“Kiyooo, aku masih tidak percaya Kak Iizuna mau kuajak ke event wibu!!!”
“Benarkah?”
Kiyoomi tersenyum simpul mendengarkan Motoya yang begitu gembira di sambungan telepon, mengingat kalau beberapa hari lalu Tsukasa menanyakan apa yang harus dipakainya untuk mengikuti acara seperti itu dan segala tata cara yang ada agar tidak mengecewakan Motoya.
“Jadi kalian sebentar lagi akan ke sana?” tanyanya seraya mengambil satu set jaket dari dalam lemarinya.
Ia baru sadar kalau ia memakai jaket yang sama dengan saat pertama kali ia datang ke acara wibu itu dan bertemu Atsumu. Mau bagaimana lagi? Kiyoomi sedang sangat suka dengan jaket itu dan rasanya ia sudah memakainya 6 kali sejak membelinya bulan lalu.
“Karena apartemennya lebih dekat dengan gedung acara, jadi ia akan menjemputku di stasiun. Bagaimana kalau kita pergi bersama?”
“Aku bosan jadi orang ketiga.”
“Oh, ayolah! Sudah lama kita tidak jalan bertiga!”
“Mungkin aku akan menyusul.”
“Kau benar-benar akan datang, kan???”
“Iya. Pokoknya kalian bersenang-senanglah. Aku masih ingin mengurus beberapa hal lain.”
“Apakah soal anime yang akan rilis itu??? Aku tidak sabar untuk menontonnya. Kak Tsukasa selalu merahasiakannya dariku.”
“Tolong. Kau tahu aku paling alergi membicarakan pekerjaan di hari libur, apalagi mengurusnya.”
Setelah beberapa percakapan lainnya, Motoya mengakhir telepon lebih dulu karena ia harus buru-buru pergi ke sekolah untuk meletakkan laporan murid yang digarapnya di rumah, lalu ke stasiun dan membeli roti kesukaan Tsukasa.
Kiyoomi menghembuskan nafas gelisah saat melihat jam yang semakin siang dan Atsumu belum membalas pesannya. Ia ragu apakah harus menelepon, tetapi ia mencoba memposisikan dirinya di sisi si pirang. Mungkin ia sedang sibuk sekali mengurus keperluan cosplaynya yang tidak sedikit itu jadi tidak sempat melihat ponsel.
Sebetulnya Kiyoomi juga tidak tahu harus melakukan apa di sana selain menampakkan muka di depan Atsumu (karena sepertinya kehadirannya sangat dinantikannya). Jadi tentu saja ia harus memastikan apakah Atsumu sudah sampai di sana atau tidak supaya ia tidak begitu bingung sendirian saat sudah di tempat.
Baru saja Kiyoomi mempertimbangkan apakah ia harus mengepel sambil memikirkan harus naik taksi atau kereta (karena kata Motoya acara kali ini di dekat stasiun dan sudah pasti akan ramai), ringtone dari anime voli yang direkomendasikan oleh Atsumu terdengar nyaring dari ponselnya.
“Atsumu?” Kiyoomi langsung menyapa sambil buru-buru memasang headset bluetoothnya, dan suara panik Atsumu segera menguasai pendengarannya. “Eh? Ada apa?”
“AKU BELUM SIAP!!! AKU BENAR-BENAR PAYAH, OMI-KUN!!!”
“Kau menangis?” tanya Kiyoomi terkejut.
Ia sudah sering mendengar Atsumu yang meraung entah karena stress, capek, panik, cemas, atau berbagai emosi lain di tempat kerja mereka, jadinya ia kaget kalau harus mendengar nada yang sama juga detik-detik menjelang acara favorit si pirang.
Atsumu terdengar menyedot ingusnya lalu mengeluarkan semua uneg-unegnya, “Aku belum siap. Koperku rusak dan aku tidak punya cadangan koper lagi, jadi aku memasukkan semuanya ke dalam tas gymku. Tapi wig-ku tersangkut dan rusak, jadi aku berusaha keras untuk memotong dan merapikannya supaya masih terlihat seperti Sawako. Sekarang aku di tempat tidur dan Samu marah-marah karena aku belum siap. Sebentar lagi kita akan menjemput Rin juga, tapi aku masih merasa kacau karena kejadian barusan. Aku baru saja mencari kaos kaki putihku sampai banjir keringat dan harus mandi... ARGHHH!!!”
