chuurreal

Kenma baru tidur jam 1 pagi. Tetsurou terkapar di kamar anaknya dan justru bangun paling terakhir. Ya, kalau anak begadang, otomatis orang tua juga tidak akan bisa tidur dengan tenang.

Mau tenang bagaimana kalau tiba-tiba si kecil menghilang dari dekapan dan sudah memanjat counter dapur mau bikin susu sendiri, memanaskan apple pie ke microwave, sampai menyalakan PS sendiri dan hampir mencolokkan jarinya ke terminal listrik?

Sebenarnya selama ini Kenma juga bukan anak yang gampang tidur meski ia mageran. Mirip sekali dengan Kei. Awal-awal menikah, Tetsurou saja sampai hampir stress karena ia sudah memasuki alam mimpi tapi Kei malah masih asik main game atau pergi menonton TV di luar.

Tapi setidaknya pagi ini Kenma sudah tidak menangis lagi. Walau mukanya ditekuk, ia memakan sayurnya sampai habis, membantu menata piring ke dishwasher, merapikan mainan dan tempat tidurnya, dan mandi tanpa disuruh.

Sebagai hadiah (yang sebetulnya juga sudah direncanakan jauh hari), Tetsurou mengajak Kenma pergi ke kebun binatang. Kenma terlihat senang! Dia bahkan menyiapkan sepatu Papanya dan mau memasang sabuk pengamannya sendiri saat di mobil.

Tetsurou terharu, anaknya benar-benar bisa diajak kerja sama dan berusaha untuk mandiri seperti janji kemarin.

Kebun binatang hari ini cukup ramai karena sedang musim liburan sekolah. Sepanjang jalan-jalan, Kenma sangat antusias memperhatikan setiap hewan sembari Tetsurou menceritakan beberapa fakta yang ia ketahui. Kenma juga memberanikan diri untuk memberi makan jerapah. Siap-siap saja memori Kei yang akan penuh dengan foto tamasya hari ini.

“Otter!” ucap Kenma sambil menunjuk ke arah kumpulan berang-berang kecil yang mengapung di air.

“Lucu, ya?” Tetsurou menggendong Kenma supaya anaknya bisa melihat lebih jelas dan tidak terhalang pembatas. “Otter itu punya kelopak mata transparan, lho. Jadi di dalam airpun mereka tetep bisa melihat karena kelopak matanya tembus pandang itu tadi. Kalau Kenma renang harus pakai kacamata, kan?”

“Biar engga perih,” timpal Kenma.

“Betuuul! Terus berang-berang itu juga sukanya kumpul sama keluarga. Kalo Kenma suka ga, semisal kumpul sama keluarganya Uncle Aki sama keluarga Uncle Lev?”

Kenma berpikir sejenak, lalu menjawab, “Kalo sama Uncle Aki sama Aunty Lisa engga apa-apa. Tapi Uncle Lev berisik, jadi Kenma mau Uncle Mori-nya aja.”

“HAHAHAHA!!!”

Tetsurou terbahak sampai dilihatin oleh pengunjung lain, seharusnya dia rekam kata-kata Kenma barusan karena faktanya Lev sangat suka anak-anak sedangkan Morisuke selalu menghindari bocil.

“Woi, Kuroo!!!”

Mendengar namanya dipanggil (sepertinya memang dia yang dipanggil), Tetsurou menoleh dan mencari-cari siapa gerangan pemilik suara itu di antara kerumunan pengunjung.

“Oh, anj-“ Tetsurou langsung menutup mulutnya yang hampir mengumpat saat melihat kenalannya. “Ngapain di sini, sih??? Kurang kerjaan, ya???”

Ternyata cuma Daisho Suguru, tidak bisa dibilang teman dekat karena lebih banyak adu mulut dan tebar aib, tapi mereka lumayan sering hangout bersama Koutarou dan teman-teman voli Tokyo lainnya. Tentu saja Tetsurou kaget kenapa orang ini bisa datang ke Sendai di hari yang random ini.

“Lagi nungguin Mika-chan beli souvenir- Oh, jalan-jalan sama anakmu? Inikah si Kenma-chan yang lucu itu?” tanya Suguru sambil menunjuk Kenma yang sekarang bersembunyi di gendongan Tetsurou.

“Iya,” balas Tetsurou lalu beralih ke anaknya yang makin mengeratkan pelukannya. “Kenma mau say hi sama Uncle Daisho? Ini temen sekolahnya Papa.”

Kenma menggeleng cepat dan Tetsurou tertawa karena sudah menduga akan reaksi tersebut.

“Ga cocok banget jadi bapak-bapak,” kekeh Suguru. “Eh, kapan mau mancing lagi? Kemarin aku diajakin si Tendou ke Okinawa barangkali mau ikut.”

“Ngajakin ke Okinawa kaya mau ke 7-11. Bentar lah, kapan-kapan aja. Ini juga mau ada agenda mancing sama anak Sendai.”

Sementara dua pria dewasa itu sibuk membahas spot pancingan terbaik, Kenma mulai bisa mengerti sebagian besar yang mereka bicarakan. Ia mengalihkan pandangnya pada anak berang-berang yang tadinya berenang dengan orang tuanya, tiba-tiba berpisah dan membuatnya kebingungan sendiri di atas air. Ah, Kenma ikut panik sambil mendengarkan obrolan Papa dan temannya itu.

S-Sepertinya, Papa mau diajak pergi sama om-om yang mukanya kaya ular tikus kaya yang tadi Kenma lihat! Kan, Papa lagi jalan-jalan sama Kenma!

“PAPAAAAAWHWHHAHAAWHHWWWWAAAA”

“Ehh??? Kenapa ini, hm?” Tetsurou menepuk-nepuk punggung Kenma yang sekarang menangis di bahunya, lalu menatap sengit Suguru. “Gara-gara kamu ini-“

“ENAK AJA GARA-GARA AKU???”

“Udah, guys?” Suara lembut dan ceria seorang wanita cantik, yang adalah milik Mika, istri Suguru, menginterupsi pertengkaran mereka. “Oh, no… Ini Kenma-chan, ya? Kenma-chan kenapa?”

“Uncle Daisho nakal, Aunty,” balas Tetsurou, yang masih sibuk menenangkan Kenma tapi tak luput melemparkan senyum mengejek ke arah Suguru yang memasang muka kesal.

“Aduh, memang nakal dia. Nanti Aunty marahin ya, Uncle Daisho-nya! Cup, cup, cup!”

Akhirnya pasangan suami istri itu pergi dan Kenma mulai berhenti menangis karena diberi gantungan kunci red panda oleh Mika.

“Udah kan, Sayang?” Tetsurou mengelap muka Kenma yang basah karena air mata dan ingus dengan saputangannya. “Tadi Papa udah say thank you ke Aunty Mika. Sekarang Kenma masih mau lihat Red Panda apa mau jajan dulu?”

Kenma yang masih sesenggukan, hanya mengangguk dan asik menganalisa gantungan kunci empuk yang tiba-tiba berada di genggamannya. Aduh, itu bukan jawaban. Tapi Tetsurou lega, tangisan yang hari ini tidak selama yang kemarin.

Semoga drama ini segera selesai sebelum Kei pulang besok!

“HUWAAAAAAAAAAAAAA”

Sudah biasa bagi seluruh penghuni perumahan cemara mendengarkan tangisan bocah sepagi ini. Ya, bagaimana tidak biasa? Anak-anak mereka rata-rata berusia 5 sampai 7 tahun. Tentu usia yang sangat wajar bagi bocah umur segitu untuk belajar mengolah emosi.

Yang tidak biasa adalah, itu bukanlah tangisan Kaito yang terkenal sebagai bocah kematian, ataupun Tsutomu yang setiap hari menangisi semua hal.

Tapi, itu suara Kenma!

Iya! Bocah pemiliki ‘penitipan anak’ yang biasanya pasrah, plonga-plongo, dan mageran, pagi ini memiliki tenaga berlebih untuk bisa menangis sekeras itu sampai kedengeran satu blok.

“Kenma… Cup, cup, dong… Nanti Mama telepon kok, kalau sudah sampai,” bujuk Tetsurou yang kewalahan menenangkan anaknya.

“MAMAAAAAAAAHWHAHWHAAAAA”

Kenma masih menangis keras sampai suaranya terdengar parau, ingus serta air matanya sudah meleber kemana-mana, membasahi baju Papa yang sudah lima belas menit menggendongnya berkeliling area perumahan.

Jadi, begini ceritanya: Kei memang sedang ada jadwal outing bersama teman-teman kantornya ke Nagasaki selama dua hari. Sebenarnya tidak bisa dibilang sepenuhnya jalan-jalan juga sih, karena Kei yakin di sana pasti mereka disuruh melakukan sesuatu untuk pekerjaan.

Kei dan Tetsurou sudah melakukan “briefing” dengan Kenma selama satu minggu ini supaya anak mereka tidak kaget dengan Mama yang akan absen sementara di kesehariannya. Meski terlihat tidak rela dan sering ngambek saat diajak bicara, tapi Kenma nampaknya paham kalau Mama pergi untuk bekerja dan juga tidak akan lama.

Lalu mood yang sudah berusaha mereka bangun hancur total ketika pihak kantor datang menjemput Kei setengah jam lebih awal karena ternyata mereka salah memesan jadwal penerbangan. Alhasil mereka harus berangkat saat itu juga supaya tidak ketinggalan pesawat.

Tetsurou maupun Kei berusaha keras membangunkan Kenma tapi ternyata anak itu benar-benar masih lelap. Mungkin kelelahan karena si kecil semalaman nyaris begadang karena gugup mau ditinggal Mama pergi.

Jadinya Kenma yang baru bangun satu jam setelah Kei berangkat, panik mencari mamanya dan menangis saat mengetahui Mama sudah berangkat. Sedih sekali, padahal rencananya mereka masih bisa sarapan bersama. Tetsurou jelas kewalahan karena terakhir Kenma meledak sampai segininya adalah saat anak itu berusia 2 tahunan.

“WUOOOHHH, APPLE PIE!!! KENMA MAU APPLE PIE???” seru Tetsurou heboh, berusaha mengalihkan Kenma pada toko roti yang sudah dekat di jarak pandangnya.

Mendengar makanan kesukaannya disebut, tangis Kenma berangsur reda. Wajahnya sangat merah dan sesekali ia terbatuk karena tangisnya. Tetsurou mengelap muka Kenma yang basah dengan sapu tangannya, juga membersihkan ingus anaknya yang menempel kemana-mana.

“Aupainyawatsarapan?” tanya Kenma dengan suaranya yang sangat serak seperti orang habis makan 100 cabai.

Tetsurou selalu merencanakan menu makan sehari-hari keluarga kecilnya, tapi khusus hari ini dan mungkin besok, sepertinya tidak apa-apa kalau melenceng sedikit dari jadwal.

“Iya, apple pie-nya boleh buat sarapan. Udah dulu tapi nangisnya, ya? Nanti apple pie-nya jadi asin dan melempem kalo Kenma makannya sambil nangis.”

Kenma tidak menjawab, ia masih sesenggukan dan hanya menyandarkan kepalanya dengan lemas ke bahu Papa. Tetsurou menghembuskan nafas lega, memindahkan badan anaknya yang hampir melorot dalam gendongannya ke lengan satunya dan sesekali menepuk punggung si kecil untuk menenangkan.

Pak dokter mulai pegal karena kalau ditotal sudah hampir setengah jam dia menggendong Kenma yang badannya mulai besar. Sepertinya Tetsurou harus kembali nge-gym setiap hari, karena dia cuma olahraga saat Koutarou datang ke Sendai dan mengajaknya ke gym.

Saat hampir sampai ke toko roti yang dituju, mereka berpapasan dengan Tooru yang menuntun Tobio belajar menggunakan sepeda roda tiga.

“Ututu~ Kenma-chan kenapa, kok merah banget mukanya? Dijahilin sama Papanya, ya?” Mulailah Papa Trio Setan mengompori. “Mana Mam—”

Tetsurou langsung melotot, mengisyaratkan dengan jari dan tatapan matanya supaya sama sekali tidak menyebutkan nama Kei. Untungnya walau Tooru sedikit bermulut setan, ia masih bisa diajak kerja sama terutama dalam menghadapi anak tantrum.

