmati masa mudaku seperti teman-temanku yang lain walau cuma sehari.

Sehari saja, tolong berjalanlah dengan menyenangkan.

Semesta sepertinya ada di pihakku saat ini. Aku kini berjalan dengan gadis tercantik di Inarizaki, setidaknya itu yang Suna katakan tadi. Haruki Runa rupanya cukup mungil, mungkin tingginya hanya sedadaku dan rambut cokelat panjangnya yang dikepang ke belakang beraroma stroberi seperti suratnya. Nada bicaranya halus dan menenangkan, memberi kesan bahwa ia dapat memahami kalau aku gugup dan tidak bisa berkata-kata dengan lancar.

90 persen percakapan didominasi olehnya. Kebanyakan membicarakan kesukaannya, seperti selera film, musik, makanan yang kebetulan semuanya tidak begitu kusukai. Mungkin satu-satunya yang mendekati dariku untuknya adalah tipe laki-laki? Kedengaran jelas kalau dia menyukai orang yang bisa berolahraga. Ah, apakah ini sinyal agar aku benar-benar harus bergabung dengan ekskul voli sesuai rencana awal?

“Aku terlihat sangat konyol sekarang,” gumamku tanpa sadar. Tubuhku berkeringat meski suhu musim gugur sudah mulai membekukan sekitar.

Runa – ya, dia yang memintaku untuk tidak formal-formal dengannya – tertawa merdu sembari menutup mulut dengan sebelah tangannya. “Osamu-kun, kau memang menggemaskan. Itu sebabnya aku menyukaimu.”

“Ya???” Jantungku seperti nyaris berhenti mendengarnya. Ia tidak sedang serius, kan?

Langkah kakinya berhenti, dan membuatku berbuat demikian pula. Kami sampai di depan taman kota dan langit jingga yang cerah semakin menambah pesonanya. Tatapan matanya lurus padaku dengan senyum cantik terukir, sementara aku menahan nafas tidak mengerti harus berbuat apa, terutama saat ia menarik dasiku agar menunduk dan mengikis jarak di antara kami.

Inikah saatnya? Apakah aku akhirnya berhasil menjadi anak SMA yang sesungguhnya?

“OSAMUUUUUUUUUUUU!!!!!!!!!!!!”

Bayangan akan ciuman yang indah itu seketika terkikis dan aku tak sadar sejak kapan aku sudah berpisah beberapa meter dari Runa. Seseorang – tidak, ini bahkan jauh lebih buruk – MIYA ATSUMU, si bodoh itu, sekarang berada di hadapanku dengan sebelah tangan mencengkeramku dan menyembunyikanku di balik badannya. Menghadang Runa seolah-olah dia akan berbuat hal tak manusiawi padaku.

“Pergi dari Osamu!” bentak si bodoh itu kepada Runa yang sangat terkejut akan kehadirannya yang tiba-tiba. “Osamu tidak mau dengan perempuan jahat!”

Tidak. Ini terlalu buruk. Ini sangatlah buruk.

“Apa yang kau lakukan, brengsek?!” desisku dan berusaha menahan diri untuk tidak membunuhnya di tempat.

“S-Siapa dia Osamu-kun?” tanya Runa yang masih sangat terpaku dengan kejadian barusan. “Kalian... Kembar??? Dia saudara kembarmu?!”

Dia saudara kembarmu.

Pertanyaan di akhir kalimat itu lebih terdengar seperti pernyataan dan terus terngiang di kepalaku. Orang-orang di taman dan pejalan kaki sekitar kami mulai memperhatikan keributan yang terjadi. Si bodoh itu terus berceloteh tentang betapa jahatnya Runa yang sudah punya laki-laki lain bermaksud menciumku, menceramahi gadis itu dengan berkata bahwa ciuman hanya ditujukan pada orang yang disayang, sementara Runa... Dia hanya diam dan menatapku dengan tatapan aneh.

Lagi.

Hal seperti ini... Tidak akan pernah melepas dari hidupku.

Aku mendorong si bodoh itu ke samping, membungkuk sangat dalam dan meminta maaf sebesar-besarnya kepada Runa – Haruki, aku tidak sanggup lagi memanggilnya dengan akrab – lalu menyeret saudara kembarku dengan langkah lebar-lebar.

Sepanjang perjalanan aku hanya diam, tidak peduli dengan dia yang terus mencari pembelaan dengan bercerita kalau Runa adalah gadis yang pernah ia lihat saat mengantarkan bekalku ke sekolah, Runa yang jalan dengan seorang siswa lain berseragam sama, dan masih banyak lagi.

Setelah sampai rumah dan mendorongnya hingga terjatuh ke lantai.

Tidak mempedulikannya yang mengaduh kesakitan, aku menduduki perutnya dan memukul wajahnya, kemudian menarik kerah jaketnya sambil berteriak penuh amarah, “SUDAH CUKUP!!! CUKUP DENGAN SEGALA KEBODOHANMU ITU!!! CUKUP DENGAN MENGGANGGU DAN MENCAMPURI URUSANKU, SIALAN!!! APA YANG KAU TAHU TENTANG URUSANKU??? KAU BAHKAN TAK TAHU APA-APA SOAL URUSANMU SENDIRI KARENA TERLALU BODOH!!!”

Dia yang sudah menangis, balas menarik seragamku dan aku sudah tidak peduli lagi kalau kainnya akan robek dan juga berseru, “OSAMU ADALAH SATU-SATUNYA SAUDARAKU!!! AKU INI MENJAGAMU DARI PEREMPUAN JAHAT!!!”

“AKU TIDAK PEDULI, KEPARAT!!! KAU TIDAK AKAN PERNAH MENJADI SAUDARAKU JADI BERHENTILAH BERSIKAP BODOH SEHARI SAJA ATAU AKU BENAR-BENAR AKAN MENGUSIRMU DARI RUMAH!!!”

“AKU JUGA TIDAK PEDULI DAN AKAN TERUS MENGATAKAN KALAU SAMU ADALAH SAUDARAKU!!! IBU TIDAK SUKA JIKA KITA BERTENGKAR BEGINI!!!”

“APA YANG KAU TAHU TENTANG IBU??? SEHARI-HARI KAU HANYA MEREPOTKANNYA DAN MEMBUATNYA LELAH!!! DIA MENGHABISI NYAWANYA SENDIRI KARENA KAU, ATSUMU!!! SEHARUSNYA KAU YANG MATI DAN BUKANNYA IBU!!!”