“Hei...” Kiyoomi duduk di tempat tidurnya dan memikirkan kata-kata agar tidak membuat Atsumu tersinggung. “Aku belum berangkat, kok.”
“Aku tahu. Kau menungguku. Maafkan aku!” Atsumu menghembuskan nafas panjang. “Aku selalu panik sendiri dan melupakan banyak detail bahkan untuk diriku sendiri. Aku tahu aku harus menyiapkan dari jauh hari atau setidaknya semalam, tapi aku terlalu meremehkan dan merasa aku bisa menyelesaikannya di pagi hari. Tapi ini sudah siang dan aku masih belum mandi.”
“Kau sudah mengecek lagi apa saja yang kau bawa?”
“Aku harap sudah...” Terdengar resleting tas yang dibuka dan benda-benda yang menimpa satu dengan yang lain. “Wig, seragam, kaos kaki, sepatu, tas makeup, pelurus rambut, semprotan, apalagi yang kubutuhkan...”
“Kau sudah mengisi tas makeupmu dengan... Makeup?”
“Sudah, sudah- Oh, aku melupakan jaring rambut dan jepitku.”
“Lensa kontak?”
“Sudah kupakai. Aku tadi minta Samu yang memakaikannya karena... Aku tidak bisa...”
“Bagus. Kalau begitu lakukan sesuatu yang tidak membuatmu menangis, nanti lensa kontakmu bisa jatuh kapan saja.”
“Aku tahu!”
“Kau sudah berusaha,” ucap Kiyoomi, berharap kata-katanya bisa menenangkan Atsumu karena ia bingung harus apa. “Dengar, aku tidak bisa membantumu apapun mengenai cosplay. Tapi aku harap kau yang paling bersenang-senang hari ini. Jadi jangan membuat dirimu terlalu terbebani.”
“OMI-KUUUN, AKU JUGA INGIN KAU MENIKMATI ACARANYA DAN BERINTERAKSI DENGAN ANIME LAIN!!!”
“Lihat saja nanti. Sekarang mandilah dan kita akan bertemu dalam satu jam. Bagaimana? Kau juga bisa telepon aku lagi jika membutuhkanku untuk mengingatkanmu sesuatu.”
“Akan kuusahakan. Terima kasih banyak, Omi-kun. Aku merasa lebih baik sekarang. Sampai jumpa!”
Telepon dimatikan. Kiyoomi melepas headsetnya karena baru sadar sejak tadi ia tersambung dengan loadspeaker dan bukan bluetooth.
Atsumu tertawa sambil melihat refleksi dirinya di cermin yang terpasang sepanjang koridor menuju tempat acara. Ia sedikit gugup karena sudah lama sekali tidak memerankan karakter berambut hitam seperti Sawako di Kimi Ni Todoke, bahkan Osamu saja lupa bagaimana wajahnya saat sebelum mengecat rambutnya ke warna terang.
“Kaya nostalgia,” ujar Rintarou, ikut bercermin sambil membetulkan topinya yang miring, lalu posturnya agar terlihat tegap seperti karakter pemain baseball yang diperankannya, Furuya Satoru. “Walaupun sekarang kamu sering meranin karakter yang berani, tapi dulu kamu pemalu banget pas pertama kali cosplay. Makanya aku bilang cocok jadi Sawako.”
“Long hair and skirt do look good on me.”
“Memang.”
“Rame banget yang cosplay game hari ini.” Osamu yang berada di belakang membawakan koper Rintarou dan tas milik Atsumu, berkomentar saat sampai di aula dan melihat banyak sekali cosplayer karakter game yang berpapasan dengan mereka dibandingkan anime dan film. “Tsumu, engga dicariin temanmu?”