Ya, bagaimana lagi… Tooru punya 3 anak yang sering mereog. Tentu dia paham sekali dengan situasi seperti ini.

“Kenma ga dikasih susu sama Papanya, ya?” tanya Tobio. “Di rumah Bio banyak. Kenma boleh ambil satu aja, tapi ambil yang leci aja, ya. Bio ga suka yang itu.”

“Heh! Nawarin yang niat, dong!” tegur Tooru.

Tetsurou terkekeh, lalu memiringkan badannya supaya Kenma yang di gendongannya bisa melihat Tobio dengan jelas.

“Tuh, ditawarin susu sama Bio! Kenma mau?”

Kenma justru menyembunyikan wajahnya di bahu Tetsurou dan mulai merengek lagi.

“Apple pie...”

“Oh, iya, iya. Kenma mau apple pie aja, ya? Itu toko rotinya udah di depan,” timpal Tetsurou, berusaha tidak cemas supaya anaknya tetap tenang, lalu beralih ke Tobio. “Kata Kenma susunya kapan-kapan ya, Bio!”

Shoyo terkikik saat akhirnya wajah Kenma memenuhi layarnya, telah bergabung sepenuhnya pada panggilan video call yang dinyalakannya sejak lima menit lalu.

Padahal ia sudah membayangkan Kenma meneleponnya dengan keadaan tanpa busana, tapi ia muncul dengan hoodie hitam kesayangannya. His boyfriend looks so comfy. Shoyo ingin tenggelam dalam pelukannya saat ini juga.

Kenma terlihat sedang berada di kamar dengan lampu remang dan berbaring nyaman dengan bantal-bantalnya. Biasanya layarnya selalu terlihat gelap dan bernuansa seperti club karena berada di ruang gaming, tetapi Kenma rupanya ingin Shoyo tahu kalau ia sedang tidak sibuk saat ini.

Shoyo sendiri habis melaksanakan latihan paginya dan tengah berjalan-jalan di pinggir kota. Menyusuri kembali garis pantai yang menjadi saksi bisu perjuangannya selama dua tahun pertama merantau di Brazil demi menaikkan levelnya (begitu sebutan dari kekasihnya). Hampir setiap hari Shoyo pergi ke sana, sekedar lewat saja untuk memenuhi running routine, duduk-duduk dan menikmati pemandangannya, melihat orang-orang yang bermain voli dan jika tak sibuk ia akan bergabung dengan mereka.

Perbedaan waktu di antara mereka terkadang membuat Shoyo greget. Waktu istirahat Shoyo adalah waktu produktif Kenma, begitu juga sebaliknya.

Kenma yang berada di Jepang selalu mengusahakan untuk tetap terjaga hingga pagi agar bisa berkomunikasi dengan Shoyo yang masih disibukkan dengan latihan dan pertandingan. Kenma sendiri juga orang penting yang memiliki beberapa bisnis dan selalu disibukkan dengan inovasi-inovasi untuk mengembangkan perusahaannya. Tetapi lama-kelamaan itu menyerang fisiknya dan membuatnya vakum dari dunia gaming hingga beberapa saat.

Sementara Shoyo, memiliki jadwal yang bisa dibilang cukup ketat. Dia tidak hanya atlet kompetitif, tetapi juga selebriti. Wajahnya terpampang di berbagai iklan produk dan stasiun televisi berlomba-lomba mengundangnya untuk bisa hadir 5 menit di siaran mereka. Sering saat Shoyo akhirnya berhasil mengambil ponselnya, ia mendapatkan pesan-pesan sebelum tidur dari Kenma.

Tapi hari ini adalah hari yang spesial. Mereka selalu berjuang untuk mengosongkan jadwal di hari ulang tahun masing-masing dan Shoyo bersyukur ia bisa menikmati saat-saat bertukar cerita dengan Kenma seperti sekarang.

Malah sebenarnya, ini masih siang bolong di hari Kamis, masih satu hari sebelum tanggal ulang tahun Shoyo. Wajar bagi mereka untuk melupakan hal ini. Keduanya sudah terlalu lama bersama sampai tidak lagi mengenal waktu.

Oh, Shoyo ingin sekali menyentuh kekasihnya. Sudah satu tahun mereka tidak bertemu karena kesibukan masing-masing. Ia juga rindu sekali dengan keluarga dan sahabatnya, bahkan melewatkan turnamen nasional adiknya.

“Shoyo?”

Suara lembut Kenma menyadarkan Shoyo akan air mata yang menetes dari kelopak bawahnya. Shoyo mengusap pipinya yang basah. Ia rindu sekali, rasanya begitu sesak hingga tak sadar bahwa mungkin ini air mata pertamanya di tahun ini. Kesibukannya membuatnya tak sadar bahwa waktu terus berjalan dan tidak dapat dihentikannya.

Kenma tersenyum dan melakukan gerakan pada kamera seperti menyeka air matanya.

“Shoyo, my dear. I miss you too. More than anything.”

Tangis Shoyo akhirnya pecah. Ia sudah berusia matang, bukan saatnya bagi dia untuk menangis meraung-raung. Tapi bukankah dia pernah jadi anak-anak? Apakah menangis memiliki batasan usia? Orang-orang begitu cemas mengharapkan kita untuk menangis saat dilahirkan, tetapi saat beranjak besar justru melarang kita untuk meluapkan emosi dengan cara yang sama.

Kenma bukan orang yang touchy, tapi ia selalu memastikan akan memberikan Shoyo dekapan terhangat saat mereka bertemu setelah berpisah lama. Seandainya Kenma di sini...

“I'm okay... Really...” ucap Shoyo dengan masih sesenggukan. “Habis ini, Kak Kenma istirahat, ya?”

Shoyo tidak mau Kenma ikut sedih di hari bahagia ini.

“Eh? Tapi aku udah tidur selama di pesawat. Katanya kamu hari ini ga ada latihan?”

“Iya emang ga ada...”

“Berarti bisa kan, ketemu sekarang?”

“Bi— HAH???!!!”

Shoyo shock sendiri. Tunggu. Di pesawat katanya? Mau ketemu sekarang? Tunggu???!!!

Kenma tertawa sampai matanya tertimbun oleh pipinya.

“Shoyo, iya, aku lagi di Sao Paulo. Baru aja sampai hotel. Hahaha~”

Jadi... Kenma di Brazil??? Pantas saja Kenma belum mengucapkan selamat ulang tahun dan hanya kado apa yang diinginkannya.

Tangis semakin membanjiri wajah Shoyo.

“Kak Keeen!!! Kan, bisa ketemu dari tadi!!!”

“Hahaha~ Maaf, memang mau kasih kejutan sebenernya buat besok. Lihat kamu nangis sekarang, aku langsung beberin aja, deh, rahasianya.”

Kalo kamu nangis, aku bakal langsung nyamperin kamu. Itu kata-kata yang pernah Kenma ucapkan saat pertama kali Shoyo akan berangkat ke Brazil untuk belajar voli pantai. Bisa dibilang, ini adalah pertama kalinya Shoyo menangis saat mereka telepon.

Ah, Kenma rupanya merencanakan ini dan Shoyo juga menangis di saat yang tepat???

“Ya udah!” Shoyo mengelap ingusnya yang sudah meleber kemana-mana. “Sekarang mana peluknya??!!”

Tetsurou sudah hapal di luar hippocampusnya kalau Kei bilang “tidak usah datang!” berarti kebalikannya: “datang dong, Sayang. Kan, kamu penyemangatku!”

Yah, setidaknya itu narasi yang suka Tetsurou buat.

Pergi ke museum kota Sendai tak melepaskannya dari memori saat mereka pacaran. Waktu itu Kei masih kelas 3 SMA. Tetsurou memutuskan untuk mengambil beberapa hari dari libur semesternya untuk mengunjungi Sendai karena Kei tidak sedang dalam mood yang baik sejak mendapat diagnosa diabetes.

Hal yang berat karena Kei sangat suka kue dan mereka juga selalu makan manis-manis setiap berkencan. Bahkan hingga sekarang ia masih sedih karena tidak bisa lepas dari konsumsi insulin karena jarumnya yang menyakitkan, dan Tetsurou dengan sayang membantu mengganti patchnya setiap Kei tidur.

Kei sudah melarang untuk ke rumahnya, tapi dia sebenarnya sangat senang dan langsung memeluk Tetsurou sampai tidak mau lepas saat pacarnya itu datang dengan membawa satu bundle komik terbaru.

Sorenya, Tetsurou mengajak Kei untuk pergi jalan-jalan supaya tidak suntuk di rumah. Kei awalnya ragu, dia sudah lama ingin mengunjungi museum, namun ia takut Tetsurou bosan. Tetsurou sama sekali tidak masalah asalkan Kei senang, toh, kondisi fisiknya lumayan baik. In fact, both of them are nerds who love to info-dumping about everything.

Jujur, Tetsurou tidak berekspektasi apapun. Ia pergi ke museum saat tur sekolah, jadi di pikirannya cuma “Ah, isinya kan, begitu saja. Benda-benda bersejarah, that's all.”

Rupanya, pergi ke sana dengan waktu tak terbatas dan saat sepi memberikan pengalaman yang sangat menakjubkan.

Tetsurou sangat menikmati hari itu. Ia benar-benar diajak Kei untuk membaca semua tulisan deskripsi yang ada, memperhatikan detail baju tameng dan peralatan perang, alat masak tradisional, hingga diorama yang menampilkan berbagai adegan dan ekspresi.

Apalagi Kei kelihatannya sudah lupa dengan kekesalannya. Pada akhirnya Kei sangat lelah dan mereka harus beristirahat lebih awal dari perkiraan. Tapi melihat Kei yang sangat gembira menjelaskan tentang sejarah membuat Tetsurou tenang dan jatuh cinta untuk kesekian kalinya.

“Aku sangat ingin bekerja di sini.”

Itu yang Kei katakan dan Tetsurou sangat terharu suaminya bisa mencampai mimpinya.

Kembali ke masa semarang. Di jam istirahat kerjanya, Tetsurou segera meluncur ke museum tempat Kei bekerja.

Berminggu-minggu Kei mengerjakan presentasi yang menyenangkan untuk anak-anak usia 4 sampai 5 tahun. Apalagi nanti ada Kenma. Tentu Kei ingin menjadikan ini pengalaman kunjungan yang tak terlupakan untuk si kecil.

Sesampainya di museum, Tetsurou melihat rombongan anak-anak berseragam merah alias TK Nekoma yang baru turun dari bus dan sedang berbaris menunggu aba-aba dari guru. Rupanya beberapa orang tua juga ikut menyempatkan waktu, termasuk Chikara yang menemani si kembar.

Tetsurou menyapa Chikara lebih dulu, dan dengan gemas mengusak rambut si kembar yang ikut membalas sapaannya dengan sopan. Tak lupa Tetsurou menghampiri Nobuyuki Kai, teman masa sekolahnya yang baru saja diterima sebagai pengajar tambahan di sekolahnya Kenma. Ah, andai saja Yaku juga di sini, pasti mereka bisa pergi makan-makan bertiga nanti.

Meski badan Kenma yang paling kecil sampai sering dikira masih umur 3 tahunan, Tetsurou bisa dengan mudah mengenalinya di antara anak-anak lain. Kenma terlihat merengut, sepertinya dia tidur nyenyak sekali di bus dan dipaksa bangun saat sudah sampai di museum.

“Wah, papanya Kenma datang!”

Tetsurou yang berencana diam-diam mengejutkan Kenma, ternyata sudah ketahuan oleh bocah mowhak yang malah lebih semangat dari pada anaknya sendiri.

Kenma melihat kedatangan papanya. Ia membuang muka, tapi kakinya justru berjalan ke samping seperti kepiting dan tangannya bergerak mencapit celana pak dokter. Kiyoko, wali kelas Kenma yang juga kebetulan memperhatikan, tertawa gemas melihat interaksi anak itu dengan papanya.

“Aih, kok malu-malu? Ini malu apa ngantuk, nih?” goda Tetsurou sambil merapikan beberapa helai rambut Kenma yang menutupi muka. “Habis ini mau ketemu Mama, lho! Nanti dengerin Mama cerita, ya!”

“Uncle! Nanti di dalam ada dinosaurusnya, ga?” tanya Tora dengan suara keras dan enerjik.

