chuurreal

Tooru menggerutu tanpa suara sembari mendorong stroller berisi makhluk kecil nan bulat yang hanya duduk plonga-plongo sembari menggenggam ponsel mainan.

Pelatih Seijoh itu sejak tadi hanya memutari komplek, pertokoan, dan ujung-ujungnya kembali lagi ke perumahan. Beneran kaya diusir dari rumah. Tadinya cuma pamitan mau jalan sore, eh malah ditinggal tanpa kabar sama Hajime.

Kalau dipikir-pikir, suaminya udah aneh dari kemarin. Tooru ga ada jadwal latihan hari ini tapi malah disuruh ke Seijoh sama Hajime.

Seingat Tooru juga Hajime harusnya ada jadwal latihan fisik sama Sendai Frogs hari ini, tapi katanya udah digantiin sama latihan lainnya.

Aneh. Tooru makin kesel karena Hajime biasanya cukup ketat soal Tobio yang keluyuran di luar.

“Oik!”

Mendengar suara tak asing memanggil namanya itu, Tooru menoleh, mendapati Eita yang baru keluar rumah dan lagi bawa Tsutomu yang sedang menangis dalam gendongannya.

“HUAAAAAAAAAAAAA”

“Aduh, aduh, Tomu-chan kenapa kok, nangis?” tanya Tooru, sementara Tobio cuma bingung sekaligus heran liat temennya yang biasa ceria sekarang malah mereog.

“Iya nih, habis cabut gigi tapi nekat mau beli es krim. Dimarahin mamanya, deh.” Eita yang menjawab, masih berusaha menenangkan Tsutomu. “Dek, itu lho diliatin Bio!”

“GAMAUUUUUUUU” rengek Tsutomu. “MAU ITUUUU HUAAAAAA”

“Tomuuuuu, kalo dikasih tau Mama tuh nuruuut...”

Selagi Eita ceramah, otak Tooru pun berpikir.

Oh, iya. Daripada jalan ga jelas begini, kenapa ga menitipkan Tobio ke rumah Eita saja? Kasian juga anaknya kalo di luar terus nanti masuk angin, mana bentar lagi gelap.

“Bio mau main sama Tomu?” Tooru menawari dua anak itu. “Tomu juga mau? Nanti main arcade di depan, yuk!”

“Tuh, diajak main Uncle Tooru sama Bio,” timpal Eita.

Tobio udah mangap mau jawab, tapi ponsel pink di tangannya tiba-tiba berkedip dan melantunkan musik bernuansa anak-anak.

“Oh, engga deh! Udah waktunya pulang!” ujar Tobio.

“Pulang? Papa sama Bio kan, diusir Chichi.”

“Heh!” tegur Eita. “Ga dibilangin ke anaknya juga kali!”

“PAPAAAAAAAAAAA”

“Yaudah iya kita main sendiri.” Eita mau ga mau nurutin anaknya yang makin berisik. “Dadah dulu sama Bio!”

“PAAAAAAAAA—”

“Tomuuuu... Jelek kaya gitu, ya!”

Eita ngehela nafas liat Tsutomu yang sesenggukan, lalu menatap Tooru dan Tobio bergantian.

“Sorry duluan, ya! Kapan-kalan main bareng, Dedek lagi waktunya rewel ini.”

“Yoi!” bales Tooru santai. “Aku pulang dulu, deh. Siapa tau Hajime udah kangen aku dan minta rujuk.”

“Idihhh”


Sesampai di rumah, benar mobil Hajime sudah ada di di sana. Lebih heran lagi karena Tooru bisa memasukkan kata sandi rumah seperti biasa, yakni tanggal ulang tahun Kaito, padahal ia yakin tadi gagal terus.

Setelah melepas Tobio dari stroller, si bocil langsung berlari masuk dan Tooru langsung mengejarnya karena semua ruangan masih dalam keadaan gelap.

“Tunggu dulu, Bio!” panggil Tooru yang akhirnya berhasil menggaet tangan si kecil. “Nanti kepeleset, mental kamu!”

“Mau makan!”

“Iya dinyalakan dulu lampu—”

“Ih, Kaa-chan kok udah icip-icip! Itu kan punya Papa!”

Tooru berhenti bicara saat mendengar suara Nanao dari arah dapur yang remang-remang. Dia cuma bisa melihat Hajime yang duduk di kursi tinggi membelakanginya, sedangkan Nanao dan Kaito berada di seberangnya.

Yang jelas, mereka berisik banget. Tooru kaya lagi ngintipin keluarganya yang menjalankan misi rahasia.

“Papa lama tauuu! Udah laper ini!”

“Kalo mau jilat jangan di kuenya langsung dong, Kaito... Tulisannya nanti berantakan. Tuh, lihat?”

“Iya ih, Kaa-chan jorok! Nanti Papa ga jadi tambah umur kalo tulisannya ilang!”

“Engga gitu ya, Nanao...”

“Maaf, Chichi!”

“Hahaha, udah-udah. Chichi siapin lilinnya, kalian jangan terlalu deket.”

“Siaaaaaaaap”

Tooru masih mempertimbangkan apa dia harus pura-pura ga tau soal kejutan yang sebentar lagi akan mengejutkannya atau...

“Eh?? B-Bio!”

Terlambat. Tobio udah nyelonong ke dapur dan Tooru cuma bisa menghela nafas dan ngikutin si bungsu yang menggegerkan anggota keluarga mereka lainnya.

Tapi tak apa. Muka Hajime, Kaito dan Nanao saat ini sangat menghibur di mata Tooru.

“Biooo! Kan, Nao udah kasih tau kalo hapenya bunyi tiga kali, baru boleh masuk!” sungut Nanao.

“Tadi udah bunyi tiga kali, kok!” bales Tobio.

“Masa, sih? Tadi Bio itung, ga???”

“Engga! Bio pake feeling!”

“ARRRGGGHHH TUH KAAAAAN”

Kaito ngacak rambut frustasi, tapi sedetik kemudian dia kembali senyum waktu liat Tooru.

“Nah, karena Papa udah dateng, waktunya makan!”

“Eh, belum!”

Hajime menghalangi muka Kaito yang siap menyerbu kue dengan piring plastik, lalu menoleh ke Tooru yang senyum ga jelas dengan tubuh bersandar ke counter dan tangan bersedekap.

“Ngapain kaya gitu?” tanya Hajime sambil menaikkan Tobio ke kursi tinggi di antara kakak-kakaknya. “Cepetan tiup lilin!”

“Hmmm apa ya ini?” kekeh Tooru seraya berjalan ke arah mereka. “Kirain beneran diusir.”

“Hehe, maaf ya, Papa! Tadi Chichi bilang kuenya belum jadi, terus kita suruh Bio buat nemenin Papa keluar.”

“Ih, Nao-chan kok kasih tau Papa?! Kan, Chichi udah bilang rahasia!”

“Ya ampun...” Hajime tertawa dan mengacak rambut satu per satu anaknya. “Udah, udah. Yang penting kan, jadi beli kuenya!”

Tooru tersenyum, ingin sekali mencium satu-satu putranya yang bersusah payah membuat kejutan untuknya.

Kalau cium Hajime nanti malam aja biar bisa lama.

Tetsurou keluar dari mobilnya dengan sedikit terburu-buru ketika sampai di rumahnya. Bahkan nyaris lupa untuk mengambil keranjang berisi makanan dari Eita di kotak paket.

Perasaannya tidak enak sejak ia mendapat kabar bahwa Kenma sakit. Walaupun keliatannya berusaha bersikap santai dan Kei sudah bilang suhu badan Kenma kembali normal, tapi siapa sih, yang tidak kuatir kalau anaknya sakit?