Atsumu tidak membalasnya. Matanya yang berkaca-kaca nampak redup selama beberapa saat dan aku dapat melihat jelas refleksi wajahku di sana. Aku nampak seperti orang jahat di matanya. Seseorang yang tidak seharusnya mengatakan hal menyakitkan seperti itu, tidak kepada keluarganya sendiri.

Dulunya ada 4 Miya dalam keluarga kami.

Seorang ayah yang tak bertanggung jawab dan menyakiti keluarga kami hingga ia dipenjara.

Seorang ibu yang sejak lahir adalah milik orang tuanya, menikah dan menjadi milik suami bejatnya, dan tidak pernah hidup dalam kebebasan.

Namun kini, hanya tersisa 2 Miya. Aku dan dia, Atsumu. Orang yang juga menyakiti ibu.

Seharusnya kami saling menjaga. Tetapi sekarang, aku sama sekali tidak ada bedanya dengan si brengsek yang meninggalkan kami dan menyebabkan perpecahan ini semua.

Aku melepaskan cengkeramanku dan bangkit dari atasnya, tidak lagi menatap mata ataupun menghiraukan ia yang masih sesenggukan berupaya memanggilku, lalu pergi ke kamarku sendiri dan menutup pintu rapat.

Entah aku masih punya keberanian untuk berhadapan lagi dengannya setelah semua ini.


Sepertinya aku tertidur sangat lama, jika dirasa dari sinar matahari yang seperti menembus kelopak mataku.

Terbangun dengan perut yang pedih – lagi – dan kepala yang sangat berat serta mata bengkak memanglah bukan hal menyenangkan, walau belakangan aku sudah mulai terbiasa dengan kondisi seperti ini terutama sejak ibu tidak ada. Aku jadi banyak menangis dan itu bukanlah sesuatu yang dapat kukontrol.

Yang baru adalah, rasa dingin di sekujur tubuh dan tenagaku seperti terkuras habis untuk meluapkan emosiku sehingga sekedar membuka mata saja aku tidak mampu.

Setelah berhasil mengumpulkan nyawa dan kekuatanku, akhirnya aku berhasil duduk dan merenungkan apa saja yang harus kulakukan setelah ini. Cuci muka, makan, lalu berangkat sekolah-

Aku tersadar bahwa pintu kamarku ternyata sudah terbuka, aku ingat kemarin membantingnya dengan kasar – atau mungkin rusak karea perlakuan kasarku sejak pindah ke rumah ini. Atau mungkin – lagi – aku sebenarnya belum benar-benar terbangun dan masih di alam mimpi, karena sekarang aku melihat sesosok laki-laki berambut putih dengan ujung hitam yang mengenakan seragam serupa denganku, memasuki kamarku dengan nampan berisi piring makanan di tangannya.

Kita Shinsuke menatapku dengan prihatin, kemudian meletakkan makanan di atas meja belajarku setelah menyingkirkan beberapa buku dari sana. Aku masih tak tahu harus mengatakan apa, karena itu ia memulai duluan,

“Berbohong dengan berkata akan ikut ekskul voli, yang mana membohongi nenekku, membuat nenekku kerepotan dan meninggalkannya di tengah jalan, membuatnya pulang seorang diri dengan kondisi bingung dan khawatir, hanya untuk mendapati kalian yang tidak akur dan nyaris menghancurkan rumah sendiri.”

Kita menyebut satu per satu kesalahan yang telah aku – kami lakukan dan aku hanya bisa menduduk sembari meringis. Memikirkan kembali betapa keterlaluannya aku melibatkan orang tua seperti nenek Kita dalam masalah kami. Kalau saja aku berkata jujur atau mungkin mengunci Tsumu di dalam kamar, pasti hal seperti ini takkan terjadi.

“Nenekku membawa Atsumu jalan-jalan kemarin karena dia ingin melihatmu main voli,” ujar Kita sembari bersedekap. “Tapi ternyata ia malah melihat saudaranya hampir dilecehkan oleh senior tukang selingkuh dan tentu saja dia tak bisa diam.”

“Maaf...” Aku semakin menyesalinya. Seharusnya aku sadar keadaan sudah berubah dan aku tidak bisa mementingkan diri sendiri. Malah sejak awal, aku tidak punya kesempatan untuk itu. “Dia... Di mana?”

“Sama demamnya.”

“Hah?”

“Kau demam,” ujar Kita sambil menunjuk dahiku dan aku baru sadar ada plester penurun panas tertempel di sana. “Dan karena menemanimu semalaman, Tsumu ikut demam. Atau mungkin itu fenomena saudara kembar? Aku juga tidak tahu. Yang jelas, aku akan mengurus surat ijinmu hari ini. Kalau masih demam, sepulang sekolah nanti aku akan mengantar kalian ke rumah sakit.”

“Kita-san,” panggilku saat ia hendak keluar dari kamarku, meski aku masih belum berani untuk mendongakkan wajah. “Kenapa kau melakukan ini?”

“Apanya?”

“Memangnya kau tidak malu? A-Aku...” Bahkan aku tak dapat melanjutan perkataanku sendiri.

Tanpa sadar, aku menggigit bibir memikirkan kemungkinan yang akan terjadi jika aku ke sekolah nanti. Haruki Runa orang yang populer, sementara Suna sendiri – aku merasa bersalah meragukannya sebagai teman, tapi saat ini dia yang paling tahu gosip orang sekolah. Aku hanya takut tidak bisa menghadapi hari esok sebagai seorang siswa SMA.

“Aku pasti akan sangat bermasalah setelah ini,” ucapku setelah perdebatan batin yang panjang.

Kita menghela nafas, kemudian membalas, “Aku hanya melakukan kewajibanku sebagai tetangga dan juga seniormu. Lagipula bukankah sekarang ada hal yang lebih penting daripada itu?”

Akhirnya aku mengangkat muka dan berhasil menatapnya dengan tatapan bertanya, sampai aku melihat senyumnya yang mengatakan, “Saudaramu. Tidak ada yang lebih penting dari masalah-masalah yang belum tentu terjadi selain saudaramu. Kau mungkin punya teman yang banyak, pacar, ekskul voli, atau cita-cita yang besar. Tapi Atsumu hanya punya dirimu saat ini, Osamu. Yang kehilangan ibu juga bukan hanya kau. Jadi, pikirkanlah itu semua dengan kepala yang dingin.”

Kemudian, Kita meninggalkanku dengan kenangan lama yang telah terkikis dari ingatanku seiring berjalannya waktu.

“SAMUUUUUU!!!!!”