“Ohoho! Tora udah ga takut dino, ya?” Tetsu ingin tertawa waktu ingat Tora menangis saat melihat buku dinosaurus milik Kei. “Nanti lihat ya, ada dino apa engga di sini!”

Tidak lama kemudian, Koganegawa, salah satu rekan Kei, menyambut dengan sangat meriah dan mengajak mereka untuk masuk ke dalam. Tetsurou cukup lega karena Kei memiliki teman yang sangat memancarkan energi positif meskipun suaminya sering cerita kalau Koganegawa meski cepat belajar, ia masih sering kurang teliti.

Kei menampakkan senyum hangatnya pada anak-anak yang hadir. Aduh, padahal setiap hari Tetsurou melihat senyum Kei, tapi tetap saja ia tak dapat menahan hangat di pipinya. Mata mereka bertemu dan Kei seperti tak menyangka Tetsurou benar-benar datang, sampai salah tingkah dan menyembunyikannya dengan berdeham. Aduh, gemas sekali suami Tetsu.

Kenma menoel kaki Tetsurou dan menunjuk Kei tanpa mengatakan apapun.

“Iya itu Mama mau ngajar Kenma sejarah,” tanggap Tetsurou, lalu menggandeng tangan Kenma.

Anak-anak dengan patuh mengikuti bimbingan guru-guru, Koganegawa dan Kei yang mulai memperkenalkan barang-barang bersejarah yang mereka temui sesuai rute. Mereka cukup sering mengunjungi museum ini dari pacaran hingga sekarang, tapi ini pertama kali bagi Tetsurou melihat secara langsung bagaimana Kei bekerja.

Kei memasang senyum permanennya dan menampilkan notebook besar yang berisikan ilustrasi cerita sejarah dengan karakter yang lucu. Anak-anak nampak sangat serius memperhatikan Kei Sensei dengan mata yang berbinar!

Tetsurou terharu dengan reaksi mereka. Kei bekerja keras membuatnya selama berminggu-minggu dan juga merancang script yang menyenangkan seperti bagaimana ia biasanya bercerita pada Kenma.

Eh...

Tunggu.

Kaya ada yang hilang.

Kenma???

Tetsurou panik saat sadar si anak kucing ternyata lepas dari gandengannya.

Rupanya Kenma sudah berada di sebelah Kei. Bocah itu tidak berbuat apa-apa dan hanya berdiri di sana, membuat beberapa anak salah fokus padanya. Kei yang menyadari keberadaan Kenma, tetap menyapa selama beberapa saat dan lanjut bercerita.

“Kenma!” bisik Tetsurou panik dan mengisyaratkan Kenma untuk kembali ke barisan anak-anak. “Ke sini dulu, Kenma! Bukan waktunya pentas!”

“Teman-teman tau ya, kalau Date Masamune itu- Eh, iya, kenapa, Sayang?”

Kei berhenti bercerita, lalu berjongkok karena tiba-tiba Kenma memeluk kakinya. Kiyoko dan Kai tertawa panik tapi juga bergegas untuk mengambil Kenma kembali. Namun sepertinya situasi dengan cepat berbalik karena Kei sekarang malah menggendong Kenma dengan sebelah tangannya.

“Hahaha... Maaf, Kenma ga kelihatan ya, makanya maju?” ujar Kei dan disusul oleh tawa gemas dari staff dan orang tua murid. “Kalau teman-teman bisa lihat gambarnya Kei Sensei?”

“BISAAA!!!” sahut anak-anak antusias meski masih salah fokus sama Kenma.

Kei menyerahkan buku gambarnya ke Koganegawa.

“Kogane Sensei bisa bantu Kei Sensei buat halaman selanjutnya, ya!”

“Siap!!!”

Dan dengan mulus, Koganegawa menanggapi 'insiden' yang tak diduga itu dan membalikkan halaman buku gambar selanjutnya untuk menyusul cerita Kei yang belum selesai.

Tetsurou merasa bersalah karena melepas Kenma begitu saja. Ia sama sekali tak menyangka kalau Kenma yang tidak suka menjadi pusat perhatian, justru menghampiri Kei yang sedang presentasi di depan banyak anak. Sedih sekali, giliran disuruh pentas, malah Kenma ogah.

“Tidak apa-apa.”

Mata Kei seperti menyampaikan perkataan tersebut saat bertemu dengan tatapannya.

Ah, mau bagaimana lagi?

Akhirnya selama sesi tur berlangsung, Kei tetap bercerita dengan interaktif sambil menggendong Kenma yang tumben manja sekali (yang kemungkinan besar karena mengantuk, atau memang mau pamerin Mama di depan teman-teman).

Mungkin Kenma tidak biasa dengan Kei yang memberikan perhatian kepada anak lain yang tentu saja berbeda saat bermain dengan tetangga.

Tsutomu sebel banget! Dia lagi nunggu giliran buat main nintendo-nya Kenma, tapi malah diajak pulang sama mamanya. Padahal kan, tadi janjinya papa yang jemput!

“Papa lagi main sama temennya,” jelas Kenjiro yang lagi menggandeng tangannya dan berjalan menuju rumah mereka bersama.

“Papa udah besar kok, masih main sama temennya?”

“Yang boleh main bukan cuma anak kecil, ya.”

“Main ke mana? Dedek mau ikut!”

“Jangan. Itu Papa lagi nyari hiu. Dedek kan, takut hiu.”

Oh, jangan kalo gitu! Hiu lebih serem dari alien kalo kata Kenma. Tinggalnya jauh di dalam laut, mendingan ketemu T-Rex atau Godzilla. Jadi Tsutomu cuma perlu lari, ga usah renang soalnya nanti pasti susah nafas.

Kalo Papa nyari hiu, berarti pulangnya lama, dong??? Tsutomu sama Mama aja nih, di rumah??? Ih, Tsutomu takut! Mama marah terus soalnya!

Begitu sampai rumah dan melepas sepatu, Tsutomu segera menuju ruang keluarga dan meminta Kenjiro untuk menyalakan PS. Biasanya kalau Eita yang menjemputnya, mereka pasti langsung main PS bareng.

Tapi Kenjiro malah membawa sebuah kotak besar yang diambilnya dari dalam kamar. Oh, mainan baru???

“Bantuin Mama buka paket dulu sini!”

Tsutomu menurut meski ragu. Pada akhirnya dia cuma melihat apa yang dikerjakan oleh mamanya. Kenjiro memasang alas silikon ke atas meja bundar terlebih dahulu, lalu menumpahkan isi dari kotak seukuran PS itu.

Ada banyak bungkusan kecil-kecil yang wangi seperti permen dan beraneka warna, serta mainan peralatan masak.

Eh??? Mama bukannya selalu melarangnya makan manis-manis??? Kenapa sekarang malah ngasih Tsutomu permen???

Tsutomu mau kabur! Mama pasti mau mengujinya!

“Dedek dulu pernah main ini, lho,” ujar Kenjiro sambil membuka sebuah bungkusan dan memberikannya ke Tsutomu. “Di sekolah juga pasti pernah dikasih ini, kan?”

Bentuknya panjang, teksturnya padat, warna dan wanginya seperti kukis yang diberi Uncle Tooru kemarin.

“HEH!!! Bukan buat dimakan!”

Kenjiro langsung menarik tangan Tsutomu yang hampir memasukkan benda itu ke mulutnya.

“Ini mainan, namanya clay,” terang mamanya lalu membuka bungkusan clay warna merah, lalu menggulungnya ke atas alas silikon yang dipasangnya tadi. “Nih, Dedek bisa buat apapun pakai clay. Bisa buat kue, buat permen, buat mobil, apa aja yang Dedek suka.”

“Oh!” Tsutomu ingat kalau beberapa hari lalu mereka juga belajar membuat prakarya dari clay di sekolah. “Dedek juga dapet dari Hitoka Sensei! Tapi bentuknya bulat sama warnanya ungu!”

Kenjiro mengulas senyum dan membalas, “Coba Dedek buat dari bentuk silinder itu jadi bulat.”

“Silinder?”

“Iya, semua clay yang di dalam bungkusan ini bentuknya silinder. Kaya lilin, gelas, baterai, bentuknya juga mirip kaya gini.”

“Oh iya, Ma! Kaya ini juga!” Tsutomu mengambil rolling pin mainan yang satu paket dengan peralatan lain.

“Nah, pinter! Dedek juga bisa pake itu kalo mau bikin bentuk lain.”

Kenjiro memperlihatkan kartu-kartu kreasi clay yang bisa ditirukan dengan bahan-bahan tersebut. Ada berbagai macam bentuk dan perpaduan warna seperti kendaraan, hewan, benda-benda di rumah, hingga makanan.

“Ini apa namanya, Dek?”

“Takoyaki!!! Dedek mau takoyaki!”

“Kalo yang ini tako (gurita) aja, Dek!” tawa Kenjiro. “Bentar Mama cariin gambarnya di kartu lain. Dedek bisa kan, buka bungkusan yang lain?”

“Bisa! Mama juga mau main?”

“Iya, dong. Kan, Mama yang ngajak main. Mau kan?”

“Mauuu!!!” sahut Tsutomu semangat. “Mama bikin kukis, ya! Dedek bikin takoyaki! Nanti kasih ke Papa!”

“Siap, siap~”

Mereka asik bergelut dengan karya masing-masing. Tsutomu terbiasa menggunakan jemarinya untuk main PS dan ipad, tapi ternyata tekstur seperti clay sangat enak buat ditekan-tekan juga!

“Kok, takoyakinya warnanya pucat? Saosnya mana?” tanya Kenjiro saat melihat Tsutomu sudah membuat 10 bola-bola warna krem.

“Takoyakinya masih belum mateng!”

Tsutomu membuat suara memasak dengan mulutnya dan membolak-balikkan takoyakinya menggunakan sumpit, menyisihkan semuanya, lalu memgambil bungkusan warna cokelat.

“Nah, kalo udah mateng nanti dikasih saos! Mama, kukisnya jangan sampe gosong, ya!”

“Ryokai desu~”

Tidak terasa satu jam sudah berlalu. Kenjiro menertawakan kukisnya yang gagal meski sudah memakai cetakan, lalu sama-sama berpura-pura mencicipi “masakan” mereka. Selanjutnya pun mereka masih asik membuat clay dengan mencontoh kartu.

Tsutomu senang sekali karena dia membuat takoyaki yang cantik dan monster truck kesukaannya. Kenjiro banyak memujinya dan bilang kalau Tsutomu ternyata pro dalam bermain clay.

Dan lagi, ternyata mama cantik ya, kalo banyak tertawa seperti ini!

Tsutomu mau main terus sama mama!


Hari ini adalah ulang tahun Kenjiro, tetapi Eita tidak beli kue karena dia dan maupun suaminya tidak begitu suka manis-manis dan mereka juga membatasi konsumsi gula Tsutomu.

Kenjiro itu orang yang to the point, karena keluarga Shirabu lumayan keras dan tidak seru menurut Eita. Perjalanan menjadi dokter gigi juga sangat panjang dan melelahkan, dipenuhi oleh praktek dan ujian, bahkan saat mereka sudah menikah dan punya anak. Kenjiro jadi sering melupakan detail-detail kecil tentangnya maupun Tsutomu, contohnya saja ia lupa kalau Eita sudah memberitahunya akan pergi memancing dengan teman-temannya.

Malahan, sepertinya Kenjiro lupa kalau hari ini dia ulang tahun. Eita tidak masalah, yang penting Kenjiro tidak teledor saat bekerja. Ada masanya Eita bertanya-tanya apa Kenjiro sebenarnya bahagia berkeluarga dengannya. Tapi saat menanyakannya ke teman-teman dan tetangga yang sudah menikah, ternyata pikun seperti itu wajar-wajar saja di keluarga mereka.

Juga Kenjiro itu tidak suka hal-hal semacam kode dan kejutan. Tapi Eita selalu suka melihat Kenjiro yang tertawa, karena itu ia memberikan sesuatu yang unik agar bisa melihat senyuman murni itu. Barang-barang uniknya itu selalu Kenjiro letakkan di tempat kerjanya.

Tahun kemarin Eita memberikan kado boneka hamster yang sangat nyaman dipegang. Kenjiro senang, bercerita kalau ia sering meremas boneka itu untuk meredakan stress saat bekerja.