Saat masuk rumah, Tetsurou meletakkan makanan di dapur yang bisa dibilang masih sangat bersih. Dia tahu kebiasaan Kei yang mau serepot apapun, rumah harus tetap rapi. Tetsurou membuka perlahan kamar Kenma, tapi justru tidak ada siapapun di sana. Ruangannya dingin seperti tidak dihuni sama sekali, begitu juga dengan kamarnya dan Kei.

Barulah Tetsurou ingat kalau tadi Kei sempat bilang Kenma tidak mau berbaring sama sekali. Karena ia baru dari rumah sakit, Tetsurou mengganti pakaiannya lebih dahulu lalu melangkahkan kaki ke playroom dan voila! Dua orang tersayangnya ada di sana dengan keadaan tidur!

Kei setengah berbaring di atas sofa, sebelah tangannya terkulai ke bawah dan sebelah lagi bergerak sangat pelan menepuk-nepuk pantat Kenma seolah melakukannya dengan keadaan setengah sadar. Wajahnya sedikit merah dan penuh keringat, terlihat sangat lelah.

Sementara Kenma tertidur pulas di atas badan Kei sampai ngiler. Baju mereka juga terlihat basah semua karena keringat.

“Enak banget kamu, Nak. Seharian melukin Mama, kan Papa juga mau,” gumam Tetsurou iri.

Dengan sangat hati-hati, Tetsurou melepaskan pengait gendongan yang melingkari tubuh Kei dan Kenma, kemudian mengangkat anaknya itu dan—

“Hrgrhrnghrnghrngrhrnghhh”

“Shhh, shhh, shhh,” bisik Tetsurou menenangkan anaknya bersuara seperti mesin rusak gara-gara dipisahkan dari mamanya.

”...hrhrgrhrhrhh”

“Iya, Sayang. Bobo ya, bobo~”

Beruntung tidak ada drama lanjutan, dengan cepat Kenma kembali tenang dalam gendongannya. Tetsurou menghela nafas lega, tubuh anaknya sudah tidak sepanas yang ia bayangkan. Kenma pasti akan lebih cepat pulih kalau istirahat dengan nyaman.

Tapi...

Tetsurou kembali pada keanehan yang ia pikirkan tadi. Ia menyibak poni Kei yang basah karena keringat dan terkejut saat menyadari betapa panas kulit suaminya.

“Oya, oya, oya... Ini badan kok ikutan nyerap panas,” kekeh Tetsurou. “Pantesan... Tiba-tiba manja gitu.”


Setelah mengganti pakaian Kenma dengan yang baru, membaringkan di tempat tidur, dan mengecek suhu badan anaknya yang sudah jauh lebih baik, Tetsurou meninggalkan kamar anaknya dengan pintu terbuka. Sengaja biar tahu kalau Kenma terbangun dan mencari orang tuanya.

Tetsurou kembali ke playroom dan Kei ternyata masih tidur. Iapun mengembalikan pada tempatnya tumpukan buku cerita di meja yang mungkin saja Kei bacakan sampai habis supaya Kenma tidur dan juga piring berbentuk kucing milik si bocah yang tersisa sedikit nasi.

“Ayang~” panggil Tetsurou menepuk pelan pipi Kei yang panas. “Bangun. Makan dulu, terus minum obat.”

Kei perlahan membuka matanya, mengernyit sembari memegangi kepalanya yang sakit.

“Dadaku kok, kaku banget...” keluhnya sambil berusaha duduk, dibantu oleh Tetsurou.

“Haha, ya gimana ga kaku? Udah berapa jam kamu ketindihan Kenma?” tanya Tetsurou seraya terkekeh. “Demamnya malah pindah ke kamu, nih.”

“Oya?”

“Iyaaa”

“Kenma udah gapapa?”

“Aman. Udah kupindah ke kamar, habis minum air langsung bobo lagi dia.”

“Yaudah...”

“Ayo, makan!” ajak Tetsurou sambil menunjuk dua piring yang ia letakkan di meja kecil. “Aku udah kelaperan ini. Kamu pasti dari tadi juga ga makan karena ngurus Kenma.”

Kei terdiam. Sepertinya dia memang masih mengumpulkan nyawanya.

Melihat Kei yang cuma bengong, entah karena sakitnya atau masih mengantuk, Tetsurou tidak tahan dan langsung mencubit pipinya.

“Yuk. Aku suapin.”

“Asiiik~”

Akhirnya Kei benar-benar mau makan meski hanya beberapa suap, yang penting cukup untuk mengisi perutnya dan bisa minum obat setelahnya.

“Belepotan, ah. Kaya Shoyo makannya,” ejek Tetsurou, untuk ketiga kalinya mengelap ujung bibir Kei yang terkena makanan.

“Kok, tumben enak,” ucap Kei tanpa mempedulikan Tetsurou.

“Oh, ini Semi yang masak.”

“Pantesan.”

Tetsurou tersenyum. Sepertinya dia memang tidak perlu kuatir berlebihan karena Kei masih bisa mengecap rasa.

“Mau tidur sekarang?” tanya Tetsurou sembari menyeka keringat di dahi dan leher Kei dengan handuk.

“Hm... Masih ngantuk, sih.”

“Ayo pindah ke kamar. Di sana dino-nya lebih banyak.”

“Gendong,” pinta Kei, merentangkan kedua tangannya.

Duh, Tetsurou mana bisa menolak, sih?

“Piggyback or bridal?”

“Koala, please?”

Tetsurou mengiyakan dan mendekap Kei yang sudah tidak sepanas tadi, mungkin efek obat juga, dan mengangkatnya. Kei sendiri langsung memeluk Tetsurou dan menyandarkan kepalanya dengan nyaman di bahu sang suami yang membawanya ke kamar mereka berdua.

“Udah sampe, Yang,” ucap Tetsurou sambil naik ke atas tempat tidur dan bermaksud membaringkan Kei.

Namun tidak ada jawaban.

“Kei?”

Dengkuran halus terdengar dan menggelitik tengkuk Tetsurou.

“Oyaoya, cepet banget tidurnya.”

Tetsurou hanya bisa tertawa sekaligus bingung bagaimana cara membuat Kei berbaring di atas kasur tanpa membangunkannya.

Sepertinya Tetsurou memang harus bersabar dan bertahan dengan posisi ini.

Tooru tahu, mungkin ini karma untuknya. Sifat jahilnya itu bercabang menjadi 3 berbentuk manusia semacam Kaito, Nanao dan Tobio. Hajime dulu sempat mampus-mampusin, tapi akhirnya juga yang paling sering kena apesnya.

Dan sekarang Tooru berdiri dengan muka bingung, serius, panik, semua jadi satu, di depan puluhan lego Godzilla yang harganya bisa menembus gaji bulanannya.

“Tadi yang rusak yang mana, ya?” gumamnya, masih sibuk memilih dengan kancingnya. “Kayanya yang bantet ini, deh.”

“Udah punya kalo yang itu.”

“EH, ANJIR!!!”

“Woy! Hati-hati!”

Saking kagetnya, Tooru terlonjak di depan dan hampir menabrak display di depannya. Hajime mendengus, tapi kemudian tertawa.

“Ngapain, sih? Main kabur gitu aja, anak-anak ditaruh di tempat orang ga ngomong aku dulu?” tanya Hajime, tidak ada nada menuntut atau kesal, murni heran.

Tooru menghembuskan nafas panjang.

“Kamu engga marah.”

“Hah?”

“Kamu biasanya marah kalau barang kesayanganmu rusak.”

“Oh. Mau dimarahin nih, ceritanya?”

“Marahin aku aja.”

“Aneh,” kekeh Hajime. “Dah, lah. Ayo pulang.”

“Hajime...”

“Jalan kaki aja. Deket, kan?”