“Oh, iya!” Atsumu segera mengecek ponselnya dan berbinar saat membaca pesan dari Kiyoomi. “Dia sudah bersama teman-temannya. Sebentar, Samu, aku mau mengambil hadiahku.”
“Hah? Kenapa kau selalu punya hadiah untuknya?” tanya Osamu dan membiarkan Atsumu mengacak-acak isi tas gym yang dipanggulnya di sebelah bahu.
“Penggemar spesial,” goda Rintarou.
“Tidak, tidak, dia ini sudah banyak membantuku. Jadi aku setidaknya mau berterima kasih!”
Setelah mendapatkan yang ia cari, Atsumu segera meninggalkan Osamu dan Rintarou yang mulai dikerubungi oleh penggemar yang mengenalnya. Atsumu berusaha melewati cosplayer-cosplayer berbadan besar dan baju mereka yang berat, sebisa mungkin tidak menyenggol mereka.
Matanya berhasil menemukan sosok Kiyoomi yang berdiri dan bersandar pada pilar bersama Tsukasa (wah, akhirnya seniornya itu datang!) dan seorang laki-laki berambut coklat dengan alisnya yang lucu (apakah itu sepupunya yang adalah penggemar Rin???). Dalam hati, Atsumu bersyukur Kiyoomi tidak terlihat tertekan seperti waktu itu meski sekarang jauh lebih ramai. Ataukah Kiyoomi menyembunyikan perasaannya?
Atsumu terhambat oleh 2 sesi foto dadakan saat ada penggemar karakternya yang menghadangnya dan mengajak untuk mengambil gambar bersama. Tidak ada satupun dari mereka yang mengiranya adalah Natsumi karena Sawako adalah satu-satunya karakternya yang berambut hitam dan riasannya yang cenderung lebih polos dari lainnya.
Setelah menghabiskan waktu 15 menit, Atsumu melihat Kiyoomi yang saat ini sendirian. Apakah Tsukasa dan temannya pergi ke tempat lain untuk membelikan Kiyoomi sesuatu? Oh, apakah Kiyoomi overload lagi?
“Omi-kun!” seru Atsumu, lega sekali karena ia berhasil mencapai pria berambut hitam itu.
Kiyoomi yang tadinya sangat menunduk seperti ingin hilang dari muka bumi, mendongak dan terkejut melihat Atsumu, seperti tidak mempercayai apa yang dilihatnya.
“Atsumu?” Tatapannya menilai dari atas sampai bawah, lalu mulutnya yang tertutup masker berkomentar, “Kau terlihat sangat lembut.”
“Aku anggap itu sebagai pujian,” sahut Atsumu ringan, lalu menyerahkan hadiah yang syukurlah tidak dilupakannya.
“Apa?” Kiyoomi menerimanya walau bingung, lalu segera mengenali isinya saat melihat gambar dan merk pada kotaknya. “Undian apa yang kumenangkan kali ini?”
“Kau tidak membawa headphone-mu, kan? Kau sekarang juga tidak memakai headset. Jadi aku berjaga-jaga siapa tahu kau tidak membawa keduanya hari ini,” jelas Atsumu. “Kau selalu menggunakannya saat bekerja, katamu itu membuatmu lebih tenang dan menutup kebisingan dunia dari ketenangan batinmu. Semoga ini membuatmu senang hari ini.”
“Ah, iya. Terima kasih kalau begitu. Headphone-ku tertinggal di kantor dan headsetku... Aku lupa mengisi daya baterainya.” Kiyoomi menurunkan maskernya dan menunjukkan senyum kecilnya. “Kau tahu, bukan hanya kau orang di dunia ini yang melupakan detail.”
Tanpa sadar, Atsumu menggoyangkan badannya ke kiri dan kanan, tanda bahwa ia sangat senang dengan apa yang di dengarnya.
“Jadi... Apa kau ingin jalan-jalan atau mencari tempat untuk duduk? Aku tadi lihat Kak Iizuna dan temannya. Apa dia penggemar Rin? Komori, kan?”
“Iya,” timpal Kiyoomi. “Dia datang?”