Eita memilih untuk pergi memancing bersama temannya di hari ulang tahun Kenjiro bukanlah tanpa alasan. Sebetulnya ia hampir kehabisan ide, karena itu pergi dengan teman-teman antiknya pastilah akan memberinya inspirasi. Toh, dia juga ingin Kenjiro yang super sibuk, menghabiskan waktu dengan Tsutomu, anak mereka yang lucu dan haus perhatian.

Jadilah sekarang Eita pulang dengan sebuah bowl akuarium di tangannya. Ia masih belum tahu ingin mengisinya dengan ikan hias apa dan membiarkan Kenjiro sendiri yang memutuskan nanti. Eita juga membeli sepaket bahan sukiyaki untuk makan malam spesial mereka.

Sesampainya di rumah, ia tidak melihat Kenjiro di ruang keluarga dan hanya ada Tsutomu yang asik bermain sesuatu di meja bundar, sepertinya clay. Dia ingat kemarin ada paket mainan clay atas nama Semi.

Eita berniat mengejutkan Tsutomu, tapi ternyata anaknya sudah menyadari kehadirannya dan justru mengisyaratkannya untuk duduk bersamanya dengan gestur tangan. Oh, Tsutomu sepertinya merencanakan sesuatu. Padahal dia biasanya langsung petakilan kalau menyambut Eita.

“Papa, Papa, Papa!”

Tsutomu berbicara dengan suara pelan tapi juga sangat bersemangat. Eita juga mengikuti permainannya.

“Tomu, Tomu, Tomu!” balas Eita lalu duduk bersila dan melihat banyak sekali kreasi makanan dari clay di atas meja. “Wih, Dedek semua yang bikin??? Mana Mama?”

“Mama lagi mandi. Terus ini Dedek buat kue ulang tahun buat Mama!” Tsutomu memilin clay warna cokelat dan menumpuknya di lapisan-lapisan yang sudah dibuatnya.

“Wah, baguuus!!!” puji Eita mengagumi kerapian Tsutomu dalam membentuk kue berlapis-lapis dengan paduan warna yang mencolok. “Dedek kok, tahu kalo Mama ulang tahun?”

“Iya, soalnya tadi belajar kalender sama Kiyoko Sensei! Terus Dedek lihat kalender di rumah ternyata hari ini Mama ulang tahun!”

Ah, iya. Kalender rumah mereka memang dipenuhi spidol warna-warni. Dalam satu tanggal saja bisa diberi 3 warna: hitam untuk jadwal kerja Eita, coklat untuk jadwal kerja Kenjiro, dan ungu untuk jadwal sekolah Tsutomu. Kebetulan tanggal ini ada 4 warna, satu lagi warna pink untuk menandakan ulang tahun Kenjiro.

“Pinternya~” Eita mengusak rambut Tsutomu. “Bikin yang cantik ya buat Mama!”

Tepat setelah Eita selesai berujar, Kenjiro keluar dari kamar mandi dengan sangat segar. Tsutomu panik sendiri karena claynya hampir jatuh.

“Lho, udah pulang?” tanya Kenjiro saat melihat Eita yang melambaikan tangan padanya. “Katanya pulang malem.”

“Ini kan, udah malem.”

“Iya, kah?”

“MAMAAA!!! HEPI BESDEY!!!”

Tsutomu memberikan kue clay buatannya kepada Kenjiro, lalu saat mamanya menerimanya, dia malah kabur dan menubruk Eita yang sibuk merekam momen manis tersebut.

“Hehhh, kok malah kabur???” Eita tergelak, wajah merah Tsutomu yang kini malah memeluk lututnya, terlihat sangat tembam memenuhi layar ponselnya. “Peluk sama cium Mamanya, dong!”

“MALU!!! PAPA AJA YANG CIUM!!!”

“HAHAHA KOK MALU, SIH??? Tiap hari ketemu Mama kok, baru malunya sekarang???”

Kenjiro tersenyum haru mengagumi karya Tsutomu, tidak menyangka anaknya akan membuat sesuatu yang spesial dari permainan mereka hari ini.

“Sini, sini~” Kenjiro berjongkok dan merentangkan kedua tangannya. “Mama kan, juga belum makasih ke Cutomu!”

“Cutomuuu, sana peluk Mama dulu!” Eita menggoyangkan lututnya, membuat badan kecil Tsutomu ikut bergerak naik-turun.

Dengan malu-malu, Tsutomu akhirnya turun dari pangkuan Eita dan berlari ke dekapan Kenjiro, tidak lupa mencium dengan sayang pipi mamanya. Eita ingin menangis melihat rekamannya.

“Mama! Makasih ya, udah main sama Dedek!!!”

Kalau boleh jujur... Sebenarnya hari ini lumayan ada apa-apa di kediaman Oikawa-Iwaizumi.

Tadi Hajime pikir setelah nganterin Kaito dan Nanao sekolah, lalu belanja bareng, dia mau nitip Tobio sebentar di rumah Kenma supaya dia bisa servis mobil mereka karena kebetulan hari ini jadwalnya mereka buat servis.

Masalahnya, Tobio itu anaknya clingy banget kalo ga ada kakak-kakaknya, baik ke Hajime maupun Tooru. Dia dikasih tau kalo Chichi bakal full di rumah selama seminggu, jadinya dia nempel terus dan sabotase Chichi supaya ga ninggalin dia sama sekali. Chichi disuruh nungguin dia main, bahkan ke toilet aja diikutin.

Hajime mikir, “Apa ngajak Tobio ke servis mobil aja?” tapi di sana ga ada hiburan dan pasti si bungsu bakal bosen. Setidaknya di rumah Kenma, Tobio bisa istirahat.

Nah, ternyata masalahnya bertambah! Tobio juga ga mau Chichi pergi selama dia main. Katanya nanti Chichi ga balik lagi, entah siapa yang ngajarin itu :(

Akhirnya Hajime membatalkan niatnya buat servis mobil dan menemani Tobio main bareng bocil-bocil lainnya di ruang bermain keluarga Kuroo. Malah lebih seperti menjaga 3 bocah karena Kei lagi mondar-mandir; sibuk membagi waktu antara mengawasi tukang yang membetulkan bathtub, mengerjakan dokumen, dan menyiapkan makan siang.

Ah, Hajime juga dulu sesibuk itu saat Tobio baru lahir. Mana jarak usia anak-anaknya sangat dekat, jadi seperti tidak ada waktu bernafas. Sambil menjaga bayi dan dua kanak-kanak, ia sibuk telepon menerima konsultasi dan melatih trainer yang menggantikannya sementara.

Tooru juga membantu sangat banyak, kok, bahkan lebih sering begadang darinya. Tapi rasanya tetap sulit menjaga kewarasan saat itu.

Hajime mengecek ponsel, siapa tahu Tooru ngechat sesuatu. Ternyata itu dari Koushi, wali kelasnya Kaito dan Nanao, yang mengatakan kalau murid-murid Kazemai dipulangkan cepat hari ini karena banyak yang sedang sakit.

“YEAAAYYY!!!” sorak Shoyo kegirangan. “Dinoco menang! Tobio sama Kenma cupu!”

Kenma? Dia cuma cemberut tapi pasrah juga menerima kekalahannya. Berbeda dengan Tobio yang mukanya mulai memerah karena dia paling tidak bisa memainkan sesuatu yang pakai remote seperti balapan ini.

“Aaaaaa!!!” Tobio mengerang karena mobilnya kalah, lalu membanting remote controlnya.

“Heh, heh! Punya siapa itu kamu banting-banting?” tegur Hajime, lalu menutup ponselnya. “Ayo, jemput Ka-chan sama Nao-chan!”

“Belum! Bio kan, belum menang!”

“Besok Bio main lagi, ya? Tadi sama Chichi udah janji satu jam, lho. Sekarang udah satu jam lebih 30 menit.”

“5 menit lagi!”

Tobio mengacungkan 4 jarinya, lalu Kenma mengoreksinya.

“Bio itu jarinya ada 4...”

“Bio emangnya engga pulang? Kan, udah ditungguin Chichi,” ujar Shoyo polos.

“Sho-chan, kok ngusir???”

“Hei...” Hajime menjawil lengan Tobio. “Bio udah ada mobil di rumah. Nanti main sama Ka-chan & Nao-chan aja, ya? Tadi janjinya kalau satu jam, Bio udah selesai, lho.”

“Hayooo, Bio dimarahin Chichi~” Akhir-akhir ini Shoyo memang suka memanasi.

Muka Tobio semakin ditekuk. Kan, dia udah bilang kalo belum menang! Kok, udah disuruh mundur sih, sama Chichi??? Apa Chichi engga mau main sama dia lagi???

Karena perasaan yang sangat berkecamuk itu, Tobio menaruh remote dan mobil milik Kenma dengan kasar, lalu melangkah lebar-lebar dengan pipi menggembung kesal.

“Bioooooo, dibolehin main kok, malah gitu??? Pamitan dulu sama Kenma, Shoyo, dan Uncle Kei sini!!!”

Mendengar teguran Hajime, Tobio segera kembali dengan muka takut-takut dan memegangi celana Chichi.

“Sayang?” tanya Tobio dengan nada memelas dan mata berkaca-kaca, menunjukkan gelagat khas trio setan tiap orang tua mereka kelihatan marah.

“Iya sini disayang, kok,” balas Hajime sambil memeluk Tobio. “Tapi inget ya, kalo mau pergi, mainannya diberesin dulu. Terus makasih dulu sama Kenma karna udah dipinjemin, pamitan sama temen-temen dan Uncle Kei juga, ya?”

Tobio yang merasa sudah cukup disayang dan tidak jadi dimarahi, lantas mengangguk patuh.

“Iya, Chichi!”

Sejak menjadi orang tua, Hajime mempelajari satu ilmu selain parenting: ilmu mengabaikan.

Bukan, maksudnya bukan yang pura-pura tidak kenal atau tidak peduli.

Tapi belajar biasa saja dan tetap teguh pada pendiriannya meski tangisan anak memekakkan telinga, tidak jijik saat anak memuntahkan isi perutnya dan mengotori lantai ataupun pakaiannya, dan masih banyak lagi.

Saat terjadi di tempat umum, Hajime sudah tidak peduli dengan tatapan orang-orang yang seolah menghujatnya. Dulu saat membawa Tobio baru lahir dan Kaito-Nanao masih batita ke taman dekat rumah, ada nenek yang pernah memarahinya karena mereka bertiga menangis bersama.

Untung saja saat itu ada Tooru yang sama sekali tidak mempedulikan nenek itu dan mencarikan mainan untuk mengalihkan perhatian trio. Hajime kadang heran bagaimana bisa ia dan Tooru yang dulu sama-sama senggol bacok saat sekolah, sekarang jadi menganggap hujatan orang sebagai angin lalu.

Sayangnya hari ini Tooru tidak di rumah dan Hajime kehabisan bahan hiburan karena mau dibujuk pakai apapun supaya anak-anak istirahat, ia selalu gagal.

Hajime kira Kaito dan Nanao sudah cukup besar untuk mengatur emosi mereka. Tapi apa daya, namanya sakit pasti tidak nyaman dan membuat mereka jadi emosional dari biasanya. Hajime kasihan, tapi juga bingung harus melakukan upaya apa lagi dan cuma berharap efek obat bekerja lebih cepat supaya mereka (dan dia) bisa istirahat.

Untuk saat ini, demi menjaga kewarasannya, Hajime memberikan PSP untuk Kaito mainkan sementara Nanao membaca komik. Yah... Walau muka keduanya ditekuk karena tidak suka dengan plester demam yang menempel di dahi dan leher mereka. Setidaknya telinga Hajime yang berdengung jadi lapang selama 5 menit.

Capek sekali. Tapi anak-anak lebih capek dan rasanya sedih melihat mereka sakit begini.

“Chichi...”

Tiba-tiba Tobio sudah berada di hadapan Hajime yang hampir mengambil ponsel untuk mengabari Tooru.

“Bio... Kan, Chichi bilang jangan ke kamar Ka-chan sama Nao-chan dulu.”