“Tumben.”

“Ck.”

“IYA, IYA, MAU!!!”

Mereka berdua keluar dari toko dengan tangan kosong, berjalan kaki menyusuri jalan menuju rumah mereka yang berjarak kurang dari 2 km dari sana.

Keduanya diam, tapi sama-sama merasakan kalau suasana sekarang seperti saat bertahun-tahun lalu mereka nyaris tidak pernah tidak pulang sekolah bersama karena rumah mereka yang berdampingan.

“Inget pas kita kelas 4?” Hajime memecah keheningan. “Waktu kamu main voli di kamarku dan akhirnya kena display Godzilla-ku sampe ambruk?”

“NAH!!!” Tooru nunjuk-nunjuk Hajime bersemangat. “Itu kamu ngacangin aku seharian!!!”

“Oke. Terus inget waktu Kaito nginjek laptop kita pas dia lagi belajar jalan? Nanao muntah di bajuku pas aku mau berangkat kerja? Atau Tobio yang gigitin bola volimu sampe membekas?”

Tooru terdiam sejenak, pelan-pelan ikut memutar ulang memori-memori tersebut di benaknya.

Karena Tooru sama sekali tidak menjawab, Hajime pun melanjutkan,

“Waktu itu aku langsung narik kamu dan mastiin lemariku ga jatuhin kamu. Aku langsung nyabut semua charger dan nyingkirin stop contact biar ga nyetrum Kaito. Kita berdua juga langsung meriksain Nanao ke dokter dan ternyata dia cuma kekenyangan.”

“Dan Tobio yang ternyata tumbuh gigi,” tawa Tooru, akhirnya ikut menimpali. “Aku udah takut dia mules atau batuk gara-gara gigit sesuatu yang ga seharusnya.”

“Pada akhirnya kita ga jadi marah, kan?”

Tooru tersenyum sembari menatap Hajime. Masih banyak lagi momen serupa yang tidak bisa semuanya dijabarkan, tapi Tooru memahami intinya.

“Kaya mau sekaget dan semarah apapun, ujung-ujungnya aku ga bisa marah. Apalagi kalo soal kalian. Lebih penting keselamatan anak-anak yang bisa aja kegores pintu kaca atau kakinya luka gara-gara nginjek lego. Itu yang pertama kali kupikirin tadi. Aku bahkan kepikiran mau ganti display-ku ke lemari plastik aja, takut hal yang sama terjadi lagi.”

“Hajime...”

“Tapi—” Hajime ternyata belum selesai. “Kita masih harus giat ngasih tau soal privasi ke mereka. Biar nanti ga kebiasaan ngambil barang temen-temennya atau bahkan orang asing.”

“Bener...” Tooru mendengus keras, lalu tertawa keras dan merangkul Hajime. “Bolot banget kadang mereka ini. Tapi gimana, ya? Sayang banget.”

“Kaya kamu itu.”

“IYA, IYA, TAU! AKU MINTA MAAF! KALI INI JANGAN MARAHIN MEREKA!!!”

“Aku emang ga niat marah. Kamu aja yang mau kumarahin.”

“Iya, hukum aja kalo perlu.”

“Oke. Lari keliling komplek 5 kali, push up 50 kali—”

“APAAN—”


Tooru dan Hajime sampai lebih cepat ke kediaman Sawamura setelah berlomba lari. Seperti jaman sekolah, yang kalah akan traktir ramen pakai ekstra topping.

Tidak ada yang kalah, sih. Keduanya tiba bersama, tapi Hajime tetap mau traktir mereka sekeluarga.

Tapi ternyata saat mereka masuk, keadaan hening sekali. Trio setan sama-sama ketiduran, banyak kertas berserakan di meja bergambarkan hewan aneh-aneh.

“Digambarin Godzilla sama mereka,” terang Daichi.

“Lucu banget, lho!” timpal Koushi. “Seiya sampe bantu warnain!”

Hajime menatap Tooru tajam.

“Kamu... Cerita ke mereka?”

Nah. Hajime akhirnya benar-benar marah.

Tooru berkacak pinggang sambil menatap satu per satu anaknya.

“Papa mau cari godzilla dulu. Nanti begitu pulang, semuanya minta maaf ke Chichi! Ga boleh diwakilin! Paham?”

Kaito, Nanao, dan Tobio yang baru selesai melepas sepatu mereka, menjawab kompak,

“Iya, Papa...”

“Di rumah Uncle juga engga boleh nakal. Engga boleh teriak, lari-lari, gangguin Uncles sama Seiya, nonono. Duduk diem aja, gambar-gambar di buku sendiri, mainan sendiri! Engga boleh berantem juga! Oke?”

“Iya, Papa...”

Daichi cuma bisa tersenyum canggung memperhatikan interaksi Tooru dan ketiga anaknya sembari berpikir,

Jadi tiap Tooru bilang 'briefing anak' sebelum dititipin ke tetangga, beneran di-briefing sampe segininya, ya... Apa kabar kalo Hajime yang briefing?

“Daichi, aku titip mereka bentar, ya!” pamit Tooru, muka tegasnya sudah berubah kalem lagi, lalu nepuk ketiga anaknya. “Dah! Baik-baik di sini, permisi dulu sama Uncle!”

“Permisi, Uncle!” seru Kaito lantang seperti biasa.

“Pelan-pelan, Ka-chan. Hayo! Papa baru aja ingetin!”

“Oh, iya!”

“Ih, Ka-chan bego!”

“Nao-chan, ga boleh gitu sama kakaknya!

“Iya, Papa.”

Setelah itu Tooru pergi dan Daichi mempersilahkan trio setan untuk masuk ke rumahnya. Di ruang tengah, ada Koushi yang sedang mengajari Seiya matematika. Kebetulan juga Kaito dan Nanao satu sekolah dengan Seiya, jadi Koushi 'menagih' pr mereka untuk dikerjakan bersama.

Meski terkadang masih ribut kecil perkara rebutan penghapus dan saling mencoret di buku satu sama lain, Seiya akan langsung menegur mereka supaya tetap tenang. Bagus, setidaknya kerjaan Koushi berkurang.

Daichi memilih menemani Tobio yang sudah asik tiduran agak jauh dari kakak-kakaknya, asik mencoret-coret buku gambarnya.

“Bio gambar apa?” tanya Daichi.

“Gojila!” sahut si bakpao, sibuk mewarnai gambarannya yang lebih mirip kodok campur landak itu. Mana dikasih warna biru dan kuning.

“Oh... Godzilla-nya Chichi?”

“Iya...” Tobio mengangguk. “Chichi sedih Gojila-nya mati dibunuh sama Ka-chan. Jadi Bio mau bikin Gojila baru buat Chichi.”

“Wah, semangat!” Daichi terkekeh mendengar pernyataan super sederhana itu, tapi dia juga penasaran dengan sesuatu. “Bio juga kena marah Chichi?”

Tobio menggeleng. “Chichi engga pernah marah kok, kalo sama Bio, Nao-chan, Ka-chan. Mesti Papa yang marahin kita, terus nanti Chichi belain!”

“Berarti Chichi marahnya ke Papa doang, dong?” kekeh Daichi.

“Iya! Padahal Papa juga nakal dan suka bikin Chichi marah. Katanya lucu liat Chichi ngomel.”

Koushi yang berjarak beberapa meter sampai tersedak ludah karena menguping.

“Tapi tadi...” Tobio berhenti mewarnai sejenak. “Chichi engga ngomel... jadinya Papa takut.”

Daichi sebetulnya hampir tidak percaya. Tentu saja, mengenal Tooru dan Hajime dari jaman SMA sampai kuliah, yang disaksikan matanya hanya Hajime yang marah-marah tiap dikerjain Tooru.