“Rin-chan sedang menjadi Rin-kun sekarang dan iya, dia bersama Osamu sekarang. Pasti masih dikerumuni oleh penggemarnya dan aku yakin Komori-kun juga sudah menemukannya.”
“Semoga Motoya tidak serangan jantung melihatnya.”
“Oh, percayalah. Penggemar wanitanya Sunarin jauh lebih gila jumlahnya. Sudah kubilang dia itu aslinya perkasa, wajah malasnya sangat menipu.”
Mereka akhirnya memutuskan untuk jalan-jalan sebentar, lalu kembali ke tempat-tempat yang berada di pojok agar Kiyoomi bisa beristirahat di keramaian. Atsumu terkadang pergi untuk mencari karakter atau cosplayer favoritnya, tetapi hanya sebentar dan selalu kembali dengan tangan penuh merch dan membagikannya pada Kiyoomi.
Sepertinya sekarang ada satu hal yang Atsumu suka dari acara wibu selain berpose dan berdandan, melihat Kiyoomi tersenyum seperti tadi. Baiklah, mari pikirkan baik-baik cosplay selanjutnya dan beri kejutan yang lebih bermanfaat lagi!
“Samu monyet!”
“Hah? Kenapa?” Kiyoomi menurunkan headphone-nya ke bahu karena Atsumu tiba-tiba mengumpat begitu keluar dari ruang ganti cosplayer.
“Dia dan Rin! Mereka selalu begitu!” Atsumu cemberut dan dengan agresif mengetikkan sesuatu di room chat kembarannya.
“Hah? Kenapa, sih?”
“Mereka meninggalkanku!”
“Motoya dan Kak Iizuna juga pergi entah ke mana,” timpal Kiyoomi. “Kalau mereka, sih, biasanya kubiarkan saja. Lagipula aku tidak suka jadi orang ketiga.”
“Orang ketiga???” Atsumu tergelak, seperti lupa dengan kekesalannya pada Osamu. “Kenapa bisa begitu? Ternyata kau sering jalan-jalan dengan mereka, ya?”
“Bisa dibilang begitu. Tapi dulu waktu kami masih sekolah dan kuliah, aku lebih sering ikut Kak Iizuna ke supermarket dan pameran alat kebersihan karena Motoya... Meski dia guru taman kanak-kanak, ia tidak sebersih itu saat di rumah. Dalam artian, dia hanya bersikap profesional saja saat di lingkungan kerja. Jadi kalau kami jalan bertiga, Motoya selalu pergi sendiri mencari komik dan terkadang buku cerita anak-anak.”
“Osamu juga sering menegur pegawainya untuk lebih hati-hati saat memberi bumbu dan minyak, tapi di rumah ia sering berbuat salah yang serupa dan menjadikan Mama korbannya. Akupun juga sering diberi makanan yang sangat asin setiap kali kami bertengkar. Sayangnya aku tidak bisa membalasnya karena aku payah dengan urusan dapur dan aku takut malah membuatnya keracunan sungguhan.”
Kiyoomi berjalan di samping Atsumu yang membetulkan tasnya, sambil melihat cosplayer lain yang juga melakukan hal yang sama. Ini pertama kalinya bagi Kiyoomi untuk mengikuti acara wibu sampai akhir dan pulang bersama para cosplayer yang sudah melepas dandanan mereka. Banyak crossdresser seperti Atsumu dan mereka menghargai satu sama lain dengan tidak menyebar identitas asli.
Wah, orang-orang ini juga memiliki kehidupan biasa sepertinya. Ada yang sedang menelepon rumah dan menanyakan apakah ada yang ingin titip sesuatu ke supermarket padanya. Ada yang masih merasakan euforia acara tadi dengan teman-teman mereka dan bercerita dengan gembiranya. Kebanyakan juga sibuk mengecek jadwal transportasi umum untuk membawa mereka pulang.
“Aku akan naik taksi karena pasti stasiun dan halte akan ramai,” ujar Kiyoomi. “Kau bagaimana?”