“BIOOO!!!” Kaito hampir salto tapi jatuh lagi saat melihat adik kecilnya. “ Bio mau main PS gantian engga—”

“Heh! Engga dulu! Kaito tadi janjinya main bentar terus bobo, kan? Besok aja kalo udah sehat baru main sama adek!” tegur Hajime sambil memungut Kaito yang meluncur ke lantai seperti ular dan mengembalikannya ke tempat tidur.

“Bio gambar ini...”

Kan. Pandangan Hajime teralih dua detik dan Tobio sudah berada di tempat tidurnya Nanao.

“Biooo—”

“Wah! Bio pinter udah bisa gambar rumah ga bentuk trapesoang!” puji Nanao bangga melihat mahakarya Tobio.

“Trapesium, Nao,” koreksi Hajime, kemudian meraih tangan Tobio untuk turun. “Bio tunggu di kamar ya, habis ini Chichi temenin—”

“BOSEEEN!!! BELUM NGANTUUUK!!!” rengek Kaito untuk ketiga kalinya di jam yang sama sambil menghentakkan kakinya. “Papa mana sih, kok belum pulang???”

“Papa masih kerja—”

“Ih, iya! Biasanya Papa udah pulang terus kita makan bareng!” timpal Nanao.

“Kan, Chichi udah bilang Papa pergi ke pantai—”

“Kok, ga ngajak??? Bio juga mau! Bio mau main pasir—”

“Asik banget! Tadi Seiya cerita ke pantai sama Papa-Mamanya Minato—”

Hajime mengusap wajahnya kasar sementara ketiga anaknya sudah berbaur dan mengoceh bersama tentang main ke pantai. Ia menghirup nafas panjang, menghembuskannya, lalu dengan cepat menutup hidung Kaito yang akan bersin dengan tisu sementara tangan lainnya menjauhkan Tobio karena terlalu dekat dengan kakak-kakaknya yang sakit.

Sabar. Ini kesalahannya juga karena memberi info setengah-setengah.

Dia sempat tidak fokus dan hanya menjawab ngasal saat pulang dari apotek karena sibuk menyeret ketiga anaknya sekaligus menelepon taksi yang seharusnya menjemput mereka tapi malah nyasar.

Tooru training camp sampai lusa.

Tidak apa-apa. Ini berbeda dengan saat tiga tahun pertama punya anak. Dia pasti bisa waras sampai Tooru pulang!


Tooru akhirnya mendapat ijin melatih hanya untuk hari ini dan bukan sampai lusa. Ia langsung pulang ke rumah begitu anak-anak didiknya beristirahat meski sedikit kesusahan mencari taksi malam-malam karena tidak mungkin dia meminta supir sekolah untuk mengantarnya pulang memakai bus.

Semua pesannya tidak ada yang dibalas oleh Hajime dan syukurlah pihak sekolah memaklumi karena tidak mudah mengurus tiga anak yang sama-sama sakit.

Semua lampu di rumahnya mati. Tooru bergegas ke kamar Kaito dan Nanao saat mendengar suara batuk dari sana.

Kaito tidur dengan sangat pulas, tetapi Nanao rupanya terbangun dan kebingungan mencari gelasnya karena gelap.

Mata Tooru yang terbiasa melihat dalam gelap (salah satu keahlian yang didapatnya sejak jadi orang tua), mengambil gelas pink yang ada di meja belajar Nanao dan memberikannya pada si tengah.

“Hei~” bisik Tooru ceria meski ia sebetulnya sangat lelah. “Minum dulu sini.”

“Papa—”

“Shhh, pelan-pelan. Kachan bobo, tuh. Nanti dia kalo bangun, jadi rawwrrrr”

Nanao tertawa dan segera minum untuk melegakan tenggorokannya. Tooru merasa lega mendengar anaknya tertawa meski suara yang biasanya lucu jadi sumbang karena batuk.

Selagi Nanao minum, Tooru mengulurkan tangannya untuk memerika dahi serta leher Kaito. Masih agak hangat, mungkin nanti subuh dia harus mengganti plester demamnya. Suhu badan Nanao dirasanya juga sudah membaik.

“Papa isi dulu sini airnya.” Tooru meminta gelas Nanao, lalu bertanya, “Udah enakan badannya?”

“Tenggorokan sakit buat nelen, Pa... Terus masa tadi bubur dari Uncle Kei engga enak. Katanya beli, tapi tetep engga enak.”

Tooru agak ngeri. Tidak mungkin buburnya dikasih protein sama Kei, kan?

“Hush! Lidahmu yang pahit kena obat itu, Naooo” ujar Tooru. “Tadi Chichi marah-marah, dong, kalo bubur engga enak? Haha”

“Masa Chichi tadi nangis, Pa.”

Tooru berhenti tertawa.

“Hm? Kok bisa nangis? Chichi sakit juga?”

“Engga... Tadi kita nonton Tinkerbell, terus pas Nao noleh, Chichi udah nangis. Padahal Tinkerbell baikan sama Terence, kok! Kan, tadi Tinkerbell sama Terence sempet berantem terus pisah, habis itu mereka ketemu lagi terus baikan. Tapi Chichi bilang Chichi terharu, bukan sedih. Terharu itu gimana, Pa?”

Tooru mengulas senyum tipis mendengar cerita anaknya. Pasti bukan karena Tinkerbell nangisnya.

“Terharu itu seneng banget sampe ga bisa dijelasin sama kata-kata. Misal Nao belajarnya susaaaaah banget, terus akhirnya dapet nilai bagus. Perasaan kaya gitu,” ucap Tooru dan mendorong Nanao untuk berbaring lagi. “Bobo lagi ya, Nao. Papa di rumah terus, kok.”

Setelah 10 menit, barulah Nanao tertidur lagi dengan sendirinya karena tadi ia masih ingin bercerita ke Papa.

Tooru kemudian berpindah ke kamar Tobio yang juga terbuka seperti kamar kakak-kakaknya tapi hampir menjerit karena ada godzilla yang sedang... mengepel lantai.

“Kamu ngapain di sini???” Tooru bertanya heboh tapi tentu sambil berbisik.

Hajime terkejut dengan kehadiran Tooru, lalu balas berbisik dengan tak kalah sengitnya, “Ya kamu yang ngapain di sini??? Belum waktunya kamu pulang, kan?!”

“Udah! Aku ijin buat ngelatih hari ini aja!” Tooru mundur saat Hajime keluar dari kamar Tobio dan menutup pintu. “Bio gapapa?”

“Gapapa. Aku ngepel soalnya anak-anak tadi ngemil sama nonton di kamarnya Bio,” balas Hajime dengan volume suara normal setelah mereka berdua ke ruang tengah. “Bio sehat. Kaito sama Nanao tadi meriang tapi sekarang udah gapapa. Cuma sisa batuk pileknya sekarang— Ngapain, sih???”

Hajime berujar sewot karena Tooru malah mendekatkan mukanya seperti sedang meneliti pori-porinya.

“Ih, matanya merah.”

“Iya tadi kena debu.”

“Hajime, aku udah kenal kamu seumur hidupku. Ga ada alasan buat ngeles.”

Hajime memalingkan muka dan membereskan baskom dan kain lap yang berceceran di dapur.

“Tadi nonton Tinkerbell sampe anak-anak tidur terus kaya sedih aja gitu. Tinkerbellnya bingung di tempat asing, sendirian pula. Mana ada serangga yang rese tapi akhirnya si Tinkerbelll sayang dan serangganya nemenin dia sampe akhir. Tapi rasanya kaya ga lengkap soalnya ga ada temennya. Terus akhirnya di akhir mereka reuni dan pulang bertiga.”

“Cerita yang omoshiroi tapi jahat banget anak-anak dibilang kaya serangga.”

“Heh! Aku lagi cerita soal filmnya!”

“Tapi kedengeran kaya pas pertama kali ada Kaito.”

“Iyain, deh.”

Tooru terkekeh. Dia merasa kalau mood Hajime berangsur baik, jadi direntangkannya kedua tangannya.

“Peluk, ngga?”

Tanpa menjawab, Hajime langsung masuk ke dekapan Tooru dan membenamkan wajahnya ke bahu sang suami.

“You did very well, okay?” ucap Tooru sambil menepuk-nepuk punggung Hajime. “Udah sehat semua, kok. It's okay, Hajime.”

“Kamu harusnya seneng-seneng sambil ngelatih... Ini pertama kalinya kamu propose buat training camp di luar sekolah dan akhirnya berhasil...”

“Kaya gini engga perlu dipikirin berlarut-larut, Hajime. Masih ada kesempatan di lain waktu. Toh, kita berdua juga tahu apa yang harus diprioritasin, kan?”

“Rin-kun sangat keren seperti biasa!” puji Motoya, masih berbinar menata beberapa lembar polaroid potret dirinya bersama cosplayer favoritnya. “Di setiap acara, karakter yang diperankannya selalu membuatku terpukau!”

Tsukasa masih membiarkan kamera polaroid warna kuning milik Motoya menggantung di lehernya, toh dia sudah menawarkan diri untuk menjadi fotografer pribadinya hari ini.

Sebenarnya ia terkejut melihat secara langsung “Rin-chan” idola Motoya ternyata adalah laki-laki (atau mungkin perempuan maskulin, ia tidak terlalu bisa menilai dari suaranya yang lembut), tapi ternyata pacarnya itu tetap memuja seperti biasa.

“Baiklah! Besok aku akan pamer ke murid-muridku kalau aku bertemu pemain bisbol! Mereka pasti, SENSEI, SENSEI!!! APA SENSEI MEMBAWA BOLA BISBOLNYA? APA ADA TANDA TANGANNYA???” Motoya cekikikan menirukan cara anak-anak yang bertanya tanpa henti dan penuh semangat.

Tsukasa terkekeh dan menjawab, “Muridmu pasti iri karena setiap hari Sensei selalu bertemu anime hidup tiap bulan.”

“Kau tahu, Kak? Mereka jadi suka cosplay di hari Hinamatsuri dan Kodomo no Hi gara-gara aku sering cerita kalau bertemu pahlawan.” Motoya tertawa gemas mengingat anak-anak yang selalu rebutan minta cerita darinya setiap kelas yang diajarnya. “Padahal itu semua adalah Rin. Bahkan orang tua mereka sampai bingung karena biasanya anak-anak malas berdiri diam saat dipasangi yukata.”

Setelah berada di sana hampir satu jam, Tsukasa percaya kalau Kiyoomi tidak sedang berusaha menutup-nutupi saat ditanya pendapatnya tentang acara anime.

Para cosplayer terlihat sangat memukau dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tsukasa sangat mengagumi detail kostum, riasan, dan aksesoris mereka, terutama banyak sekali karakter game dan fantasi hari ini. Mungkin seharusnya ia meminta ijin merekam beberapa dari mereka di sudut tertentu supaya bisa dijadikannya referensi bayangan dan gradasi.

“Kak Tsukasa,” panggil Motoya.

“Hm?” Tsukasa menimpali, ternyata ia melamun sampai Motoya menatapnya khawatir. Aduh, jangan sampai Motoya mengira bahwa ia tak menikmati acara hari ini.

“Di lantai 10 ada bazaar furniture, lho!” Motoya menunjukkan denah dari pamflet yang dibawanya sejak memasuki gedung. “Mau lihat-lihat di sana?”

Senyum Tsukasa mengembang, ia tahu kalau Motoya selalu adil dan selalu berusaha untuk imbang saat mereka berkencan. Meski saat ke toko buku, Motoya selalu pergi ke sesi manga, ia akan tetap menemui Tsukasa yang mengunjungi bagian kesehatan dan masakan, lalu mencarikan buku yang menurutnya menarik. Begitu juga setiap mereka jalan-jalan ke pusat perabotan, alat olahraga dan kebersihan.

Tsukasa menyesal kenapa setelah bertahun-tahun pacaran, ia selalu menolak mengikuti agenda Motoya ke festival wibu padahal pacarnya itu selalu menemaninya ke acara-acara yang dikunjungi oleh pasangan menikah dan orang tua.

“Kau tidak ingin mencari karakter favoritmu yang lain?” tanya Tsukasa. “Tenang saja. Aku juga suka di sini, kalau itu yang kau khawatirkan.”

“Kurasa sudah cukup hari ini. Bukankah Kak Tsukasa mau mencari rak bumbu yang lebih banyak sekat???” Motoya memasang wajah serius, lalu tersenyum cerah saat mengingat sesuatu, “Aku kemarin lihat video di internet dan aku rasa kita bisa menemukannya di bazaar nanti!”