Tapi bagaimanapun, rumah tangga orang tidak ada yang tahu, kan?

Meski sibuk dan punya banyak anak, Hajime terlihat lebih banyak senyum daripada dulu. Di luar nampak tegas, tapi juga terlihat kalau dia sesayang dan se-tidak tegaan itu dengan anak-anaknya.

Kalau dipikir-pikir lagi, Tooru dari dulu sampai sekarang masih sama isengnya. Hajime tak pernah absen menegurnya kalau berbuat salah dan terkadang ikut meminta maaf atas perbuatan Tooru. Lalu punya tiga anak yang sifatnya seperti Tooru semua... Wah, sepertinya kesabaran Hajime jauh di atas Daichi.

“Nah, selesai!” celetuk Koushi, mengembalikan buku milik ketiga anak SD itu. Berasa les gratis. “Sekarang, gimana kalau kalian latihan minta maaf ke Chichi?”

“Tapi kan, salahnya Ka-chan!” elak Nanao. “Ka-chan yang ambil Gojila duluan!”

“Tapi Nao-chan yang pegang Gojila-nya terus pecah!” Kaito tidak terima.

“Itu soalnya nabrak Bio!”

“Eh, eh, kok jadi berantem?” Koushi salah tingkah dan menengahi. “Sabar ya, semua. Sabar... Tarik nafas dulu... Keluarkan...”

Dan untungnya kedua bobrok itu menurut.

Kemudian Tobio berjalan dan memamerkan karyanya yang dipenuhi warna mencolok.

“Itu dinosaurus?” tanya Seiya.

“Gojila!”

“Bedanya apa?”

“Gojila itu temen Chichi,” sahut Kaito. “Kalo dinosaurus temen Kyanma!”

“Oya? Kok aku ga kenal?”

“Makanya sekarang kenalan! Hih!” Kesabaran Kaito yang setipis tisu mulai habis.

“Udah, udah~”

Daichi ikut melerai. Kadang Seiya itu juga suka memicu keributan seperti Koushi. Luarannya saja yang nampak kalem dan teladan.

“Kan, sama-sama terlibat. Tetap harus bertanggungjawab, ya?” ucap Daichi. “Uncle percaya, begitu kalian minta maaf, Chichi ga bakal sedih lagi!”

“Tapi Nao takut...” Nanao menunduk sambil memainkan penghapusnya, lalu menatap Kaito dengan mata berkaca-kaca. “Kalo Chichi marah sama kita selamanya terus kita dibuang gimana? Kan, Papa bilang kalo Papa sama Chichi nemu kita di tempat sampah!”

Daichi dan Koushi saling bertatapan, kemudian sama-sama menepuk jidat. Setan juga si Tooru.

“E-Engga mungkin!” elak Kaito, tapi justru ia yang menangis duluan. “Chichi sayang kita, kok! Engga mungkin buangggggg”

“HUAAAAAAAAAAAAAA”

Koushi panik. Kedua anak itu benar-benar menangis. Daichi juga langsung mencari Tobio jaga-jaga kalau anak itu ikutan kakak-kakaknya.

Sampai akhirnya suasana kembali tenang.

Ada Seiya yang pukpuk kepala Kaito dan Tobio yang memeluk Nanao.

“Tenang, semuanya!” Seiya berujar dan tersenyum. “Walaupun kalian bego, Chichi sama Papa kalian tetep sayang, kok!”

Daichi sampai tercengang mendengar anaknya berkata begitu, sementara Koushi tertawa tanpa suara dengan raut muka seolah mengatakan, he said what he said.

“Iya! Betul kata Sei-chan!” Tobio memamerkan lagi karyanya. “Kita buat Gojila baru buat Chichi, terus minta maaf!”

“Shoyo engga capek?” tanya Keiji sembari mengusap rambut Shoyo yang sudah mengantuk dan tengah berbaring di pangkuannya.

“Engga!” Shoyo menggeleng cepat, masih memainkan mainan fidget berbentuk bola voli yang diberikan Wakatoshi.

Teman-teman satu tim Koutarou perlahan meninggalkan gym. Gao yang sejak tadi sudah jalan-jalan dengan keluarganya pamit pulang lebih dulu, begitu juga dengan Lev dan Morisuke. Wakatoshi undur juga karena ada urusan lain, begitu juga dengan si kembar Miya yang paling asik bermain dengans Shoyo.

Hari ini berjalan dengan terlalu cepat karena semuanya bersenang-senang, terutama Shoyo. Keiji sampai lupa memikirkan bagaimana cara menyebut kata “pulang” tanpa membuat Shoyo menangis lagi. 

“Shoyo ga kangen kasur?” Koutarou ikut duduk bersila di lantai bersama suami dan anaknya. “Boneka hiunya bakal lebih enak dipeluk sambil tiduran di kasur, lho! Kan, sama-sama empuk!”

Mendengar kata kasur, Shoyo langsung duduk lagi dengan mata berbinar. Keiji hampir lega, namun ternyata kesenangan itu hanya berlangsung satu detik saja karena wajah Shoyo kembali muram.

“Engga mau pulang...” cicitnya.

“Shoyo kenapa kok, ga mau pulang? Masih mau main?”

“Iya...”

Keiji menghela nafas. Shoyo biasanya anak yang super jujur, jadi melihat si bocah mulai tertutup begini membuatnya pusing sekaligus kuatir.

“Nanti di rumah kita main lagi! Nih, ada banyak kan, dikasih sama Uncles!” bujuk Koutarou dengan senyum permanennya. “Boleh mandi yang lama juga deh, nanti! Ya kan, Ma?”

“Huum~” balas Keiji lembut. “Boleh bawa bebek-bebek juga kalau Shoyo mau. Main masak-masak sambil mandi juga boleh.” Saking bingungnya mau membujuk bagaimana lagi.

“Engga...” Shoyo menunduk dan meremas ujung jaketnya. “Nanti kalo di rumah... Dimarahin...”

Koutarou dan Keiji saling memandang dengan tatapan, 'Emang kapan kita pernah marahin dia?'

“Siapa yang marahin Shoyo?” tanya Koutarou. “Shoyo kan, anak baik!”

“Rapot...” Anak itu mulai sesenggukan. “Shoyo bego...”

Kedua pria dewasa itu sudah sangat hapal kalau Shoyo dan teman-temannya suka saling mengejek dengan sebutan 'bego'. Tapi baru kali ini mereka melihat Shoyo sangat memikirkannya.

“Shoyo bawa rapotnya?”

“Keiji.”

“Gapapa,” bisik Keiji melihat Koutarou seperti tidak setuju. “Mau tunggu sampai kapan lagi?”

Shoyo membuka ranselnya dan mengeluarkan buku berwarna oranye, lalu menyerahkannya ke Keiji, masih sambil menangis. Koutarou menarik Shoyo untuk duduk di pangkuannya sambil menepuk-nepuk kaki anak itu guna menenangkannya.

“Mana sih... Mama lihat dulu.”

Keiji dan Koutarou sama-sama memperhatikan dengan seksama tulisan dalam lembaran yang ditulis oleh Hitoka, wali kelas Shoyo.


Writing = B

Reading = C

Counting = D

Language = B

Speaking = B

Playing = A+

Physical = A+

Social = A+

Crafts & Arts = B


Kedua orang tua itu menghela nafas lega, lalu secara tak sadar tertawa bersamaan.