BRAK BRAK BRAK

“SAMU, SAMU, SAMU!!!

BRAK BRAK BRAK BRAK BRAK

Aku seketika terduduk saat bunyi gebrakan pintu kamarku semakin keras. Jantungku berdebar dengan tak kalah sengit, kantuk pergi dari mataku karena alarm dari si bodoh. Aku mengusap wajahku kasar dan memperhatikan jam dinding yang jarum pendeknya sudah berada di angka 7.

Mau tidak mau, aku harus bangun sekarang atau aku akan terlambat masuk sekolah. Kalau tidak sekolah, aku takkan bisa mengikuti pelajaran. Kalau tidak belajar, aku akan jadi sama bodohnya seperti dia.

“SAMU, SAMU SAM-”

“IYA, BERISIK!” sentakku setelah membuka pintu, lalu mendorongnya ke samping. “Tidak perlu teriak-teriak begitu! Mulutmu itu suka sekali mengganggu tetangga!”

“Hehe.” Dia tertawa tanpa merasa bersalah sama sekali. “Samu, kau hari ini mau masak apa? Mau membawa bekal? Boleh aku ikut ke sekolahmu?”

“Telur goreng. Telur goreng. Tidak,” jawabku singkat sambil memasak nasi secepat yang kubisa.

Lagi-lagi, harus mendorongnya menjauh karena kalau tidak ia akan mengikutiku ke kamar mandi dan sebelum benar-benar menutup pintu, aku melanjutkan, “Kenapa kau tidak pergi membersihkan kamarmu?!”

Dia mengangguk sembari mengacungkan jempolnya. “Aku sudah!”

“Oh, aku akan memukulmu kalau yang kau maksud 'sudah' itu adalah menimbun sampah di satu sudut!” Lalu aku membanting pintu kamar mandi tepat di hadapannya.

Sudah dua minggu sejak ibu tidak ada dan si bodoh itu menghuni kamarnya. Konsumsi obat-obatan secara berlebihan membuat fisiknya memburuk dan merenggut nyawanya di kamar mandi, saat mencuci pakaian keluarga kami dan tetangga tanpa mesin cuci.

Seharusnya aku sejak awal tersadar bahwa mesin cuci yang biasa ada di gudang – yang sekarang adalah kamarku – lenyap beberapa hari sebelum ulang tahunku (dan si bodoh, lebih tepatnya) dan seharusnya menjadi pendukung mata pencahariannya sebagai pencuci pakaian.

Seharusnya sejak awal aku membantunya lebih awal.

Seharusnya, si bodoh itu yang pergi dan bukannya ibu.

Pemikiran yang jahat, bukan?

Tsumu sehari-harinya selalu bersama ibu. Dan ibu menghabiskan 90% waktunya untuk si bodoh itu seorang. Bukan berarti ibu mengabaikanku, tetapi meninggalkanku dengan si bodoh itu sendirian seperti sekarang terasa... Sangat berat.

“SAMUUU!!! NASINYA!!!”

Sial.

Panik, aku keluar dari kamar mandi dengan rambut dan tubuh yang masih basah akibat tidak kuhanduki dengan benar saat mencium bau nyaris gosong, hanya untuk menyaksikan si bodoh yang membuka tutup panci panas dengan tangan kosong.

“BODOH!!!” umpatku seraya mematikan kompor, membuka tutup panci dengan kain lap tentunya, lalu menarik tangan si bodoh itu ke bawah wastafel. “BISAKAH SEHARI SAJA KAU BERSIKAP SESUAI UMURMU???”

“Samu, sakit!!!” rengeknya kesakitan saat air dingin mengaliri tangannya yang merah dan melepuh.

Reflek, aku ikut meringis perih karenanya. “Kau harus ingat, benda panas apapun, TIDAK BOLEH DIPEGANG DENGAN TANGAN KOSONG. Kenapa begitu saja kau tidak mengerti, sih?!” bentakku kesal.

“Aku ingin membantu Samu-”

“Tidak butuh!!!”

Lima menit setelah insiden itu, Tsumu makan dengan sebelah tangan yang diperban. Makannya kececeran seperti biasa dan sumpitnya terjatuh terus sehingga aku menggantinya dengan sendok, tentu setelah memukul kepalanya terlebih dahulu. Sementara aku makan sambil berdiri, mempersiapkan segala kebutuhanku ke sekolah dan tidak ada waktu untuk mengepal onigiri karena segala drama yang terjadi pagi ini.

Kemudian sambil mengunyah, aku pergi ke kamar ibu. Mengebas tempat tidurnya sebentar lalu mengambil beberapa lembar uang untukku dan si bodoh yang tidak bisa menghitung dengan benar.

“Nanti Nenek Kita mungkin akan ke sini mengantarkan bahan makanan,” terangku sembari memasukkan sejumlah uang ke dalam saku piyamanya. “Biarkan dia masuk dan mengatur semuanya, jangan diganggu, lalu kau berikan saja semua uang ini. Jangan merepotkan orang tua sepertinya dan minta dibelikan jajan. Mengerti???”

“Iya, Samu!” Tsumu tersenyum dengan mulut penuh, seolah tangannya tak pernah terbakar. Seolah aku tak pernah mengumpati dan menghajarnya. “Nasi putih buatan Samu sangat enak!”

“Kau ini mendengarkanku tidak, sih?!”

“Dengar!”

Aku memakai sepatuku, memperhatikan kondisi dapur yang masih berantakan dan si bodoh yang makan dengan lahap. Meninggalkan rumah dalam keadaan seperti ini dan nantinya akan kedatangan nenek tetangga yang suka membantu kami... Pasti Nenek Kita takkan keberatan, tapi aku tak mau merepotkannya. Di sisi lain, tidak ada waktu untuk merapikannya selagi aku bersekolah. Dan kalau si bodoh itu tidak ada kegiatan, ia akan semakin membuat masalah.

“Nih!” Aku masuk lagi untuk melempar sebuah buku berhitung untuk anak SD ke depan wajahnya. “Coba selesaikan ini, nanti aku cek setelah pulang.”

“Baik, Samu! Kalau aku sudah selesai, boleh aku ke sekolahmu???”

“Tentu saja tidak, bodoh!”


Mendekati jam pulang, perutku sangat keroncongan. Istirahat dua sesi kuisi dengan sepotong sosis sapi dan roti coklat milik Ginjima. Bekalku ketinggalan dan aku bahkan tidak ingat apakah aku memang sempat membuatnya atau hanya halusinasiku saja. Kalau tidak ada teman-teman yang merelakan sebagian lauk dan jajan yang mereka bawa, mungkin aku sudah sekarat di jam pelajaran olahraga.