“Benar, sih.” Tsukasa menggandeng tangan Motoya dengan tatapan mereka yang saling bertemu. “Nanti juga carilah lemari baju yang menurutmu bagus dan cukup besar untuk dipakai dua orang, ya?”

“Siap, Kapten! Tapi dua orang? Kakakmu mau menginap di tempatmu?”

Tsukasa hanya bisa memasang senyum manisnya. Motoya sama sekali tidak mengerti maksud di balik perkataannya.


Satu jam berkeliling sampai tiba waktunya baterai energi Rintarou menipis. Ia berpamitan pada para penggemar yang masih mengikuti dan merekamnya, lalu pergi dengan cepat meninggalkan ruang aula yang penuh akan lautan manusia. Wajar saja orang-orang menggila karena animenya baru saja menjadi topik panas minggu ini.

Osamu tadi berpamitan ke toilet dan belum juga kembali, sedangkan Rintarou tidak bawa ponsel untuk menghubunginya. Jadi ia tak punya pilihan selain berjongkok di koridor bersama beberapa cosplayer yang beristirahat dan menghembuskan nafas lelah.

Rintarou tadi sempat melihat Atsumu. Tidak biasanya Atsumu sangat pasif dan hanya berdiri di pinggir saja. Biasanya dia akan menyapa banyak pengunjung dan cosplayer, tetapi sekarang ia lebih memilih menemani Kiyoomi.

“Panas...” keluhnya sambil melepas sarung tangan bisbol dan topi yang sejak awal dikenakannya.

“Nih.”

Osamu entah datang dari mana, menyerahkan segelas minuman boba dan sapu tangan dengan bersamaan pada Rintarou. Si cosplayer mendongak penuh terkejut, tapi tetap berterima kasih dan menerimanya. Ia mengelap keringatnya hati-hati sambil menyeruput minuman manis yang dimintanya tadi.

“Aku pengen lepas wig,” ujar Rintarou.

“Jangan. Nanti orang-orang kaget melihat rambut tendamu,” sahut Osamu yang juga berjongkok di sebelahnya, lalu mengipasi wajah sang kekasih dengan kipas tangan gambar chibi yang tadi didapatnya dari salah satu lapak.

“Tendanya roboh kena hujan (keringat). Omong-omong di mana koperku dan tas si pirang?”

“Kutaruh di ruang ganti waktu tadi ke toilet. Kau kira tidak berat bawa dua barang sebesar itu kemana-mana mengikutimu?”

“Hei, aku tidak menyuruhmu membawanya.”

“Aku kira kau membawa sesuatu yang akan sangat kau butuhkan di dalam aula nanti.”

“Tidak ada, kok.”

“Lalu kenapa kau tidak memberitahuku???”

*“You look so helpful today and I love to see it.”

“Unbelieavable.”*

Mereka kembali diam, hanya ada suara seruput boba Rintarou, langkah kaki, dan samar-samar percakapan cosplayer lain yang  masih ada di koridor. Tidak, Rintarou dan Osamu tidak sedang bertengkar. Obrolan seperti ini sudah sangat biasa di antara mereka. Bahkan banyak yang bilang kalau mereka jauh terlihat seperti teman daripada pacar.

“Hei.”

Rintarou memecah keheningan di antara mereka.

“Hm?”

Osamu hanya menyahut tanpa ingin tahu karena sedang mengecek CCTV restorannya.

*“I think your brother is into that Omi guy.”

“I know, Rin.”

“Do you think it's the time for him?”

“Both seem completely unaware of what’s going on between them.”* Osamu mematikan layar ponselnya dan merenung. “Tadi siang aku juga denger mereka ngobrol di telepon. Kamu tahu sendiri, kan, Atsumu pasti panik sampe nangis tiap ikut acara wibu. Dan dia nangis sambil telepon. Atsumu ga pernah nunjukkin kalo dia cemas di depan orang baru karna bakal dianggap aneh, tapi kayanya dia udah biasa kaya gitu di depan Omi-kun.”

“Apa karena tiap hari ketemu di kerjaan, ya?”

*“Maybe. And I think it's not my right to judge now. He's an adult now.”

“Are you aware that you're just 10 minutes younger than him?”

“Yeah.”*

Tiba-tiba sebuah ide brilian tercetus di benak Rintarou. Mungkin sesuatu yang bisa mengubah hidup Atsumu dan di saat bersamaan juga bisa membuatnya menilai apakah memang ada sesuatu di antara mereka.

*“How about we leave Tsumu and let him – I don't know – do whatever he want to do with Omi?”

“That sounds great. I'll block his number now.”

“Babe.”*

“Kiyooo, aku masih tidak percaya Kak Iizuna mau kuajak ke event wibu!!!”

“Benarkah?”

Kiyoomi tersenyum simpul mendengarkan Motoya yang begitu gembira di sambungan telepon, mengingat kalau beberapa hari lalu Tsukasa menanyakan apa yang harus dipakainya untuk mengikuti acara seperti itu dan segala tata cara yang ada agar tidak mengecewakan Motoya.

“Jadi kalian sebentar lagi akan ke sana?” tanyanya seraya mengambil satu set jaket dari dalam lemarinya.

Ia baru sadar kalau ia memakai jaket yang sama dengan saat pertama kali ia datang ke acara wibu itu dan bertemu Atsumu. Mau bagaimana lagi? Kiyoomi sedang sangat suka dengan jaket itu dan rasanya ia sudah memakainya 6 kali sejak membelinya bulan lalu.

“Karena apartemennya lebih dekat dengan gedung acara, jadi ia akan menjemputku di stasiun. Bagaimana kalau kita pergi bersama?”

“Aku bosan jadi orang ketiga.”

“Oh, ayolah! Sudah lama kita tidak jalan bertiga!”

“Mungkin aku akan menyusul.”

“Kau benar-benar akan datang, kan???”

“Iya. Pokoknya kalian bersenang-senanglah. Aku masih ingin mengurus beberapa hal lain.”

“Apakah soal anime yang akan rilis itu??? Aku tidak sabar untuk menontonnya. Kak Tsukasa selalu merahasiakannya dariku.”

“Tolong. Kau tahu aku paling alergi membicarakan pekerjaan di hari libur, apalagi mengurusnya.”

Setelah beberapa percakapan lainnya, Motoya mengakhir telepon lebih dulu karena ia harus buru-buru pergi ke sekolah untuk meletakkan laporan murid yang digarapnya di rumah, lalu ke stasiun dan membeli roti kesukaan Tsukasa.

Kiyoomi menghembuskan nafas gelisah saat melihat jam yang semakin siang dan Atsumu belum membalas pesannya. Ia ragu apakah harus menelepon, tetapi ia mencoba memposisikan dirinya di sisi si pirang. Mungkin ia sedang sibuk sekali mengurus keperluan cosplaynya yang tidak sedikit itu jadi tidak sempat melihat ponsel.

Sebetulnya Kiyoomi juga tidak tahu harus melakukan apa di sana selain menampakkan muka di depan Atsumu (karena sepertinya kehadirannya sangat dinantikannya). Jadi tentu saja ia harus memastikan apakah Atsumu sudah sampai di sana atau tidak supaya ia tidak begitu bingung sendirian saat sudah di tempat.

Baru saja Kiyoomi mempertimbangkan apakah ia harus mengepel sambil memikirkan harus naik taksi atau kereta (karena kata Motoya acara kali ini di dekat stasiun dan sudah pasti akan ramai), ringtone dari anime voli yang direkomendasikan oleh Atsumu terdengar nyaring dari ponselnya.

“Atsumu?” Kiyoomi langsung menyapa sambil buru-buru memasang headset bluetoothnya, dan suara panik Atsumu segera menguasai pendengarannya. “Eh? Ada apa?”

“AKU BELUM SIAP!!! AKU BENAR-BENAR PAYAH, OMI-KUN!!!”

“Kau menangis?” tanya Kiyoomi terkejut.

Ia sudah sering mendengar Atsumu yang meraung entah karena stress, capek, panik, cemas, atau berbagai emosi lain di tempat kerja mereka, jadinya ia kaget kalau harus mendengar nada yang sama juga detik-detik menjelang acara favorit si pirang.

Atsumu terdengar menyedot ingusnya lalu mengeluarkan semua uneg-unegnya, “Aku belum siap. Koperku rusak dan aku tidak punya cadangan koper lagi, jadi aku memasukkan semuanya ke dalam tas gymku. Tapi wig-ku tersangkut dan rusak, jadi aku berusaha keras untuk memotong dan merapikannya supaya masih terlihat seperti Sawako. Sekarang aku di tempat tidur dan Samu marah-marah karena aku belum siap. Sebentar lagi kita akan menjemput Rin juga, tapi aku masih merasa kacau karena kejadian barusan. Aku baru saja mencari kaos kaki putihku sampai banjir keringat dan harus mandi... ARGHHH!!!”

“Hei...” Kiyoomi duduk di tempat tidurnya dan memikirkan kata-kata agar tidak membuat Atsumu tersinggung. “Aku belum berangkat, kok.”

“Aku tahu. Kau menungguku. Maafkan aku!” Atsumu menghembuskan nafas panjang. “Aku selalu panik sendiri dan melupakan banyak detail bahkan untuk diriku sendiri. Aku tahu aku harus menyiapkan dari jauh hari atau setidaknya semalam, tapi aku terlalu meremehkan dan merasa aku bisa menyelesaikannya di pagi hari. Tapi ini sudah siang dan aku masih belum mandi.”

“Kau sudah mengecek lagi apa saja yang kau bawa?”

“Aku harap sudah...” Terdengar resleting tas yang dibuka dan benda-benda yang menimpa satu dengan yang lain. “Wig, seragam, kaos kaki, sepatu, tas makeup, pelurus rambut, semprotan, apalagi yang kubutuhkan...”

“Kau sudah mengisi tas makeupmu dengan... Makeup?”

“Sudah, sudah- Oh, aku melupakan jaring rambut dan jepitku.”

“Lensa kontak?”

“Sudah kupakai. Aku tadi minta Samu yang memakaikannya karena... Aku tidak bisa...”

“Bagus. Kalau begitu lakukan sesuatu yang tidak membuatmu menangis, nanti lensa kontakmu bisa jatuh kapan saja.”

“Aku tahu!”

“Kau sudah berusaha,” ucap Kiyoomi, berharap kata-katanya bisa menenangkan Atsumu karena ia bingung harus apa. “Dengar, aku tidak bisa membantumu apapun mengenai cosplay. Tapi aku harap kau yang paling bersenang-senang hari ini. Jadi jangan membuat dirimu terlalu terbebani.”

“OMI-KUUUN, AKU JUGA INGIN KAU MENIKMATI ACARANYA DAN BERINTERAKSI DENGAN ANIME LAIN!!!”

“Lihat saja nanti. Sekarang mandilah dan kita akan bertemu dalam satu jam. Bagaimana? Kau juga bisa telepon aku lagi jika membutuhkanku untuk mengingatkanmu sesuatu.”

“Akan kuusahakan. Terima kasih banyak, Omi-kun. Aku merasa lebih baik sekarang. Sampai jumpa!”

Telepon dimatikan. Kiyoomi melepas headsetnya karena baru sadar sejak tadi ia tersambung dengan loadspeaker dan bukan bluetooth.


Atsumu tertawa sambil melihat refleksi dirinya di cermin yang terpasang sepanjang koridor menuju tempat acara. Ia sedikit gugup karena sudah lama sekali tidak memerankan karakter berambut hitam seperti Sawako di Kimi Ni Todoke, bahkan Osamu saja lupa bagaimana wajahnya saat sebelum mengecat rambutnya ke warna terang.

“Kaya nostalgia,” ujar Rintarou, ikut bercermin sambil membetulkan topinya yang miring, lalu posturnya agar terlihat tegap seperti karakter pemain baseball yang diperankannya, Furuya Satoru. “Walaupun sekarang kamu sering meranin karakter yang berani, tapi dulu kamu pemalu banget pas pertama kali cosplay. Makanya aku bilang cocok jadi Sawako.”

“Long hair and skirt do look good on me.”

“Memang.”