“Shoyo, Shoyo. Lihat ini, ya.” Keiji menunjuk kolom di bagian bawah supaya Shoyo bisa melihatnya juga, lalu mulai membaca dengan nada seperti bedtime stories. “Shoyo adalah anak yang ceria dan unik. Dia sedikit kesulitan mengikuti kelas, tetapi dia sama sekali tidak menyerah dan selalu memiliki cara belajarnya untuk bisa paham dengan materi, terutama formula berhitung. Meski sangat aktif, Shoyo selalu fokus pada pelajaran dan disiplin. Dia selalu menanyakan banyak hal setelah guru mengijinkannya untuk bicara dan suka menambah pengetahuannya.”

Shoyo sudah berhenti menangis, masih berusaha mengatur nafasnya. Tetapi matanya ikut memperhatikan tiap kata dan telinganya menyimak.

Koutarou terkekeh, gantian membaca selagi Keiji sibuk mengelap air mata dan ingus Shoyo dengan tisu.

“Shoyo sangat mandiri, juga suka menolong temannya yang kesulitan dan berbagi apapun, baik makanan, alat tulis maupun mainan. Wah, big boy Shoyo! Dia berani menegur teman yang bersalah dan juga meminta maaf setelah melakukan kesalahan. Kemampuan fisiknya sangat bagus dan membuatnya disenangi teman-teman setiap pelajaran olahraga. You are doing great, Bokuto Shoyo!

Di kalimat terakhir, Koutarou menggerakkan kedua kakinya, membuat Shoyo tertawa karena badan kecilnya ikut naik turun.

Sebenarnya masih banyak komentar dari Hitoka di lembar berikutnya tentang apa saja yang harus dilakukan untuk membantu perkembangan Shoyo. Tapi biarlah, itu bisa Koutarou dan Keiji baca nanti. Yang penting mereka tahu, bahwa di luar pengawasan orang tua, Shoyo sama sekali tidak berbeda.

“Tuh, it's not bad, right?” ucap Keiji mencubit pelan hidung Shoyo. “Papa sama Mama bakal marah kalau Shoyo engga bertanggung jawab. Kalau soal nilai, Shoyo masih punya waktu 100 tahun buat belajar. Oke?”

“Beneran, ya?”

“Iya, Sayangku!”

Sebagai pembuktian, Keiji mengecup berkali-kali pipi merah Shoyo hingga anak itu terkikik geli.

“Yuuuk!~”

Koutarou langsung berdiri dan mengangkat Shoyo untuk duduk di atas bahunya, membuat anak itu tertawa keras. “Pulang, pulang, pulang! Shoyo jangan kentutin Papa, ya!”

“Engga tau!”

“Heeeyyy~”

Koutarou masih panik dan berusaha mencari cara supaya dia tidak terlalu memikirkan hasil penilaian Shoyo, toh anak itu masih baru menginjak usia 5 tahun, kan?

Tidak terasa mereka sudah sampai di gedung TK Karasuno. Keiji yang menyetir, karena Koutarou masih belum sempat membuat SIM dan sekalinya ada waktu untuk latihan menyetir malah nabrak terus. Daripada masuk TV karena hal memalukan nan membahayakan, lebih baik Koutarou fokus voli saja.

“Mmm, Keiji.”

“Iya, Kak?”

“Hari ini rapotan, ya?”

Keiji mengambil ponsel yang sejak tadi ia simpan di saku mantel, mengecek kalender dan mata di balik lensanya membulat saat menyadari fakta tersebut.

“Oya? Seru banget, jadi penasaran nilainya gimana.”

Koutarou tertawa dalam hati. Seru katanya.

Tapi sepertinya Keiji juga gugup, menghela nafas berkali-kali.

“Jadi...” ucap Keiji. “Mau masuk bareng atau kaya rencana awal?”

BEEP BEEP BEEP

Bukan, itu bukan klakson mobil ataupun suara ambulans. Tetapi ponsel Keiji yang berdering kencang dan Koutarou tahu persis itu notif dari siapa.

“Duh, aku lupa batalin review sama Udai-san,” decak Keiji, lalu natap suaminya. “Maaf ya, Kak.”

“Gapapa, Keiji!” Koutarou senyum menenangkan sambil ngusak rambut Keiji. “Tinggal ke rencana awal; Beres!”

Keiji ngangguk, lalu menimpali, “Janji ga akan lama teleponnya.”

Mereka awalnya memang berencana untuk datang bersama, tapi hanya salah satu yang turun untuk menjemput Shoyo di dalam. Antara Koutarou yang turun, atau dia yang tunggu di mobil. Intinya sama-sama memberi kejutan, lah.

Dan saat turun, Koutarou tidak menyangka ternyata dia sampai dilihatin ibu-ibu murid sana. Diajak foto dan dimintain tanda tangan pula. Wah, gila. Dikenal orang bikin Koutarou bersemangat dan lupa dengan rasa gugupnya.

“Yahoo, Boku-chan!”

Suara menyebalkan itu sontak membuat Koutarou mendengus.

“Duh, males!” keluhnya, walau dia tidak serius di grup chat tapi tetap saja, dia entah kenapa bawaannya selalu kesal kalau liat Tooru.

“Biarin! Wle!” ejek Tooru sambil menjulurkan lidah.

Tapi Koutarou seketika tersenyum sumringah lagi waktu melihat ada Tobio yang memegangi celana papanya dan menatapnya dengan mata mengerjap. Ia berjongkok menyapa si bocil, “Hey, hey, hey! Tobio-kun udah gede aja!”

“Perasaan minggu kemarin kamu udah ketemu dia.” Tooru terkekeh seraya mengusak rambut putra bungsunya. “Bio, masih inget itu siapa?”

“Uncle Boku!” jawab Tobio lantang.

“Yes, good~” Lalu Tooru beralih lagi ke arah Koutarou, senyum nyebelinnya sedikit berubah menjadi muka kuatir. “Cepet berhenti ngartis dan temuin anakmu, deh.”

Anak siapa katanya?

Lah, iya! Shoyo!

Secepat kilat Koutarou meninggalkan antrian ibu-ibu yang minta berjabat tangan dengannya dan berlari ke. dalam sekolah. Samar-samar dia mendengar suara tangisan yang melengking dan semakin lama semakin keras saat ia berhenti di depan salah satu ruang kelas.

“Eh?? Sho-chan, lihat itu Papa!”

Terlihat Hitoka, guru sekaligus teman sekolah Kei dulu, sibuk menenangkan Shoyo yang... Menangis hebat.

Koutarou panik. Shoyo sudah lama tidak menangis. Kalaupun jatuh dan terluka, anak itu malah tertawa dan tidak takut menghadapi fase yang serupa lagi. Dan menangispun pasti ada alasannya, kan?

Bahkan Koutarou tidak ingat kapan terakhir kali Shoyo menangis. Keiji yang tidak pernah absen membuat laporan kegiatan Shoyo setiap harinya juga tidak pernah menyebut anak mereka tiba-tiba tantrum atau apa.

“Hey, hey, hey!!!” Koutarou tersenyum selebar mungkin, berlutut dan merentangkan kedua tangannya. “Shoyooo~ Ayo kita beli es krim yang Shoyo minta kemarin!”

“HUAAAAAAAAAAAAAAAA”

Namun melihat papanya, Shoyo makin meraung dan merapatkan pelukannya di kaki Hitoka, ingusnya sudah tumpah ke mana-mana.

“E-ehhh?? Ini Papa, lho! Shoyo ga inget Papa, ya?”

“ENGGA MAUUUU HUAAAAAAAAA”

“I-Ini dia kenapa, Yacchan?” tanya Koutarou cemas. “Diganggu temennya?”

“Engga, Bokuto-san,” jawab Hitoka, dia sendiri juga terlihat sama kacaunya. “Dari sebelum jam pulang dan bagi rapot dia udah nangis. Kutanya apa kangen Papa-Mama? Tapi katanya malah ga mau pulang. Udah kubujuk buat main bareng, masih ga mau.”