Dan akhirnya, bel sekolah penanda jam pulang berkumandang. Aku mengemasi barangku lebih cepat dari biasanya, sementara Suna mengeluarkan kaos dan sepatu volinya dari dalam loker.

“Miya, kau tidak datang lagi?” tanya Suna karena melihatku tidak bersiap untuk ke lapangan voli.

Ah, itu. Sudah dua minggu sejak pembukaan rekrut kegiatan ekskul dan aku masih belum memutuskan apapun. Salah, sebenarnya aku sudah memutuskan untuk ikut voli sejak SMP kalau saja... Tidak, aku tak sedang menyalahkan ibu. Akan tetapi, ekskul yang memakan waktu dua jam, ditambah Inarizaki adalah sekolah yang kuat di olahraga dan besar kemungkinan untuk ikut pertandingan, aku tidak akan sanggup. Aku sekarang tahu betapa beratnya beban ibu mengasuh si bodoh itu dan tidak mungkin aku merepotkan nenek Kita yang sudah tua untuk menjaganya meski nenek mau-mau saja.

“Kau tahu kalau Kita-san akan menutup pendaftaran bulan ini, kan?”

Ucapan Suna semakin membuatku goyah. Kita-san yang dimaksud adalah cucu dari nenek Kita, tetangga kami, atau sebut saja Kita Shinsuke. Berada di kelas akhir, menjabat sebagai kapten voli Inarizaki dan sebenarnya aku jarang sekali melihatnya di rumah meski sudah bertetangga dengannya sejak 5 tahun belakangan ini, hanya sekilas atau berpapasan saja. Tinggal berdua dengan nenek Kita yang selalu menyapa dan membantu keluarga kami soal urusan makanan dan menemani si bodoh tiap ibu bekerja.

Di sekolahpun, Kita Shinsuke selalu terlihat menenteng buku dan mengobrol dengan teman-temannya yang terlihat pintar dan populer. Seperti Ojiro Aran, si bintang sekolah misalnya. Yang kutahu, ia begitu ambisius jadi aku merasa takkan mungkin bisa satu frekuensi dengannya.

Hanya sekali aku bertatap muka terang-terangan dengannya, yaitu saat pemakaman ibu. Ia membantu melayani tamu-tamu yang datang ke rumah duka, hanya mengatakan hal seputar sekolah padaku yang lebih terdengar seperti basa-basi saja, atau mungkin aku yang terlalu sedih hingga tak mengingat hal lainnya.

“Akan kupikirkan lagi,” ucapku dengan perasaan masih tak rela. “Aku masih harus mengurus rumah karena bangun kesiangan.” dan menjaga si bodoh itu.

“Baiklah,” balas Suna, ia pasti heran karena saat hari pertama bertemu aku sudah dengan percaya diri bercerita kalau tujuanku untuk masuk Inarizaki adalah untuk mengikuti ekskul volinya yang kuat. Mungkin ia lebih memahami kalau aku masih berduka.

Aku lalu berpisah dengannya, berpamitan pula dengan Ginjima dan Kosaku yang berpapasan denganku di koridor. Merasa sedih tidak ada gunanya. Entah sampai kapan aku harus mengalah, mengalah, dan mengalah. Melawan egoku sendiri demi menjaga si bodoh agar tetap hidup.

Ibu memang tidak pernah mengabaikanku. Hanya saja kondisi Tsumu membuat jarak di antara kami semua. Ibu tentu bersedih, tapi akupun juga begitu. Aku selalu ingin marah tiap si bodoh itu memakai pakaianku tanpa ijin, mengambil makananku, menggangguku dan semuanya itu demi mencari perhatianku. Seperti... Tidak cukupkah dia menguras seluruh perhatian ibu? Kalau saja dia bisa berpikir bahwa dia bukan anak tunggal, mungkin hidupku dan ibu akan bisa sedikit lebih baik.

Sakit di perutku membuatku merintih dan terpaksa aku berhenti untuk singgah sebentar di bawah, karena untuk menuju rumah aku harus melewati dataran tinggi yang masih beberapa meter di depan itu lebih dulu dan aku tak ingin mengambil resiko jatuh menggelinding di tangga.

Aku berjongkok dan memeluk lutut, berharap perih di perutku segera hilang. Tanpa sadar air mata telah menggenang dan kemudian mengalir membasahi pipiku, hingga menetes deras bak hujan, tertahan oleh syal yang membalut leherku.

Aku ingat bagaimana kerasnya si bodoh itu menangis saat tahu bahwa ibu telah meninggalkan kami. Awalnya dia tak mengerti, dikiranya ibu hanya tidur sebentar dan setelah diobati, besok akan kembali membangunkannya dengan senyum dan bau telur goreng yang sedap.

Meninggal itu berarti pergi. Tidak kembali lagi. Tidak di dunia ini.

Pergi ke mana?

Ke tempat yang lebih baik.

Boleh aku ikut ke sana juga?

Tidak bisa sekarang, Tsumu. Kau harus bersabar dan menikmati hari berikutnya. Jaga Osamu, ya?

Saat Kita Shinsuke yang sama sekali tidak kami kenal menjelaskan konsep kematian pada Tsumu, barulah si bodoh itu meledak. Aku juga ingin menangis seperti itu, didengarkan oleh semua orang kalau aku di sini, sangatlah sakit hati dan ingin semua masalah berakhir. Tapi aku tidak bisa. Aku sudah berumur 15 tahun dan dituntut untuk lebih dewasa dari kakakku. Orang yang harusnya melindungiku dan bukanlah sebaliknya.

“Samu-”

Ah, sial. Gara-gara memikirkannya aku jadi mendengar suaranya lagi.

“SAMUUU!!!”

Kenapa kedengarannya makin keras, ya? Bisakah ia pergi dari pikiranku lima menit saja?

“OSAMUUUUU!!!!!!”

Suaranya terdengar begitu kekanakan dan menyebalkan. Telingaku sampai sakit mendengarnya dan kupikir aku hanya berhalusinasi karena terlalu kesal. Sampai akhirnya bahuku digoncang dengan kuat dan suara itu menyerbuku dari depan.

“Samu, samu, samu!!! Kau tidak apa-apa???” Wajah si bodoh itu tepat di hadapanku, air matanya yang juga bercururan sepertiku membuatku mengira aku sedang berkaca.