“Rame banget yang cosplay game hari ini.” Osamu yang berada di belakang membawakan koper Rintarou dan tas milik Atsumu, berkomentar saat sampai di aula dan melihat banyak sekali cosplayer karakter game yang berpapasan dengan mereka dibandingkan anime dan film. “Tsumu, engga dicariin temanmu?”

“Oh, iya!” Atsumu segera mengecek ponselnya dan berbinar saat membaca pesan dari Kiyoomi. “Dia sudah bersama teman-temannya. Sebentar, Samu, aku mau mengambil hadiahku.”

“Hah? Kenapa kau selalu punya hadiah untuknya?” tanya Osamu dan membiarkan Atsumu mengacak-acak isi tas gym yang dipanggulnya di sebelah bahu.

“Penggemar spesial,” goda Rintarou.

“Tidak, tidak, dia ini sudah banyak membantuku. Jadi aku setidaknya mau berterima kasih!”

Setelah mendapatkan yang ia cari, Atsumu segera meninggalkan Osamu dan Rintarou yang mulai dikerubungi oleh penggemar yang mengenalnya. Atsumu berusaha melewati cosplayer-cosplayer berbadan besar dan baju mereka yang berat, sebisa mungkin tidak menyenggol mereka.

Matanya berhasil menemukan sosok Kiyoomi yang berdiri dan bersandar pada pilar bersama Tsukasa (wah, akhirnya seniornya itu datang!) dan seorang laki-laki berambut coklat dengan alisnya yang lucu (apakah itu sepupunya yang adalah penggemar Rin???). Dalam hati, Atsumu bersyukur Kiyoomi tidak terlihat tertekan seperti waktu itu meski sekarang jauh lebih ramai. Ataukah Kiyoomi menyembunyikan perasaannya?

Atsumu terhambat oleh 2 sesi foto dadakan saat ada penggemar karakternya yang menghadangnya dan mengajak untuk mengambil gambar bersama. Tidak ada satupun dari mereka yang mengiranya adalah Natsumi karena Sawako adalah satu-satunya karakternya yang berambut hitam dan riasannya yang cenderung lebih polos dari lainnya.

Setelah menghabiskan waktu 15 menit, Atsumu melihat Kiyoomi yang saat ini sendirian. Apakah Tsukasa dan temannya pergi ke tempat lain untuk membelikan Kiyoomi sesuatu? Oh, apakah Kiyoomi overload lagi?

“Omi-kun!” seru Atsumu, lega sekali karena ia berhasil mencapai pria berambut hitam itu.

Kiyoomi yang tadinya sangat menunduk seperti ingin hilang dari muka bumi, mendongak dan terkejut melihat Atsumu, seperti tidak mempercayai apa yang dilihatnya.

“Atsumu?” Tatapannya menilai dari atas sampai bawah, lalu mulutnya yang tertutup masker berkomentar, “Kau terlihat sangat lembut.”

“Aku anggap itu sebagai pujian,” sahut Atsumu ringan, lalu menyerahkan hadiah yang syukurlah tidak dilupakannya.

“Apa?” Kiyoomi menerimanya walau bingung, lalu segera mengenali isinya saat melihat gambar dan merk pada kotaknya. “Undian apa yang kumenangkan kali ini?”

“Kau tidak membawa headphone-mu, kan? Kau sekarang juga tidak memakai headset. Jadi aku berjaga-jaga siapa tahu kau tidak membawa keduanya hari ini,” jelas Atsumu. “Kau selalu menggunakannya saat bekerja, katamu itu membuatmu lebih tenang dan menutup kebisingan dunia dari ketenangan batinmu. Semoga ini membuatmu senang hari ini.”

“Ah, iya. Terima kasih kalau begitu. Headphone-ku tertinggal di kantor dan headsetku... Aku lupa mengisi daya baterainya.” Kiyoomi menurunkan maskernya dan menunjukkan senyum kecilnya. “Kau tahu, bukan hanya kau orang di dunia ini yang melupakan detail.”

Tanpa sadar, Atsumu menggoyangkan badannya ke kiri dan kanan, tanda bahwa ia sangat senang dengan apa yang di dengarnya.

“Jadi... Apa kau ingin jalan-jalan atau mencari tempat untuk duduk? Aku tadi lihat Kak Iizuna dan temannya. Apa dia penggemar Rin? Komori, kan?”

“Iya,” timpal Kiyoomi. “Dia datang?”

“Rin-chan sedang menjadi Rin-kun sekarang dan iya, dia bersama Osamu sekarang. Pasti masih dikerumuni oleh penggemarnya dan aku yakin Komori-kun juga sudah menemukannya.”

“Semoga Motoya tidak serangan jantung melihatnya.”

“Oh, percayalah. Penggemar wanitanya Sunarin jauh lebih gila jumlahnya. Sudah kubilang dia itu aslinya perkasa, wajah malasnya sangat menipu.”

Mereka akhirnya memutuskan untuk jalan-jalan sebentar, lalu kembali ke tempat-tempat yang berada di pojok agar Kiyoomi bisa beristirahat di keramaian. Atsumu terkadang pergi untuk mencari karakter atau cosplayer favoritnya, tetapi hanya sebentar dan selalu kembali dengan tangan penuh merch dan membagikannya pada Kiyoomi.

Sepertinya sekarang ada satu hal yang Atsumu suka dari acara wibu selain berpose dan berdandan, melihat Kiyoomi tersenyum seperti tadi. Baiklah, mari pikirkan baik-baik cosplay selanjutnya dan beri kejutan yang lebih bermanfaat lagi!


“Samu monyet!”

“Hah? Kenapa?” Kiyoomi menurunkan headphone-nya ke bahu karena Atsumu tiba-tiba mengumpat begitu keluar dari ruang ganti cosplayer.

“Dia dan Rin! Mereka selalu begitu!” Atsumu cemberut dan dengan agresif mengetikkan sesuatu di room chat kembarannya.

“Hah? Kenapa, sih?”

“Mereka meninggalkanku!”

“Motoya dan Kak Iizuna juga pergi entah ke mana,” timpal Kiyoomi. “Kalau mereka, sih, biasanya kubiarkan saja. Lagipula aku tidak suka jadi orang ketiga.”

“Orang ketiga???” Atsumu tergelak, seperti lupa dengan kekesalannya pada Osamu. “Kenapa bisa begitu? Ternyata kau sering jalan-jalan dengan mereka, ya?”

“Bisa dibilang begitu. Tapi dulu waktu kami masih sekolah dan kuliah, aku lebih sering ikut Kak Iizuna ke supermarket dan pameran alat kebersihan karena Motoya... Meski dia guru taman kanak-kanak, ia tidak sebersih itu saat di rumah. Dalam artian, dia hanya bersikap profesional saja saat di lingkungan kerja. Jadi kalau kami jalan bertiga, Motoya selalu pergi sendiri mencari komik dan terkadang buku cerita anak-anak.”

“Osamu juga sering menegur pegawainya untuk lebih hati-hati saat memberi bumbu dan minyak, tapi di rumah ia sering berbuat salah yang serupa dan menjadikan Mama korbannya. Akupun juga sering diberi makanan yang sangat asin setiap kali kami bertengkar. Sayangnya aku tidak bisa membalasnya karena aku payah dengan urusan dapur dan aku takut malah membuatnya keracunan sungguhan.”

Kiyoomi berjalan di samping Atsumu yang membetulkan tasnya, sambil melihat cosplayer lain yang juga melakukan hal yang sama. Ini pertama kalinya bagi Kiyoomi untuk mengikuti acara wibu sampai akhir dan pulang bersama para cosplayer yang sudah melepas dandanan mereka. Banyak crossdresser seperti Atsumu dan mereka menghargai satu sama lain dengan tidak menyebar identitas asli.

Wah, orang-orang ini juga memiliki kehidupan biasa sepertinya. Ada yang sedang menelepon rumah dan menanyakan apakah ada yang ingin titip sesuatu ke supermarket padanya. Ada yang masih merasakan euforia acara tadi dengan teman-teman mereka dan bercerita dengan gembiranya. Kebanyakan juga sibuk mengecek jadwal transportasi umum untuk membawa mereka pulang.

“Aku akan naik taksi karena pasti stasiun dan halte akan ramai,” ujar Kiyoomi. “Kau bagaimana?”

“Aku juga akan naik taksi karena kembaranku yang seperti monyet itu meninggalkanku dengan pacarnya yang seperti rubah Tibet.”

“Kalau begitu mau satu taksi denganku?”

“MAU!!!”

Awalnya Kiyoomi rasa semuanya akan baik-baik saja. Atsumu masih mengoceh seperti biasa, kali ini bercerita tentang masa kecilnya dengan Osamu yang beberapa poin sudah pernah diceritakannya atau mungkin masa itu yang berulang hingga besar karena Kiyoomi lumayan mengingat detailnya.

Sampai beberapa ratus meter mendekati apartemennya, taksi menjadi sunyi dan kepala Atsumu tiba-tiba saja bersandar di bahunya. Cerita-cerita tergantikan dengan dengkuran halus.

Kiyoomi berusaha menahan geli karena rambut Atsumu yang mengenai leher dan telinganya.

“Atsumu...” bisik Kiyoomi sambil tangannya yang berada di sisi Atsumu menggapai pipinya dan menepuknya pelan. “Kita sudah sampai. Singgahlah di apartemenku dulu.”

“Hmm, 5 menit lagi...”

“Aku tidak akan kuat menggendongmu sambil membawa tasmu. Ayo, berdirilah dulu.”

Akhirnya Atsumu menurut, dengan mata yang masih setengah terpejam, berpegangan pada Kiyoomi yang turun dari taksi dan harus naik tangga menuju apartemennya yang berada di lantai paling atas. Kiyoomi sedikit kesusahan membuka kunci dengan membopong Atsumu yang malah keenakan tidur di bahunya.

“Buka sepatumu dulu,” ujar Kiyoomi sambil tangannya meraba tembok untuk mencari tombol lampu.

“Iya, iya...” Atsumu melepas sepatunya dengan asal.

“Awas!” Kiyoomi segera mendekap Atsumu yang hampir tersandung lantai yang lebih tinggi. “Astaga, kau ini, setidaknya buka matamu dulu!”

Dengan segala usahanya, Kiyoomi berhasil menghempaskan Atsumu ke atas sofanya. Jika ini situasi normal, ia pasti akan menyuruh Atsumu untuk cuci tangan terlebih dahulu.

“Kau mau makan?”

Tidak ada jawaban saat Kiyoomi bertanya dari arah dapur. Oh, benar. Atsumu langsung tertidur di atas sofanya yang nyaman. Kiyoomi mengeluarkan bento minimarket yang disimpannya di kulkas, lalu menghangatkannya dengan microwave.

Sepertinya Atsumu akan menginap di tempatnya hari ini. Ia pernah diberitahu Osamu saat kali kedua ia berkunjung ke kedai onigirinya kalau Atsumu sangat kebo dan jika sudah benar-benar terlelap, gempapun takkan membangunkannya. Jadi, Kiyoomi sebenarnya beruntung Atsumu masih beberapa persen sadar karena kalau tidak, ia benar-benar harus menggendongnya.

Mungkin efek dari mental breakdown yang dialami Atsumu sebelum berangkat ke tempat cosplay menambah 3 kali lipat rasa lelahnya. Kiyoomi kadang merasa bersalah karena ia lumayan sering membentak Atsumu di tempat kerja akibat kesalahpahaman, tapi ia sendiri juga butuh pekerjaan itu selesai agar jiwanya bisa tenang.

Setelah menikmati makan malamnya, Kiyoomi pergi ke kamarnya mengambil kapas dan pembersih wajah. Pelan-pelan mengaplikasikan cairan pembersih wajah miliknya ke riasan si pirang yang rupanya cukup tebal meski terlihat natural. Kiyoomi rasa tidak ada orang yang akan nyaman tidur dengan makeup.

Seusai membersihkan makeup, Kiyoomi melepaskan tas gym yang masih melingkar di bahu Atsumu, lalu menurunkan selimut yang tersampir di kepala sofanya untuk menutupi tubuhnya.

Membiarkan Atsumu tidur sepuasnya di sana sementara ia pergi ke kamar untuk mencatat inspirasi-inspirasi warna hari ini.