“Aduh, Shoyo... Gapapa ya, Sayang? Ayo pulang terus nonton Pony, ya? Sama Papa-Mama, ya?” bujuk Koutarou lagi. “Papa bawa bola voli, lho! Kemarin Shoyo minta yang sama persis kaya punya—”

“NGGAAAAAA HUAAAAAA—uhuk uhuk—HUAAAAAAAAAAA”

Muka Shoyo sudah sangat merah. Mungkin saking lama dan kerasnya menangis, dia sampai batuk-batuk.

“Shoyooo~” panggil Koutarou lagi. “Gimana caranya sabar, Shoyo? Ingat gimana? Tarik nafas lewat hidung dulu ya kaya Papa~”

Koutarou narik nafas panjang, Hitoka juga ikut. Lelah dengan drama ini sepertinya.

“Hembusin lewat mulut~ Tuh, kaya waktu pendinginan habis main voli. Gampang, kan?~”

Koutarou menghembuskan nafas perlahan. Dia melakukannya berkali-kali. Awalnya Shoyo masih tidak mau memperhatikan dan sibuk menangis, tapi lama-lama perhatiannya teralih juga dan iapun ikut mengatur nafas seperti yang diajarkan papa dan gurunya.

Dan...

TUTTT

Shoyo pun kentut. Koutarou dan Hitoka bengong bentar.

“Ehe.” Shoyo ketawa malu.

“Good boy!!!~” seru Koutarou ceria karena Shoyo akhirnya mau dia gendong, sementara Hitoka bertepuk tangan pelan.

Sampai tidak sadar juga kalau Keiji sudah ada di ambang pintu kelas, yang tadinya pucat kini ikut bernafas lega melihat anaknya mulai tenang.

Shoyo yang melihat keberadaan Keiji jadi gelisah lagi.

“Hueeee engga mau pulang!”

“Lho, siapa bilang kita pulang? Orang mau jalan-jalan, kok!” sahut Koutarou seraya menoleh ke arah Keiji. “Ya kan, Ma?”

“Iya!” timpal Keiji, memamerkan senyumnya sembari mengusap wajah Shoyo yang basah dengan sapu tangannya. “Shoyo mau ke mana aja, Papa sama Mama ikutin!”

Tetsurou bersyukur karena Kei yang masuk kerja setengah hari bisa menemaninya untuk menjaga anak mereka dan anak-anak orang di rumah.

Sebenarnya dia sedikit menyesali keputusan gegabahnya. Kei kalau masuk setengah hari pasti pengennya istirahat dan quality time sama keluarga. Ini Tetsurou malah menambah beban.

Anaknya mantan pacar Kei pula.

Okay, seharusnya Tetsurou tidak perlu dendam. Toh, itu jauh di masa lalu dan dia murni ingin membantu Chikara yang satu tempat kerja dengannya.

Tapi entah kenapa dia tidak bisa untuk tidak dongkol tiap kali ingat kejadian saat SMA, di mana Kei yang bersikeras menyatakan tidak tertarik dengan yang namanya percintaan, ternyata sudah pernah pacaran dengan Futakuchi Kenji.

Tetsurou yang pertama kali mendekati Kei, tapi malah Kenji yang dapat. Ah, kesal. Jarak kota benar-benar membuat langkahnya diduluin orang sampai segitunya.

Sampai sekarang Tetsurou masih penasaran, siapa cinta pertamanya Kei? Kenapa Kenji yang notabene bermulut setan itu justru menjadi orang pertama yang meluluhkan hati kerasnya Kei? Dulu Tetsurou sering menanyakannya, tapi Kei selalu jawab tidak tahu. Intinya, rasa suka datang begitu saja. Memang, sih. Tetsurou juga begitu ke Kei. Tapi bukankah justru itu yang menjadikan 'orang' itu spesial?

“Papa.”

Tetsurou ternyata melamun, memandangi ipad tentang catatan kondisi pasien terbarunya sampai tidak sadar Kenma sudah menoel-noel lututnya minta disetelin Cocomelon. Oh, iya. Sudah waktunya screen time.

“Diberesin dulu buku gambar sama krayonnya, Kenma,” ujar Tetsurou saat melihat area anaknya yang masih penuh.

Kenma cuma menyentil bukunya hingga bergeser beberapa cm dari tempatnya.

“Ey, ga boleh Cocomelon kalo mejanya belum bersih.”

“Hmm—”

“Iya, Papa kasih nonton kok, tapi dirapiin dulu, ya? Kenma is a good boy!

Akhirnya Kenma ngangguk dan dengan amat sangat berat hati dia menutup buku gambar dan kotak krayonnya, lalu berjalan ke rak penyimpanan dan kembali lagi dengan langkah menyeret.

“Good boy.” Tetsurou terkekeh sambil mengusak rambut anaknya, lalu memutarkan video kesukaan anaknya dengan brightness secukupnya.

“Sekolahnya kalian itu ada Bahasa Inggrisnya ya?” celetuk Shoyo.

Iya, bahkan Tetsurou tidak sadar kalau masih ada Shoyo si pelanggan premium penitipan keluarga Kuroo. Berasa anak sendiri karena saking seringnya.

“Iya!” jawab Yuki semangat. “Di situ gurunya dipanggil Mister sama Miss!”

Eh, Yuki atau Kosuke, ya? Jujur, Tetsurou masih tidak bisa membedakan mereka.

“Itu Yuki.” Kei menerangkan sambil menunjuk masing-masing buku di depan kedua anak itu, Tetsurou bisa melihatnya jelas. “Aku juga baru ngeh, sih. Dia yang suka tracing, kalau Kosuke yang suka coloring. Aku jadi bisa bedain gara-gara beda minatnya. Haha.”

Kan. Saking lamanya melamun, Tetsurou jadi melewatkan kesempatan memandangi momen langka nan manis di mana Kei bermain bersama anak kecil yang tepat di depan mata.

Sejak tadi Kei menemani anak-anak berkarya di buku gambar yang mereka pesan minggu lalu (dan langsung habis karena dipakai semua oleh 4 anak).

“Oh, Inggris itu yang kaya London Bridge has falling down, ya?” Shoyo menyanyikan sepotong lirik lagu favoritnya.

“Iya! Kaya Cocomelon sama Pinkfong juga! Kita ga cuma nyanyi, tapi ngomongnya juga Inggris!”

“Mau, dong! Kalo gitu Shoyo mau pindah ke Nekoma juga!”

“Tapi kalo di Nekoma disuruh berhitung pakai Bahasa Inggris juga, lho,” goda Kei. “Shoyo udah bisa, belum?”

“Eh???” Shoyo masang muka horor selama beberapa detik, lalu mengganti ekspresi percaya diri. “Bisa, kok! Mama ajarin terus tiap hari!”

Kei nunjuk krayon milik Shoyo yang berserakan di atas area mejanya sambil berujar, “Coba Shoyo masukin krayonnya kembali ke case sambil dihitung. Yuki juga, ayo hitung sama-sama!”

“Oke!”

Meskipun agak lambat berpikir, tapi Shoyo menyuarakan hitungannya paling keras, sementara Yuki yang paling cepat menyelesaikan dengan bersuara normal.

Tetsurou tersenyum penuh kemenangan karena itu memang cara Kei untuk membuat anak-anak belajar dadakan sekaligus membereskan barang sendiri. Kan biar mereka tidak repot juga, hehe.

Lalu Tetsurou tersadar bahwa di sebelah Kenma yang masih asik menonton, ada Kosuke yang masih sibuk membuat karya. Si tertua dari twins (kalau tidak salah), seperti yang Kei katakan, memang suka mewarnai. Tidak hanya pakai krayon, dia juga menghias gambar taman bunganya dengan stiker.