“Aku juga akan naik taksi karena kembaranku yang seperti monyet itu meninggalkanku dengan pacarnya yang seperti rubah Tibet.”
“Kalau begitu mau satu taksi denganku?”
“MAU!!!”
Awalnya Kiyoomi rasa semuanya akan baik-baik saja. Atsumu masih mengoceh seperti biasa, kali ini bercerita tentang masa kecilnya dengan Osamu yang beberapa poin sudah pernah diceritakannya atau mungkin masa itu yang berulang hingga besar karena Kiyoomi lumayan mengingat detailnya.
Sampai beberapa ratus meter mendekati apartemennya, taksi menjadi sunyi dan kepala Atsumu tiba-tiba saja bersandar di bahunya. Cerita-cerita tergantikan dengan dengkuran halus.
Kiyoomi berusaha menahan geli karena rambut Atsumu yang mengenai leher dan telinganya.
“Atsumu...” bisik Kiyoomi sambil tangannya yang berada di sisi Atsumu menggapai pipinya dan menepuknya pelan. “Kita sudah sampai. Singgahlah di apartemenku dulu.”
“Hmm, 5 menit lagi...”
“Aku tidak akan kuat menggendongmu sambil membawa tasmu. Ayo, berdirilah dulu.”
Akhirnya Atsumu menurut, dengan mata yang masih setengah terpejam, berpegangan pada Kiyoomi yang turun dari taksi dan harus naik tangga menuju apartemennya yang berada di lantai paling atas. Kiyoomi sedikit kesusahan membuka kunci dengan membopong Atsumu yang malah keenakan tidur di bahunya.
“Buka sepatumu dulu,” ujar Kiyoomi sambil tangannya meraba tembok untuk mencari tombol lampu.
“Iya, iya...” Atsumu melepas sepatunya dengan asal.
“Awas!” Kiyoomi segera mendekap Atsumu yang hampir tersandung lantai yang lebih tinggi. “Astaga, kau ini, setidaknya buka matamu dulu!”
Dengan segala usahanya, Kiyoomi berhasil menghempaskan Atsumu ke atas sofanya. Jika ini situasi normal, ia pasti akan menyuruh Atsumu untuk cuci tangan terlebih dahulu.
“Kau mau makan?”
Tidak ada jawaban saat Kiyoomi bertanya dari arah dapur. Oh, benar. Atsumu langsung tertidur di atas sofanya yang nyaman. Kiyoomi mengeluarkan bento minimarket yang disimpannya di kulkas, lalu menghangatkannya dengan microwave.
Sepertinya Atsumu akan menginap di tempatnya hari ini. Ia pernah diberitahu Osamu saat kali kedua ia berkunjung ke kedai onigirinya kalau Atsumu sangat kebo dan jika sudah benar-benar terlelap, gempapun takkan membangunkannya. Jadi, Kiyoomi sebenarnya beruntung Atsumu masih beberapa persen sadar karena kalau tidak, ia benar-benar harus menggendongnya.
Mungkin efek dari mental breakdown yang dialami Atsumu sebelum berangkat ke tempat cosplay menambah 3 kali lipat rasa lelahnya. Kiyoomi kadang merasa bersalah karena ia lumayan sering membentak Atsumu di tempat kerja akibat kesalahpahaman, tapi ia sendiri juga butuh pekerjaan itu selesai agar jiwanya bisa tenang.
Setelah menikmati makan malamnya, Kiyoomi pergi ke kamarnya mengambil kapas dan pembersih wajah. Pelan-pelan mengaplikasikan cairan pembersih wajah miliknya ke riasan si pirang yang rupanya cukup tebal meski terlihat natural. Kiyoomi rasa tidak ada orang yang akan nyaman tidur dengan makeup.
Seusai membersihkan makeup, Kiyoomi melepaskan tas gym yang masih melingkar di bahu Atsumu, lalu menurunkan selimut yang tersampir di kepala sofanya untuk menutupi tubuhnya.
Membiarkan Atsumu tidur sepuasnya di sana sementara ia pergi ke kamar untuk mencatat inspirasi-inspirasi warna hari ini.