“Kau...” Aku mengusap wajahku yang basah dengan lengan seragamku, kemudian sadar bahwa dia seharusnya tidak ada di sini. “BODOH!!! APA YANG KAU LAKUKAN DI SINI??? KENAPA KAU PERGI DARI RUMAH??? KAU PASTI TIDAK MENGUNCINYA, KAN?!”

“Samu, aku tadi mencari sekolahmu tapi aku tidak-”

“KAU- APA???” Aku semakin tidak habis pikir dengan jalan pikirannya. “SUDAH KUBILANG JANGAN MENGIKUTIKU!!! KE SEKOLAH, KATAMU???”

“TAPI BEKALMU KETINGGALAN!!! SAMU TADI ADA JAM OLAHRAGA, KAN??? PASTI SAMU KELAPARAN!!!”

Dia juga membalas bertubi-tubi dengan suara yang sama kerasnya, lalu menunjukkan kotak bekal motif kayu yang sudah menjadi propertiku sejak SMP. Ah, ternyata aku memang tadi sempat membuat bekal, tapi bukan itu poin pentingnya.

“I-IYA AKU LAPAR TAPI- BODOH!!! KAU BENAR-BENAR BODOH!!!”

Setelahnya aku menyeretnya dan sepanjang perjalanan ia terus berbicara betapa senangnya ia bertemu aku dalam keadaan masih hidup, melihat sepasang murid berseragam serupa denganku tapi tidak sempat disapanya dan aku memarahinya karena yang benar saja??? Aku tak pernah mengatakan aku punya saudara, dan lagi, wajahnya benar-benar mirip denganku dan aku tak ingin dicap memalukan oleh orang-orang.

Nenek Kita menyambut kami dengan wajah khawatir dan bercerita kalau sejak siang sudah kehilangan Tsumu, yang mana menjelaskan wajah si bodoh yang seperti terbakar sinar matahari dan akupun meminta maaf (memaksanya juga) atas perbuatannya.

Malam itu aku memakan tuna kaleng dan nasi yang sudah bercampur dan dingin, sembari mengerjakan tugasku dan mengawasi si bodoh itu yang berusaha memecahkan soal perhitungan anak SD yang ditinggalkannya selama berjam-jam demi memastikan aku tidak kelaparan di sekolah.

Namaku Osamu. Miya Osamu, lengkapnya.

Aku baru saja berulang tahun yang ke-15 tahun dan ibuku menepati janjinya untuk memberikan bekas gudang dan tempat mencuci pakaian sebagai kamar baruku.

Rasanya aneh karena tiba-tiba tidur sendiri, tapi tentu saja ini jauh lebih baik. Ruangan ini jauh lebih kecil dari kamarku dulu, mungkin separuhnya? Aku bahkan tak mengukur karena bagiku sekarang ini terasa luas. Memiliki kamar sendiri adalah impianku sejak kecil.

Karenanya, bagiku ini sangat sempurna. Tidur sendiri di kasur yang kukuasai sendiri, merapikan kamarku (atau mungkin aku akan menghiasnya saat sudah punya banyak waktu), menjadi murid kelas 1 SMA yang normal dan mengenakan seragam baruku tanpa terusik oleh si bodoh yang-

Tunggu... Di mana seragamku???

“SAMUUU!!!”

Nah. Itu dia.

“SAMUUU, SEJAK KAPAN JASMU COKELAT BEGINI??? MAU YANG BIRU-”

Gawat.

Dengan cepat aku membuka pintu kamar dan benar saja, si bodoh itu entah dapat dari mana jas seragam baruku. Dikenakan dengan sembarangan dan dasi yang melingkari kepalanya membuatnya terlihat semakin bodoh. Bahkan ia tak bisa mengancingkannya dengan benar!

“AKU SUDAH BILANG UNTUK TIDAK MEMAKAI SERAGAMKU!” teriakku kesal sembari menarik jas dari tubuhnya.

“SAMU, AKU CUMA PINJAM-”

“MEMANGNYA KAU TAK PUNYA SERAGAM SENDIRI??? LAGIPULA UNTUK APA KAU MEMAKAINYA KALAU SEKOLAH SAJA TIDAK?!”

“Astaga, kalian!”

Ibu yang sejak tadi -entah melakukan apa, mungkin sejak aku selesai cuci muka- di kamar mandi, keluar dan mendapatiku masih berusaha melepaskan jasku dari si bodoh yang tentu saja masih merengek minta semua keinginannya dituruti.

“Samu, kalau kau menariknya begitu kau akan merobeknya! Ibu sudah bilang kalau seragammu sangat mahal, kan?!” sentak ibu selagi melerai kami dan setelah perjuangan yang besar, berhasil memisahkan kami dan akupun mendapat seragamku dalam keadaan kusut.

“Dia yang memakainya duluan tanpa ijin!” belaku pada diri sendiri.

“Tapi aku juga ingin ikut Samu ke sekolah!” balas si bodoh dengan wajah dibuat memelas. Ah, pasti dia sebentar lagi akan menangis palsu. “Ibu kenapa tidak membelikanku seragam sepertinya?”

“Ibu akan membelikannya saat kau sudah siap nanti, Tsumu,” jawab ibu dengan senyumnya.

“Ibuuu-”

“Diam!” Aku melemparinya dengan sandal rumah karena tidak tahan lagi. “Jangan menyusahkan ibu selama aku sekolah!”

“Osamu, kau tidak boleh seperti itu kepada Atsumu!”

Aku hanya memperhatikan ibu yang setelah menegurku dengan marah, langsung beralih kepada si bodoh yang kini menangis dan mengusap wajahnya, menanyainya 'Apa Tsumu tidak apa-apa? Mana yang sakit?' dengan sangat lembut.

Tanganku terkepal menyaksikannya. Tanpa berkata apa-apa, aku kembali masuk ke kamarku dan melampiaskan emosiku dengan membanting pintu, jauh lebih baik ketimbang menghujat yang mana akan mendapat teguran lebih parah dari ibu.

Aku melempar jas seragamku ke atas tempat tidur single yang sebenarnya bekas tempat tidur susun milikku dan si bodoh itu – ibu meminta tolong tetangga untuk membantu memotongkannya karena kami sekarang tidur di kamar terpisah.

Nafasku tidak karuan, jantungku mungkin sedang bekerja 3 kali lipat lebih cepat daripada biasanya karena amarahku. Aku masih dapat mendengar dengan samar percakapan ibu dan si bodoh.