Namun agaknya Kosuke sedikit kesulitan karena stikernya susah dibuka.

“Mau Uncle bantu?” tawar Tetsurou lembut.

Kosuke senyum dan geleng cepet. “No, it's okay. I'm a big boy!”

Tetsurou terharu. Kok bisa anak-anak selucu ini ternyata punya bapak setan?

“Okay. Take it easy, big boy!”

Tetsurou mengajak anak-anak buat ke halaman belakang, karena kondisi playroom mereka saat ini sudah sangat kacau: blocks di seluruh lantai, rumah-rumahan yang sudah tidak ada bentuknya, buku cerita di mana-mana, dan kepingan CD yang hampir semuanya sudah diputar.

“Kita main sepak bola, ya!” Yang mulia Kaito kembali bertitah. “Nanti yang kalah harus jadi babu buat beres-beres rumahnya Kyanma!”

Agak terharu Tetsurou, nih. Ternyata walau kelihatannya barbar, tapi si sulung dari trio ini masih punya tata krama bertamu :')

“Engga asik!” Nanao menyahut sambil menunjuk bola voli yang dimainin Kenma sendirian. “Nao sama Bio mau main voli! Ya kan, Bio?”

“Hm!” Tobio ngangguk semangat dengan mata berbinar. “Biar kaya Papa! Yang skippy-skippy itu lho!”

“Bukan Skippy! Staples!”

“Setter.” Kenma mengoreksi mereka berdua.

“SETTER!!!” Nanao dan Tobio berseru lantang.

Kaito mendengus. Dia selalu kelihatan tidak suka tiap keinginannya tidak dituruti. Tetsurou sampe capek ganti-ganti kartun karena semua adegannya dikomen sama Kaito. Bocah itu terlalu realistis untuk ukuran anak SD kelas 2.

“Dari tadi kita udah main pake tangan, tau!” protes Kaito. “Puzzle, kereta, buku. Sekali-kali pake kaki! Biar kalo ada yang ganggu, tinggal tendang!”

Tetsurou yang lagi jongkok menikmati drama di depannya langsung tersedak ludahnya sendiri, jadi mempertimbangkan apakah ia harus menasehati supaya mereka tidak terbiasa pakai kekerasan atau diterusin saja.

“Kata Papa ga boleh gitu!” Nanao memperingatkan, Tetsurou sudah mau lega kalau saja tidak ada lanjutannya, “Kalo ada yang ganggu, digaremin aja! Kata Papa nanti bisa belajar ke Uncle Tsuki!”

Untuk kedua kalinya, Tetsurou tersedak lagi.

“Digaremin itu diapain?” tanya Tobio polos.

Kenma yang tadinya menyendiri, seperti tertarik sama pembicaraan tersebut.

“Kaya mackerel yang Bio makan tadi. Kan, ada asin-asinnya. Nah, itu digaremin.”

Tetsurou takjub. Kayanya baru kali ini Kenma ngomong sesuatu yang panjang walaupun ngawur, tapi tidak sepenuhnya salah.

Padahal Tetsurou paham maksudnya “digaremin” itu ya... Dalam bentuk kata-kata menyakitkan :)

“Oh...” Tobio ngangguk-ngangguk. “Terus cara gareminnya gimana?”

“Lempar aja ke muka orangnya!” Nanao menimpali adiknya dengan cerdas. “Kan jadi kaya salju! Seru pasti!”

“Ih! Kok jadi bahas garem?!” Kaito mengalihkan atensi lagi. “Ga usah voli, sepak bola aja seru! Pokoknya yang kalah jadi babu, ya!”

“Tapi Nao maunya voli!” Selanjutnya Nanao menjulurkan lidahnya main-main. “Sana main sendiri! Nao, Bio, sama Kyanma mau main sama Uncle Tetsu!”

Kaito menghentakkan kakinya kesal. “Aku mau ke rumahnya Seiya aja! Kita masih ada misi cari guguk bareng. Di sini cupu semua!”

“Ehhh! Bentar-bentar!”

Tetsurou langsung mengalangi si preman cilik yang hampir mau meloncati pagar belakang. Gila aja, guguk yang diidamkan Seiya itu dua kali lebih gede daripada para bocah.

“Habis ini Chichi pulang!” Tetsurou berusaha membujuk untuk ke-104 kalinya hari itu, “Nanti Ka-chan bisa main sepak bola sama Chichi. Jadi tunggu, ya!”

Jawaban itu tidak begitu membantu. Kaito terlihat melunak, tapi masih dongkol. “Ga mau sama Chichi juga! Pasti belain Nao-chan sama Bio terus!”

Dalam hati Tetsurou merapalkan doa supaya Kei bisa langsung teleport dari museum ke rumah langsung. Meski tiap hari bertemu, selama ini Tetsurou tidak pernah menjaga trio kematian.

Selalu Kei, itupun cuma sebentar karena jam pulang sekolah Kaito dan Nanao berdekatan dengan jam pulang kerja orang tua mereka. Jadi Kei cuma menjaga Tobio yang satu daycare dengan Shoyo dan Kenma, juga lebih penurut walau pertanyaannya kadang ajaib.

Untungnya Kaito menurut walaupun setengah hati. Dia juggling bola sendirian dan sesekali sengaja cari perhatian dengan membiarkan bolanya menggelinding ke arah saudara-saudaranya yang sedang oper bola.

Tetsurou dengan lembut memperingati supaya hati-hati karena berbahaya, bisa saja mereka tidak sengaja terkena bola atau terpeleset, lalu mengajak Kaito untuk main di area yang lebih pojok.

Tetsurou juga bingung harus bagaimana sama anak orang. Kenma tidak pernah merajuk. Walau susah dinasehatin soal kebiasaan buruknya, tapi anak itu tidak sampai membantah. Jadi opsi yang bisa Tetsurou ambil ya... Membiarkan Kaito sampai puas ngambeknya.

Lagipula, seharian ini mereka bermain di bawah titah Yang Mulia. Sekali-kali Kaito juga harus tahu kalau tidak semua keinginannya harus dituruti.

“Ka-chan...”

Tetsurou mendongak, Kenma menghampiri Kaito yang sudah tidak memainkan bolanya lagi. Datang dengan tangan kosong, Nanao dan Tobio jadi ikut berhenti main.

Sedangkan sang dokter jadi was-was.

Like... APA INI??? KENMA NGAJAK INTERAKSI DULUAN??? BUKAN MAU BERANTEM, KAN???

“Apa?” Kaito membalas sok cool.

Kenma diam selama beberapa saat, menunduk dan menatap ke arah bola yang ada di bawah pijakan kaki kanan Kaito.

“Mau level-up...” ucap Kenma pelan.

Hening.

Wajah Kaito memerah, tidak menyangka ada yang mau berguru padanya.

“Ih, Kyanma jangan mau main sama Ka-chan!” Nanao meledek. “Nanti kamu dibego-begoin, lho!”

“Yang bego cuma Nao sama Bio!” balas Kaito sengit. “Nendang aja ga bisa!”

“Bisa, kok! Sini Nao buktiin! Bio mau ikut???”

“Mau!”

“Wah, ga ada yang mau main sama Chichi?”

“EHHH???”

Benar saja. Ternyata Hajime sudah berdiri di halaman belakang keluarga Kuroo entah sejak kapan.

“CHICHIIIIIIIIIIIIII”

Hajime yang awalnya masang muka biasa, langsung tersenyum lembut dan merangkul ketiga anaknya.

“Dah, ayo beresin!” ujar Hajime. “Kalian rusuh banget kalo main, jangan disamain kaya di rumah!”

“Oke!” sahut Kaito semangat, lupa dengan perjanjian tuan dan babu tadi. “Kyanma, kita level-up besok, ya!”