Sejak mereka saling tahu bahwa Atsumu adalah Natsumi, nampaknya, keduanya mulai berusaha untuk juga saling mengerti satu sama lain.

Atsumu tahu bahwa Kiyoomi tidak suka dengan orang yang pelupa, maka sebisa mungkin ia mencatat semua detail-detail yang diminta dan mengonfirmasi kembali (meski terkadang ia masih melewatkan atau salah paham tapi tidak mau mengakui kalau ia tidak memahami yang disuruh).

Sebaliknya, Kiyoomi juga terus mencari cara agar ia bisa menjelaskan kepada Atsumu dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti juga memaklumi sikap panik dan mudah teralihkan fokusnya, walau di beberapa kesempatan Kiyoomi dibuat meledak dengan kesalahan-kesalahan yang tidak begitu disengaja.

Sebagai perantara Kiyoomi dan Atsumu, Tsukasa memperhatikan kalau keduanya semakin bisa bekerja sama jika mengesampingkan pertengkaran-pertengkaran yang menurutnya masih wajar.

Tsukasa bersyukur Atsumu perlahan terbiasa dengan pekerjaan yang sangat membutuhkan konsentrasi tinggi dan ketelitian ini, dan Kiyoomi yang mulai dapat berinteraksi lebih banyak dengan orang selain dirinya dan Motoya.

Nampaknya, bulan ini mereka bisa membuat preview yang cantik dan memikat.


Sebagian besar lampu sudah dimatikan, Tsukasa pulang lebih dulu karena ada acara (yang Atsumu yakini adalah kencan) dan beberapa staf divisi lain yang juga berbagi ruangan dengan mereka satu per satu mematikan lampu meja masing-masing.

“SELESAI SUDAH- ups!”

Atsumu berteriak dengan bebas dan menutup laptopnya dengan suara kencang, kemudian memukul mulutnya sendiri saat tersadar bahwa di ruangan itu tersisa dirinya dan Kiyoomi. Karena terlalu bersemangat mengejar target yang mereka berdua tentukan, Atsumu jadi ikut lembur. Tapi tidak apa-apa! Ia sudah sering mengecewakan Kiyoomi jadi sekeras mungkin ia harus menunjukkan kualitas dan usahanya.

Ia menatap jam dinding dan saat membacanya, ia senang karena masih punya banyak waktu untuk pergi ke kedai onigiri saudara kembarnya sekarang.

Atsumu mendorong kursi kerjanya ke belakang dan melihat ke bilik Kiyoomi yang menampakkan cahaya monitor warna-warni, menandakan bahwa senior yang sebetulnya berusia lebih muda darinya itu masih bekerja.

“Omi-kun~” Atsumu memanggil Kiyoomi dengan nama panggilan buatannya, ia selalu melakukannya saat hanya ada mereka berdua saja. “Aku sudah menyimpannya. Kau bisa cek lagi besok...”

Atsumu berhenti berbicara ketika mendapati Kiyoomi yang tidur dengan posisi yang sangat tidak nyaman; kepala bersandar pada lengannya yang masih menggenggam pena dan tangan lainnya menggantung di laci keyboard. Milky yang biasa berada di dekapan eratnya, tergeletak di lantai dan headphone yang selalu dikenakannya tidak bisa ditemukan di manapun.

Ini bukan pertama kalinya Atsumu melihat Kiyoomi lembur sampai tertidur seperti ini. Kadang ia tak tega karena rata-rata alasannya mengambil jam kerja lebih banyak karena untuk memperbaiki kesalahan.

Apakah bantuan Atsumu sebenarnya tidak cukup... Atau bahkan sama sekali berguna? Apa mungkin Atsumu yang tidak memperhatikan koreksi Kiyoomi dan membuatnya harus menanggung semua kesalahannya agar tidak dimarahi oleh atasan? Dia seperti lelah sendirian, bagaimana nasibnya dulu saat sebelum Atsumu datang? Apakah sama saja?

“Hei, Omi-kun...”

Atsumu mengambil Tsumi, mengibaskan debunya lalu menyentuhkan boneka itu berkali-kali ke bahu Kiyoomi sampai pria bersurai hitam itu terbangun.

“Huh?” Kiyoomi mengusap pipi kanannya yang terasa panas karena tidur dengan posisi wajah menekan lengannya, lalu otomatis menerima Tsumi dan meletakkannya ke atas pahanya.

Dipikir-pikir, ia cukup menggemaskan kalau tidak merengut dan marah-marah.

“Aku sudah menyelesaikan pekerjaan yang kau minta,” ujar Atsumu dan kembali ke tempatnya sendiri untuk mengambil barang-barangnya. “Ayo kita pergi makan!”

“Aku sudah makan jelly,” sahut Kiyoomi, menarik nafas sejenak dan tangannya otomatis menyentuh pena dan mouse lagi.

“Hei! Simpanlah pekerjaanmu! Masih ada hari esok!” Atsumu bersedekap tidak setuju. “Kau ini suka menanggung semuanya sendiri. Setidaknya beritahu aku jika membutuhkan bantuan. Apa gunanya aku sebagai asisten warna kalau kau sendiri tidak menggunakanku? Kalau memang tidak sesuai dengan yang kau inginkan, kau bisa memberitahuku untuk menambahkan detail-detail tertentu. Aku sungguh berusaha untuk mengerti dirimu, jadi ijinkan aku untuk terus belajar dan membantumu! Itu gunanya rekan!”

“Sudah.”

“Eh?”

Saking asiknya menyampaikan apa yang ada di pikirannya, Atsumu baru menyadari kalau ternyata Kiyoomi juga sudah mematikan komputernya dan bersiap untuk pulang.

“Sejujurnya aku tidak begitu memahamimu,” ucap Kiyoomi. “Aku tidak mengerti kenapa kau terus saja memasukkan warna yang bertabrakan pada Ritsuki setiap kali ia bertemu dengan Taka. Tapi hari ini aku memutuskan untuk berdiskusi dengan tim storyboard dan mereka mengatakan kalau Ritsuki memiliki memori jangka pendek. Cerita ini dari sudut pandang Ritsuki yang mencintai Taka, tapi ingatan tentangnya tiap hari selalu berubah. Hari ini saat upacara penerimaan siswa baru, Taka berambut abu-abu gelap dan bermata kenari, lalu hari berikutnya saat bertemu di kantin, mata dan rambut Taka tiba-tiba kau warnai hitam. Awalnya aku kesal dan terus memperbaiki shade rambut Taka yang kau buat di setiap framenya, tapi ternyata aku salah. Karena itu aku berusaha untuk mengembalikannya kembali tanpa membuatmu mengerjakannya ulang, karena kemarin kau bilang kau selalu lupa membuat salinan pekerjaan terdahulu.”

Ini bukan pertama kalinya Kiyoomi berbicara panjang lebar padanya dan tidak melalui teks. Biasanya ia selalu menggunakan tempo yang begitu cepat dan beberapa katanya sering terlewat dari pendengaran Atsumu. Cenderung otoriter dan memaksanya untuk segera paham. Tentu saja karena mereka berada di lingkungan kerja.

Tapi saat ini, meski Kiyoomi juga berbicara sama cepatnya, namun dengan intonasi lebih lembut seperti seseorang yang mengakui kesalahannya dan ingin meminta maaf. Ia terus memberi jeda di setiap akhir kalimatnya agar Atsumu benar-benar dapat memahami apa yang ingin disampaikannya.

Kiyoomi menghembuskan nafas panjang setelah berkata-kata seperti itu, lalu memainkan tali ranselnya sendiri sambil melanjutkan,“Mungkin kita bisa berdiskusi mengenai kapan saatnya memastikan warna rambut dan mata Taka setelah kedua tokoh itu semakin sering bertemu dan saling mengenal.”

“Omi-kun...” Atsumu menghapus pelan air matanya yang sudah di ujung. “Kau begitu memikirkanku-”

“Aku memikirkan tentang kita. Jadi kau mau mengajakku makan di mana? Kuharap di manapun itu, tempatnya higenis dan tidak bau keringat.”

“Hah?”

“Kau tadi mengajakku makan-”

“OH, BENAR!!!” Atsumu mengepalkan tangannya ke atas dengan bersemangat. “AYO KE TEMPAT SAUDARAKU!!!”


Onigiri Miya sudah mulai sepi saat mereka datang, persis seperti yang Atsumu harapkan. Hanya ada sepasang kakek-nenek yang makanan mereka sudah habis tapi masih ingin menonton siaran kompetisi voli sekolahan yang ditayangkan di televisi gantung.

Osamu sedang mencuci piring, sementara Rintarou menjaga kasir sambil memainkan ponselnya dan mengemut es stik.

“Itu Suna Rintarou, pacar saudaraku,” jelas Atsumu ketika dirasanya mata Kiyoomi meneliti Rintarou yang sama sekali tidak mengubah posisi setengah tidurannya saat melihat kedatangan mereka. “Hari ini pegawai yang berjaga sedang sakit, jadi dia datang membantu. Dia memang terlihat mengantuk, tapi percayalah, sebenarnya dia yang paling perkasa di antara kita.”

“Yo~” sapa Rintarou, sedikit menegakkan tubuhnya untuk memberikan buku catatan pesanan pada Atsumu dan Kiyoomi yang duduk di bar. “Tulis saja sendiri dan sampaikan pada Osamu. Aku sedang menonton live idolaku.”

“Akhirnya seseorang yang tidak bicara Kansai.”

“Hei, apa maksudmu, Omi-kun???” Atsumu menyikut pelan lengan Kiyoomi yang terdengar lega saat tahu Rintarou tidak memiliki dialek yang sama dengannya.

“Kau Rin-chan?”

Bagai tersambar petir, jantung Atsumu seperti berhenti mendadak mendengar Kiyoomi dengan santainya menembak pertanyaan itu. Osamu yang menguping, segera menyibak tirai ruang belakang dan membawa sutil kayu, mungkin mengira kalau ada penguntit Rintarou yang datang lagi ke kedainya.

Rintarou mencabut es dari mulutnya dan memicingkan matanya sedikit, kemudian tertawa sambil mengibaskan tangannya.

“Tajam sekali. Kau pasti yang dapat hadiah perdana dari Natsumi, ya?” tanyanya. “Aku melihatmu waktu itu saat sedang istirahat.”

“Bukan stalker, kan?” Osamu berdiri di belakang Rintarou untuk memastikan dan saat kekasihnya menggeleng sebagai jawaban, ia kembali lagi pada pekerjaannya yang terhenti.

“HENTIKAN!!!” Atsumu menutup telinga dengan kedua tangannya rapat-rapat. “AKU TIDAK INGIN MENDENGARNYA!!!”

“Iya,” sahut Kiyoomi. “Itu... Sepupuku penggemar beratmu. Kau ingat laki-laki yang alisnya seperti bola coklat itu?”

“Yang namanya Komori? Dia sangat ceria dan sopan, bahkan tidak pernah menyentuhku saat aku bilang tidak apa-apa jika hanya sekedar bersalaman. Kalau aku bertemu dengannya lagi, aku akan memberikan oleh-oleh untuknya.”

“Tolong jangan. Sebenarnya dia gila.”

Tentu saja Kiyoomi maupun Rintarou tidak mengindahkan permintaan Atsumu.

Dan Atsumu sendiri tidak benar-benar serius. Bahkan ini bagus. Ia tidak mengira kalau Kiyoomi akan dengan santainya bersosial dengan Rintarou dan membicarakan orang lain bersama, bahkan juga bersekongkol dengan Osamu untuk meledeknya.

Kiyoomi juga menyukai onigiri buatan Osamu. Atsumu tidak ingat detail, tapi Kiyoomi memuji isian umeboshite yang sangat segar dan ingin membeli merk nasi yang sama saat stok di apartemennya habis.

Pria kaku yang perfeksionis dan menyendiri itu, bisa akrab dengan begitu cepat dengan kenalan Atsumu meski ia masih bisa mendengar ada nada canggung dan gagap di beberapa kata yang keluar.

Tapi Kiyoomi benar-benar berusaha untuk dekat dengannya.

Rasanya, Atsumu semakin tidak ingin mengecewekannya lagi.

“Omong-omong, Atsumu...”

Suara Rintarou memecah ketenangan batinnya.

“Kau sudah siapkan kebutuhan event minggu depan?”