'Apakah Samu membenciku, bu?', si bodoh mempertanyakan hal yang orang tidak bisa melihatpun dapat mengetahui jawabannya dengan jelas dan ibu menimpali, 'Tidak, Sayang. Samu kesal karena Tsumu memakai seragamnya tanpa ijin. Itu tidak baik. Tsumu harus meminta maaf pada Samu nanti.'

Tidak sudi aku menerima permintaan maafnya. Aku mendongak dan kembali menghembuskan nafas panjang. Tatapanku tanpa sengaja jatuh kepada cermin yang baru dibelikan ibu kemarin. Menatap refleksi wajah yang sangat kubenci karena mengingatkanku pada si bodoh itu.

Miya Atsumu, kebetulan baru berulang tahun ke-15 juga dengan mental seperti anak SD yang bahkan rata-rata masih lebih pintar dibanding dirinya.

Miya Atsumu, kebetulan memiliki wajah yang 95 persen mirip denganku dan membuatku muak dengan wajahku sendiri.

Miya Atsumu, kebetulan lahir 5 menit lebih awal dari rahim ibu yang sama.

Miya Atsumu, kebetulan yang teramat salah dan aku sangat membencinya.


Menjadi anak kelas 1 SMA berarti harus memulai dari awal lagi. Berkenalan dengan orang baru, lingkungan baru, denah baru, dan semua hal baru yang membawaku selangkah lebih dekat dengan kebebasan.

Mereka bilang, setelah lulus nanti kau bisa melakukan apapun. Bebas dari belajar dan aturan, minum alkohol, bekerja, jalan-jalan tanpa beban, dan masih banyak lagi. Saat lulus nanti, aku pasti akan mencari pekerjaan dan tinggal jauh dari si bodoh itu. Menikmati masa mudaku dan mewujudkan harapan-harapan yang harus kuputus karena keberadaannya.

Tapi, mari kembali ke masa sekarang terlebih dahulu. Berkawan tidak begitu sulit. Aku kebetulan satu bangku dengan Suna Rintarou, seorang murid pindahan dari Aichi yang diundang untuk bersekolah di Inarizaki. Saat istirahat, kami berdua satu meja dengan Ginjima Hitoshi yang sangat suka membangkitkan suasana dan Kosaku Yuuto yang lebih seperti pendengar kami.

Ah, hari pertama berjalan dengan sangat menyenangkan! Terutama, hanya ada satu Miya di sekolah ini. Hanya aku. Tiga tahun harus berbagi nama dengan si bodoh itu di SMP, belum lagi orang-orang yang tak bisa membedakan kami meski Atsumu berada di kelas khusus yang hanya dia murid satu-satunya di sana. Si bodoh itu benar-benar ngotot ingin satu sekolah denganku dan membuat ibu harus menguras tabungan demi membelikan seragam serta membayar guru privat hanya untuknya.

Aku bebas! Masa SMA-ku akan berjalan dengan sangat hebat! Selama datang kehidupan yang sesungguhnya! Akan kubuktikan pada ibu bahwa aku dapat bersinar tanpa bayang-bayang si beban.

Kami sibuk mengobrol tentang ekskul apa yang akan kami ambil nantinya kalau saja namaku tak disebut berkali-kali oleh radio sekolah.

Aku benar-benar hampir melupakan kekesalanku pada si bodoh itu. Sungguh. Aku bahkan nyaris menganggapnya benar-benar tak ada di muka bumi ketika semua orang memanggilku 'Miya'.

Sungguh aku yakin dia pasti tahu dan sengaja memperburuk suasana hatiku. Baru hari pertama dan ia sudah mempermalukanku seperti ini.

Saat tiba di ruang guru, wali kelasku memberitahu bahwa Miya Atsumu mencari Samu dan takkan bilang alasan menelepon sampai Samu sendiri yang mengangkat telepon.

“SAMUUU!!! SAMU, SAMU, SAMU!!!” Tangisan si bodoh sangat keras dan aku takut kalau satu sekolah bisa mendengarnya.

“Sialan kau,” bisikku berusaha menahan diri untuk tidak teriak di ruang guru saat gagang telepon beralih ke tanganku. “Kau benar-benar! Dari mana kau bisa tahu nomor sekolah?! Di mana ibu??? Jangan sembarangan telepon! Kau tidak ingat rumah kita didatangi ambulans karena kau telepon rumah sakit dan bilang ikanmu mati??!!!”

“Samu... Apakah Samu masih membenciku?”

Aku melongo. Bodoh. BODOH. Aku hampir meneriakinya seperti itu kalau saja dia tak melanjutkan, “Maaf kalau Samu masih marah. Tapi ibu tidak bernafas dan cucian masih banyak. Nenek Kita sedang pergi jadi aku hanya memikirkan Samu saja. Apa Samu bisa pulang sekarang-”

Ibu tidak bernafas.

Ibu tidak bernafas.

Ibu tidak bernafas.

Hanya tiga kata yang terngiang di benakku hingga gagang telepon terjatuh dari tanganku. Tidak kupedulikan guru-guru yang memanggil namaku dan suara si bodoh yang terasa makin memekakkan telinga.

Mungkin, tidak ada yang namanya hari pertama yang sempurna.

Buku harian yang terhormat…

Eh.

Oke.

Ini. Sungguh. Bodoh”.

Sejujurnya, aku tidak begitu tahu bagaimana memulai halaman pertama buku sialan yang dia berikan kepadaku pada Natal lalu. Tapi aku mencoba yang terbaik untuknya.

Setidaknya, aku akan mencoba yang terbaik.

Sekarang, serius. Bagaimana biasanya orang menulis buku harian? Apa yang akan dia lakukan? Dia yang memberikan hal semacam ini padaku, kan? Dia seharusnya jauh lebih hebat soal masalah beginian. Mengapa dia tidak membimbingku dulu?

Sudahlah. Mari kita mulai dengan memperkenalkan diri dan berpura-pura bahwa ini adalah dokumenter sepanjang 4 musim tentangku. Huh.

Namaku Daishou Suguru, seorang akuntan yang sangat membosankan yang hidupnya selalu seperti badai petir.

Aku sedang tidak hiperbola ataupun bercanda (serius). Aku sering merusak kebahagiaan semua orang dan untuk memastikan itu tidak terjadi di lain waktu, aku harus bahagia terlebih dulu.

Langit cerah, langit cerah, itulah yang selalu ingin dilihat orang begitu mereka bangun dan membuka jendela kamar, disapa oleh sinar mentari yang ramah dan siap menerangi bumi hingga nanti.

Begitulah. Langit cerah, langit cerah. Itu juga yang selalu aku gumamkan, berharap mereka bisa keluar dari rumah mereka, membeli secangkir kopi dari toko lokal favorit mereka, dan memulai hari dengan senyum lebar.