Kenma mengangguk

Lain dengan Tetsurou yang sudah capek kena mental hanya bisa tersenyum palsu dan membatin,

'Tolong jangan ada 'besok' di antara kita.'

Tetsurou memperhatikan Kenma dan Shoyo yang sibuk mencoba bermain voli.

Tadi waktu datang menjemput, Shoyo sudah bawa bola voli biru-kuning, katanya itu hadiah dari Keiji karena sudah berhasil membaca jam dengan baik.

Melihat dua anak itu, Tetsurou jadi bernostalgia. Teringat kalau dulu dia, Kei, dan orang tua Shoyo juga awalnya saling mengenal karena voli.

Tidak lama kemudian, bel rumahnya berbunyi. Tetsurou membuka pintu dan mempersilahkan Keiji masuk. Shoyo langsung berlari dan menerjang mamanya dengan pelukan erat.

Aduh, Tetsurou gemes sendiri.

Dia melihat Kenma yang cuma bengong sambil memegang bola voli dengan dua tangan kecilnya.

Tetsurou berjongkok seperti Keiji dan merentangkan kedua tangannya.

“Kenma-chan~ Ga mau peluk Papa juga? Kaya Sho-chan gitu?”

“Engga.”

Lalu Kenma melempar asal bolanya dan beralih ke mainan yang lain.

Tetsurou sedih, Keiji ikut prihatin :(

Dia pun meletakkan oleh-oleh donat yang dibawanya. Tadi sudah dikabarin oleh Tetsurou, jadi Keiji memilih opsi makanan lain untuk diberikan.

“Shoyo, ayo pulang! Pamitan dulu sama Uncle Tetsu dan Kenma.”

Keiji menarik kaki Shoyo yang sudah mau rebahan lagi di karpet.

“Masih mau maiiin!!!”

“Shoyo, lihat itu! Udah jam berapa?”

“Hmm... Jam... Tujuh!”

“Jam tujuh lebih berapa?”

Shoyo nampak berpikir keras, Tetsurou jadi tak tahan dan berbisik untuk membantunya, “Tiga puluh, Sho.”

“Tiga puluh menit!” Shoyo kembali menjawab lantang.

“Nah, berarti waktu mainnya udah selesai. Sekarang waktunya ma...?”

“Main lagi!”

“Mandi, Sho! Ayo, katanya mau telepon Papa! Nanti kemaleman, lho!”

Tetsurou tergelak melihat Keiji yang masih kepayahan nyeret Shoyo buat pulang. Dia yang masih jongkok sampai tidak sadar kalau Kenma sudah tepat berada di hadapannya.

“Papa?”

“Iya, Sayang?”

“Jam tujuh tiga puluh itu sama kaya jam setengah delapan, ya?”

Tetsurou tersenyum sambil mengacak pelan rambut Kenma.

“Betul! Habis ini Kenma mau ikut Papa jemput Mama?”

“Mau.”

sebenernya yang ngajak marathon digimon satya (ga wacana doang, beneran marathon semua season), tapi malah dia yang tepar duluan. sedangkan keenan belom ada tidur sama sekali, padahal besok dia harus ngampus pagi-pagi karena mau ada acara baksos.

semester 5 emang pendahuluan stress kalo kata raven sama satya, dan sekarang ini keenan lagi ngerasain, apalagi ditambah beban jadi presiden bem. mau liburan pun tetep aja pikirannya ngampus terus :“)

“bang, ngober yuk!” keenan nepok-nepok pipinya satya waktu si koko baru aja melek dari bobo sorenya.

“hah? iya dah pesen aja sana,” jawabnya ngasal, masih mager banget buat ngumpulin nyawa.

“LHO AKU TUH NGAJAK KE MIE SETAN KOBERNYA! MAKAN DI SANA BAAAAAAAAANG”

suaranya keenan makin menggelegar pas satya malah ngubah posisi belakangin dia.

“BANGOOOOON!!!! SELAMAT MALAM CIKGU!!!!” keenan makin gencar gangguin satya dengan narik guling dan selimutnya, habis itu nyeret kakinya.

“KOBER KAN RAMEEEEEE” bales satya males sekaligus pasrah ditarik-tarik sama keenan.

“YA TRUS KENAPA KALO RAME??? KAN TINGGAL ANTRI!!”

“GAMAUUUUUU!!!”

“HAYUK ANAK MAMI, NURUT YUK!!” keenan goyang-goyangin kedua tangannya satya yang lagi duduk, kek wayang golek. “ANAK MAMI PINTER KOK! NANTI DIJAJANIN SAMA MAS KEENAN! HAYUK!”

“NGGILANI” (JIJIK)

akhirnya karena merasa geli berlebihan, satya bersedia (terpaksa) ngikut keenan ke rumah makan mi goreng pedes yang butuh waktu setengah jam dari rumah. sambil ngantuk-ngantuk, keenan makein jaketnya ke satya terus narik si koko ke mobilnya.

dan seperti yang udah diduga, ternyata antri banget mie setan kobernya. :'))

keenan jadi mager sendiri liat antrinya yang kaya mau fansign, terus satya juga malah tidur lagi di sebelahnya. jadi dia puter balik dan jalanin mobilnya buat ke grand city, mall yang paling deket di deket sana.

asli keenan ga ada rencana mau ngapa-ngapain, dia cuma pengen ngusir gabut doang.

sesampai di parkiran dan keluar dari mobil, baru satya bener-bener melek.

“lah, tadi katanya mau ngober?” tanya satya sambil ngikut keenan masuk ke pintu utama mall.

“mager ngantrinya,” jawab keenan.

“KAN AKU UDAH BILANG!!!” habis teriak gitu satya tutup mulut, lupa kalo lagi di tempat umum sementara keenan udah ngakak lebar dan ga peduli imej.

emang lagi ga waras keenan gara-gara ga tidur.

ya tapi untung aja sih, mall nya lagi sepi banget padahal masih weekend.

“kita mau ngapain, anjir,” celetuk satya waktu mereka malah window shopping mulu.

kan jadi pengen, walau pada akhirnya tetep ga beli apapun. apalagi mereka sempet ke toko mainan liat-liat action figure sambil menangisi harganya yang kaya biaya kuliah raven selama satu semester.

“enaknya makan dulu apa belanja, ya?” tanya keenan, kebetulan mereka lagi di depan supermarket.

“emang mau belanja apaan?” satya nanya balik.

“ga ngerti,” jawab keenan, terus jongkok sambil pura-pura nangis.

satya langsung megang jidatnya keenan. “oalah, pantesan. gendeng arek iki.” (oalah, pantes aja. gila anak ini)

setelah banyak drama, akhirnya mereka keluar dari supermarket satu jam kemudian. itupun satya yang ngontrol belanjaannya keenan soalnya presbem satu itu hampir mau beli ikan-ikan yang di akuarium bagian seafood. katanya buat dipelihara di rumah.

“dah yok pulang aja!” ujar satya sambil dorong trolley, sementara keenan ngikutin di belakang. “sampe rumah langsung tidur!”

“males! masih jam 9 ini! KITA JUGA BELOM MAKAN!!!” keenan nyahut sambil ga lupa pake gas.

“MALLNYA HABIS INI TUTUP, MAHENDRAAAAAA!!!”

“YODAH KAN BISA MAKAN DI LUAR!!!”

satya cuma bisa nahan sabar dan ga nendang keenan pake jurus apapun itu yang dipelajarinya dari naruto. mereka malah balik lagi ke mie setan kober, walau keenan yang ngantri dan satya yang nunggu di mobil, sih.

dan itu masih baru permulaan aja, karena keenan habis dari beli mie ga langsung pulang dan ajak satya muter-muter ga jelas sampe mereka laper lagi.