Jadi Koji, teman satu apartemenku, tidak perlu khawatir akan sepatunya yang terkena genangan air karena hujan lebat.

Singkatnya, emosiku benar-benar mengendalikan cuaca. Kau mungkin berpikir aku hiperbola lagi sekarang. Tapi tidak, aku tidak. Aku tidak pernah selebay itu.

Katakanlah hidupku memang menyerupai badai petir. Masih seperti itu sampai sekarang. Cuaca cerah nan hangat hanya dapat dialami selama beberapa menit, terutama ketika aku akhirnya menerima gaji, kemudian langit menjadi suram begitu aku tak sengaja menumpahkan kopi ke baju kantor yang baru kuseterika.

Mungkin hal menyebalkan terjadi karena aku tidak pernah merasa bahagia sepanjang waktu. Aku membenci diriku sendiri karena apa yang disebut hadiah itu. Isumi berkata bahwa aku harus bersyukur karena mungkin aku menjadi salah satu dari miliaran manusia di bumi yang dilahirkan dengan kemampuan khusus ini dan semua orang ingin punya kekuatan super.

Sungguh, aku harap mereka bercanda. Mereka lebih baik menjalani kehidupan normal mereka yang diberkati, karena tidak bisa mengendalikan cuaca adalah kutukan bagiku.

Tidak mudah mempertahankan suasana hatimu 24 jam per hari. Apalagi jika harus mendengarkan gerutuan kereta terlambat sepanjang perjalanan ke kantor, rekan kerja yang duduk di sebelah dan segala drama perselingkuhan dengan atasan (lebih lagi aku tak bisa melakukan apapun), pekerja kafetaria yang jorok (aku tak bisa melepas mataku untuk mengawasinya sejak melihatnya mengupil), bahkan kembali ke apartemen dan tak dapat menyalakan microwave karena lupa bayar listrik (terima kasih pada Hiroo yang sedang mencari pekerjaan baru tidak punya uang untuk bayar juga).

Bagaimana bisa kau tak mengeluh tentang guntur dan badai sepanjang hari?

Atau mungkin, badai berlalu-lalang karena aku sudah berbulan-bulan tidak mengunjungi kafe kucing itu.

Tempatnya masih buka setiap pagi hingga jam makan malam di tengah kota yang ramai dan langit yang mendung, namun tidak seterang pertama kali aku pergi ke sana.

Kazuma masih menjadi pelanggan setia di sana untuk bertemu dengan kucing bermotif sapi favoritnya. Dia juga yang membawaku ke sana, meskipun dia tahu betapa aku tidak menyukai binatang. Aku bahkan baru tahu dia ternyata secinta itu dengan binatang.

Dan juga, bukannya aku benci binatang, jangan salah paham. Mungkin… Takut?

Oke, kata itu membuatku terdengar seperti pengecut, tetapi orang-orang di sekitarku, secara mengejutkan, dapat memahami bahwa tanpa menilai bagaimana pria jangkung dan bermata licik sepertiku tidak akan mungkin menyentuh benda kecil lucu yang tidak berbahaya seperti anak kucing.

Tapi entah bagaimana dia membuatku berhasil.

Awalnya, itu adalah agenda yang sangat membosankan yang harus saya hadiri karena Kazuma memaksaku untuk ikut dengannya ketimbang minum-minum di bar setelah lembur yang membasahi kota Tokyo. Setelah aku menyelesaikan tumpukan pekerjaan, dia menyeretku duduk di atas bantal yang empuk dan meletakkan sesuatu yang kecil di antara pangkuanku.

Seekor anak kucing hitam, aku bahkan tidak ingat nama rasnya, dan aku sangat terkejut sehingga hampir berteriak seperti uang sewa apartemenku sudah jatuh tempo. Guntur yang sangat keras tercipta dan mengejutkan sebagian besar hewan peliharaan di sana.

Sekelompok siswa sekolah menengah yang berkunjung ke sana dan duduk di dekat jendela memberiku tatapan aneh seperti 'Mengapa om-om menyeramkan ini datang ke kafe kucing hanya untuk memesan secangkir kopi hitam dan mengusir kucing-kucing itu???'

Sebagian lainnya bergumam tentang kemungkinan hujan badai dan kebetulan mereka tidak membawa payung padahal warga selalu tahu bahwa setiap hari akan mendung karena aku tidak seberuntung mereka yang hanya bisa mengeluh. Yah. Bukan salahku langit menumpahkan hujan ke kota karena seekor anak kucing duduk dengan tanpa dosa di pangkuanku.

Kemudian, setelah kekacauan singkat, dia muncul dari balik dapur dan menawarkan bantuan.

Pekerja paruh waktu yang kupikir adalah pemilik kafe kucing karena penampilannya yang dewasa dan mapan, meskipun aku tidak dapat menilai usia orang ketika aku sendiri sepertinya lebih tua darinya.

Wanita berambut coklat yang tergerai bebas itu menanyakan kekhawatiranku, kemudian dia mengambil salah satu tanganku, membimbingku untuk menyentuh anak kucing itu, dan mengucapkan beberapa kata ajaib dengan suaranya yang semanis ubi ungu. Dia menjinakkanku seolah-olah aku ular berbisa yang lari dari kebun binatang dan mengancam keselamatan makhluk hidup lainnya.

Senyumnya juga terlihat seperti kucing. Poni coklatnya yang halus mengingatkanku pada bulu kucing di pangkuanku meski beda warnanya. Dan aku sungguh memiliki keinginan untuk mengelusnya alih-alih makhluk mungil yang mulai tertidur dengan tidak sopannya di antara lututku.

Anak kucing hitam itu tidur nyenyak setelah belaian hangat dariku. Lalu aku menanyakan namanya. Dia menjawab, Taro, nama kucing itu, yang mana sangat lucu bagiku sampai Kazuma harus mengoreksinya karena namanya lah yang kutunggu.

Lalu kau tertawa, malu pada diri sendiri hingga pipimu sewarna bunga sakura. Wajahmu yang menunduk perlahan terangkat ke atas, dengan mata terkubur oleh pipi dan aku bertanya-tanya bagaimana penampilanmh saat itu tanpa sebelah tangan menutupi senyum salah tingkah.

Yamaka Mika, katamu dengan suara yang lebih indah dari notifikasi bonus tahunanku.

Tiba-tiba, malam itu menjadi malam bersalju yang cerah. Salju pertama tahun ini! Apa yang selalu ditunggu setiap pasangan untuk momen romantis, bukan?

Tapi tidak. Saat itu, orang-orang menyalahkanku —tentu saja tanpa sadar karena hanya teman dekatku yang mengetahui kebenaran di balik perubahan cuaca yang terus-menerus— bahwa salju datang terlalu dini. Lebih dari 2 minggu lebih awal dari White Night karena masih awal musim semi.

Mereka harus bersyukur bahwa itu bukan badai salju seperti Natal yang lalu. Hiroo hampir membakar apartemenku karena kue eksperimennya yang gosong dan dia merasa bersalah meskipun aku tidak akan pernah marah padanya.

Kembali lagi. Aku bahkan tidak menyesal. Mereka masih bisa menikmati kelopak bunga sakura dengan kepingan salju musim gugur tentunya, dan memiliki momen manis yang sangat langka bersama kekasih mereka.

Sekarang, lihat. Langit cerah mulai mengatasi sore yang mengerikan ini. Aku tidak percaya aku hampir mengisi halaman pertama buku harian ini hanya berbicara tentang dia di bagian akhir.

Atau mungkin kau, Mika. Rasanya seperti berbicara padamu dan mengenang pertemuan pertama kita.

Sial.

Aku tersenyum seperti orang bodoh lagi. Hanya membayangkan kau berada di hadapanku saat ini, bertopang dagu dan mendengarkanku, membuatku sangat bahagia.

“Ini sama saja kaya nganterin Kenma ke sekolah,” ucap Tetsurou untuk kesekian kalinya sejak kemarin pada Kei.

Dan menitipkan Kenma di tangan yang aman, Kei memutuskan untuk mengiyakan kalimat tersebut. Toh, cuma dua jam. Dia kencan sama Tetsurou juga bukannya yang sampai seharian kaya jaman sekolah dulu.

Tadinya mereka berencana untuk nonton, tapi setelah dipikir-pikir, kayanya waktu dua jam akan terbuang sia-sia karena mereka hanya akan berdiam menatap layar dan tidak bisa leluasa mengobrol.

Jadi di sinilah mereka sekarang, di toko yang biasa dijadikan tempat tongkrongan Kei dan teman-temannya waktu pulang sekolah dulu. Toko itu milik pelatih SMA Karasuno, yang tentu saja sangat mengenal Kei. Lokasinya tetap sama, hanya saja eating area yang dulu selalu Kei huni sudah digantikan oleh anak-anak sekolah lain.

Karenanya pasangan suami-suami itu cuma membeli minuman hagat dan pergi ke taman sekitar sana. Duduk di bangku panjang dan memperhatikan manusia lain yang melakukan berbagai aktivitas. Ada anak muda yang piknik, anak kecil yang bermain lempar tangkap, dan masih banyak lagi.

“Inget ga, sih?” Tetsurou membuka pembicaraan setelah meneguk minumannya. “Waktu kita awal-awal jadian, aku sempet nyasar ke sini. Niatnya mau kasih kejutan, tiba-tiba muncul di gym sekolahmu. Eh, ternyata aku bener-bener ga tau arah.”

“Oh, iya ya,” kekeh Kei. “Aku sampe marah gara-gara waktu itu lagi latihan dan kebetulan kres sama yang lain. Tapi pas lihat kamu malem-malem di sini, malah kasihan akunya.”

“Haha… LDR gini banget. Aku beneran mau balik ke Tokyo semisal sampe jam 9 kamu belum dateng jemput aku.”

“Makanya jangan dadakan!”

“Namanya juga surprise !” Kali ini tawa Tetsurou perlahan senyap, meski senyum masih terulas lebar di wajahnya. “Lagian setelah itu kita nangis bareng di sini.”

Kei mengangguk mengiyakan. Ia ingat, saat itu mereka berdua sedang dilanda masalah sana-sini. Tetsurou yang hampir menyerah di semester kedua kuliahnya, lalu Kei yang nyaris keluar dari ekskul karena merasa kehadirannya akan langsung digantikan oleh anak-anak baru.

Sebenarnya Kei memang orang yang gampang ngambek, tapi entah kerasukan apa saat itu sampai ia juga ingin menyerah. Bagaimana ya rasanya, menghilang dan dicariin sama mereka? Dan ternyata, belum ada sehari, semua orang benar-benar menyeretnya untuk kembali ikut latihan. Kei berharap, dia bisa menjadi sosok yang seperti itu juga untuk Tetsurou meski dari jauh.

“Keiji sama Bokuto beah banget, ya.” Tetsurou membuka topik lain. “Kuliah mereka udah jarang ketemu meski masih sama-sama di Tokyo. Sekarang udah nikah malah pisah kota.”

“Kasihan sih, itu. Kak Keiji ke Sendai berharapnya dapat suasana yang tenang. Ternyata ketemunya sama Kak Udai dan punya anak Shoyo,” timpal Kei geli.

“Tapi waktu ketemuan sama Bokuto ya, masih adem aja. Kaya yang, ga ada canggungnya gitu.”

“Ya, kita kan, ga tau urusan keluarga orang lain,” sahut Kei. “Kak Iwaizumi sama Kak Oikawa juga keliatannya perang tiap hari, tapi kayanya di rumah adem. Kayanya, lho. Walau ada aja dramanya sampe ngelibatin tetangga.”

“Hahahaha, bener! Trio setan sayang banget sama mereka, kaya ga ada boundaries between them. Kalo Daichi sama Suga… Semua orang bisa menduganya, lah. Si Bubu sama Semi sih, yang paling gak kusangka. Sama-sama mantannya Ushiwaka pula. Pantesan bisa saling memahami gitu.”

Kei tertawa kecil mengingat Kenjiro yang dulu juga sering curhat ke dia dan menjadi saksi perjalanan cinta si dokter muda yang awalnya ‘Ushiwaka ini-itu’ menjadi ‘Kak Eita gini-gitu’.

“Dipikir-pikir, mereka semua ini temen kamu lho, Yang,” ujar Tetsurou sambil menatap Kei. “Selain Bokuto sama Keiji lho, ya. But in the end, aku juga jadi ikut kenal semua temenmu ini sampe kita tetanggaan.”

“Kan, kamu yang mutusin ikut ke Sendai, Tetsu.”

“Yeah, that’s the point. Thanks for inviting me to enter your world, Kei.”

Kei tersipu. Tetsurou memang jago membuat pipinya hangat dan memaksa bibirnya untuk terus tersenyum.

“Thanks for building a better world for us, Tetsu.”